Hijrah, Perspektif Sosiologi Ekonomi
Kamis, 16 Juli 2020 - 11:45 WIB
Yusa’ Farchan
Dosen Prodi Akuntansi S1 Universitas Pamulang
MELUASNYA gelombang hijrah di kalangan komunitas muslim milenial urban menandai bangkitnya kembali spirit Islam di ruang-ruang publik. Fenomena ini sekaligus menandai ekspresi keagamaan yang sangat dinamis di tanah air pasca Reformasi 1998.
Hijrah bukan hanya sebatas moral campaign yang menuntun perilaku berdasarkan spirit dan nilai-nilai Islam, tetapi menjadi bagian dari lifestyle bahkan menjadi budaya populer (pop culture) di kalangan komunitas muslim perkotaan. Dalam perspektif budaya populer, modernisasi, globalisasi, dan re-islamisasi yang saling berkelit-berkelindan, membentuk pola baru beragama di mana seorang Muslim bisa menjadi “modern dan takwa” pada saat yang bersamaan.
Dalam memahami tren hijrah, pendekatan sosiologi ekonomi relevan digunakan mengingat hijrah bukanlah fenomena spiritualitas an sich melainkan berkaitan dengan perilaku dan gaya hidup masyarakat muslim kontemporer. Dari perspektif sosiologi ekonomi, hijrah berkaitan dengan pola konsumsi dan produksi yang menjadi bagian dari aktifitas dasar ekonomi masyarakat.
Ekonomi Konsumsi Dalam Aktifitas Hijrah
Dari perspektif teori konsumsi, Don Slater (1997) menjelaskan bahwa konsumsi adalah bagaimana manusia dan aktor sosial dengan kebutuhan yang dimilikinya berhubungan dengan sesuatu (dalam hal ini material, barang simbol, jasa, pengalaman) yang dapat memuaskan mereka. Berhubungan dengan sesuatu yang dapat memuaskan mereka dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti menikmati, menonton, melihat, menghabiskan, mendengar, memperhatikan dan lain sebagainya.
Jadi, pengertian konsumsi menurut Slater tersebut sesuai dengan istilah mengkonsumsi, seperti yang dikutip Featherstone (2001) dari Raymond Williams, sebagai; merusak (to destroy), memakai (to use), membuang (to waste), dan menghabiskan (to exhaust).
Dosen Prodi Akuntansi S1 Universitas Pamulang
MELUASNYA gelombang hijrah di kalangan komunitas muslim milenial urban menandai bangkitnya kembali spirit Islam di ruang-ruang publik. Fenomena ini sekaligus menandai ekspresi keagamaan yang sangat dinamis di tanah air pasca Reformasi 1998.
Hijrah bukan hanya sebatas moral campaign yang menuntun perilaku berdasarkan spirit dan nilai-nilai Islam, tetapi menjadi bagian dari lifestyle bahkan menjadi budaya populer (pop culture) di kalangan komunitas muslim perkotaan. Dalam perspektif budaya populer, modernisasi, globalisasi, dan re-islamisasi yang saling berkelit-berkelindan, membentuk pola baru beragama di mana seorang Muslim bisa menjadi “modern dan takwa” pada saat yang bersamaan.
Dalam memahami tren hijrah, pendekatan sosiologi ekonomi relevan digunakan mengingat hijrah bukanlah fenomena spiritualitas an sich melainkan berkaitan dengan perilaku dan gaya hidup masyarakat muslim kontemporer. Dari perspektif sosiologi ekonomi, hijrah berkaitan dengan pola konsumsi dan produksi yang menjadi bagian dari aktifitas dasar ekonomi masyarakat.
Ekonomi Konsumsi Dalam Aktifitas Hijrah
Dari perspektif teori konsumsi, Don Slater (1997) menjelaskan bahwa konsumsi adalah bagaimana manusia dan aktor sosial dengan kebutuhan yang dimilikinya berhubungan dengan sesuatu (dalam hal ini material, barang simbol, jasa, pengalaman) yang dapat memuaskan mereka. Berhubungan dengan sesuatu yang dapat memuaskan mereka dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti menikmati, menonton, melihat, menghabiskan, mendengar, memperhatikan dan lain sebagainya.
Jadi, pengertian konsumsi menurut Slater tersebut sesuai dengan istilah mengkonsumsi, seperti yang dikutip Featherstone (2001) dari Raymond Williams, sebagai; merusak (to destroy), memakai (to use), membuang (to waste), dan menghabiskan (to exhaust).
Lihat Juga :
tulis komentar anda