Hijrah, Perspektif Sosiologi Ekonomi

Kamis, 16 Juli 2020 - 11:45 WIB
Banyaknya responden yang menyukai Hanan Attaki menggambarkan bahwa generasi milenial muslim urban lebih menyukai ustadz berusia muda dan familiar dengan dunia teknologi informasi. Selain penyampaian materi yang mudah diterima, Hanan Attaki dianggap dapat mewakili genre kalangan milenial urban sehingga konten-konten dakwahnya banyak disukai.

Hanan Attaki adalah dai muda asal Aceh, alumni Universitas Al Azhar, Kairo jurusan Tafsir al-Qur’an. Pada saat kuliah di di Kairo Mesir, Hanan Attaki bergabung dalam kelompok studi Alqur’an dan ilmu-ilmu Islam dan menjadi pemimpin redaksi dari buletin ‘Salsabila’ yang dipimpin oleh beberapa tokoh Ikhwanul Muslimin Mesir.

Di Bandung, Hanan Attaki bekerja sebagai pengajar SQT Habiburrahman dan Jendela Hati, dan menjadi Direktur Rumah Quran Salman di ITB. Di kota Bandung pula Hanan Attaki mendirikan Gerakan Pemuda Hirjah pada bulan Maret 2015 yang kemudian menjadi saluran dakwahnya. Pemuda Hijrah memiliki akun di instagram, facebook serta twitter. Selain menjadi founder Pemuda Hijrah dan mengajar di berbagai tempat, Ustaz Hanan Attaki kerap mengisi kajian mengenai Islam di Masjid Trans Studio Bandung.

Jika diklasifikasikan, nama-nama ustadz yang dipilih responden tersebut dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok utama. Pertama, kelompok dai atau ustaz yang mewakili dakwah Islam kultural-tradisional seperti K.H. Said Agil Siradj, Gus Miftah dan Cak Nun. Secara umum mereka berlatar belakang NU dan pasar dakwah mereka adalah warga Nahdiyyin di Tanah Air. Kedua, kelompok dai atau ustadz yang mewakili dakwah Islam salaf dengan ciri utama mengusung dakwah Sunnah berbasis gerakan purifikasi Islam seperti Ustaz Khalid Basalamah. Ketiga, kelompok dai atau ustaz yang mewakili dakwah Islam moderat.

Kelompok ini memiliki kemiripan dengan kelompok dai salaf karena sama-sama mengusung gerakan pemurnian Islam berdasarkan Quran dan Hadist. Hanya saja, kelompok Islam moderat ini lebih dulu terlembaga dan familiar dalam pasar dakwah tanah air karena dipelopori oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah, salah satu organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia setelah Nahdhatul Ulama.

Kelompok dakwah Islam moderat ini diwakili misalnya oleh Ustaz Adi Hidayat. Keempat, kelompok dai atau ustadz yang mewakili dakwah “Islam politik”. Penyebutan Islam politik ini hanya untuk menekankan salah satu agenda kelompok ini yang menginginkan perubahan sistem politik melalui model khilafah seperti yang diusung kelompok Hizbut Tahrir. Model kelompok dai ini diwakili oleh Ustadz Felix Saw.

Adapun Ustadz Hanan Attaki dan Abdul Somad, meskipun dalam banyak hal terdapat titik temu baik dengan kelompok Islam kultural-tradisional dan kelompok Islam moderat tetapi keduanya memiliki pangsa pasar yang sangat cair. Ceruk pasar dakwah mereka bersifat multi ideologis. Artinya, baik kelompok NU, Muhammadiyah atau bahkan lainnya sangat mudah menerima gagasan-gagasan dakwah kedua tokoh ini. Dari sisi popularitas, keduanya dapat dikatakan sebagai celebrity peacher sehingga tidak lagi terikat dengan sekat-sekat ideologis yang ketat.

Yang menarik dalam konteks preferensi generasi milenial muslim urban terhadap pilihan ustadz adalah mayoritas responden yang berlatar belakang NU (97%), ternyata tidak seluruhnya memilih ustadz atau dai berlatar belakang NU. Dengan kata lain, identity (ID) organisasi sosial keagamaan yang melekat pada individu pengikut NU, tidak berbanding lurus dengan pilihan ustadz atau konten dakwah Islam yang dipilihnya.

Realitas ini dapat dimaknai bahwa gelombang hijrah yang justru dipopulerkan oleh kelompok-kelompok di luar Islam kultural-tradisional, ternyata juga mendapat sambutan luas dari penganut Islam kultural-tradisional atau NU. Hal ini merefleksikan bahwa identity (ID) organisasi sosial keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah relatif rendah di kalangan generasi milenial muslim perkotaaan.

Meskipun generasi milenial muslim urban tersebut mewarisi identity (ID) organisasi sosial keagamaan baik secara genetik melalui orang tua, atau dipengaruhi (dibesarkan) oleh lingkungan sosial dan pendidikan-nya, tetapi mereka tidak memiliki loyality atau fanatisme tinggi terhadap organisasi sosial keagamaan tersebut. Hal ini sekaligus menjadi warning terutama bagi NU dan Muhammadiyah terkait dengan literasi konten-konten dakwah mereka baik dalam bentuk kurikulum pendidikan, pengajaran dan indoktrinasi akidah, akhlak dan aspek-aspek teologi lainnya yang tidak lagi “mengikat” secara ideologis kepada pengikutnya.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More