Hijrah, Perspektif Sosiologi Ekonomi
Kamis, 16 Juli 2020 - 11:45 WIB
Secara sosiologis, merujuk pada pemikiran Karl Marx, Emile Durkheim dan Max Weber tentang produksi, dapat dipahami jika produksi merupakan proses yang diorganisasi secara sosial di mana barang dan jasa diciptakan. Yang paling menarik dalam konteks hijrah adalah bagaimana agen-agen kapitalisme juga turut bekerja untuk memproduksi barang atau jasa sesuai dengan “selera pasar” pelaku hijrah. Tangan-tangan kapitalisme modern sangat terampil dalam memproduksi berbagai kebutuhan barang atau jasa yang dibutuhkan komunitas muslim khususnya di wilayah perkotaan.
Berbagai produk fashion, film, buku, dan literasi-literasi dakwah Islam laku keras di pasar. Inilah kelihaian kapitalisme dalam membaca dan menangkap selera pasar muslim Indonesia. Realitas ini sekaligus menandai adanya persekutuan antara kapitalisme dan konservatisme-fundamentalisme Islam yang dalam titik tertentu banyak terdapat perbedaan mendasar.
Fundamentalisme Islam yang dulu dianggap sebagai sesuatu yang out of date, dalam prakteknya dapat berkolaborasi dengan tangan-tangan kapitalisme. Muslim Fashion Show, festival film Islami, sertifikasi produk makanan halal, Islamic Book Fair, perbankan dan institusi jasa keuangan syariah, dan institusi-institusi pendidikan islami, adalah potret perkawinan antara kapitalisme (modernitas) dengan fundamentalisme Islam yang dalam banyak hal justru bertentangan secara diametral. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada titik tertentu, kapitalisme dengan seluruh jangkar dan agen-agennya juga bisa “menundukkan” konservatisme-fundamentalisme agama.
Gambaran konservatisme-fundamentalisme Islam yang bersenyawa atau menyatu dalam tubuh kapitalisme modern ini setidaknya terdapat dalam beberapa kegiatan ekonomi dan bisnis dalam banyak dimensi. Dalam konteks menjawab kebutuhan generasi milenial urban terhadap film misalnya, kita dapat mengkomparasikan film Catatan Si Boy dengan film Ayat-ayat Cinta.
Jika dulu pada masa Orde Baru, konstruksi identitas milenial urban itu muncul dalam figur Si Boy yang merepresentasikan pemuda ganteng, kaya dan memiliki banyak pacar, maka konstruksi tersebut kini hadir dalam figur Fahri, tokoh dalam Ayat-ayat Cinta, yang menanggapi apapun dalam tolak ukur iman.
Dalam konteks ini, kapitalisme modern seolah tidak ingin ketinggalan dengan tren yang berkembang di kalangan muslim milenial urban yang menggemari film-film bergenre syariah. Produksi film yang mengandung narasi-narasi syariah-pun dalam perkembangannya mengalami peningkatan dan memiliki pangsa pasar tersendiri di kalangan milenial muslim perkotaan.
Kelihaian kapitalisme dalam memproduksi aneka barang dan jasa yang dibutuhkan pasar muslim Indonesia khususnya kawasan perkotaan, semakin meneguhkan konstruksi identitas baru muslim milenial urban Indonesia. Beberapa pelaku usaha yang bergerak di sektor fashion muslim turut menikmati keuntungan dari meningkatnya ceruk pasar tersebut baik di sektor hulu maupun hilir.
Tidak hanya dalam sektor barang dan jasa, sebagian besar pelaku hijrah juga sering memproduksi konten-konten dakwah Islami seperti ceramah singkat para ustadz, ringkasan hadist-hadist tematik, kalimat-kalimat nasihat dan pesan-pesan moral lainnya. Mereka sering membagikan konten-konten islami dari berbagai ustadz melalui kanal media sosial seperti instagram, facebook, twitter, youtube, dan lain sebagainya. Grup-grup whatssap juga sering menjadi media distribusi konten sehingga pesan-pesan moral tersebut dengan cepat dapat diterima secara luas oleh masyarakat.
Di kalangan generasi muslim milenial perkotaan, para pelaku hijrah juga sering membagikan konten berupa kata-kata motivasi seperti motivasi untuk menjauhkan diri dari pacaran, seruan nikah muda, dan lain-lain. Tren yang paling jamak dilakukan, khususnya bagi para perempuan yang sedang memulai hijrah-nya adalah dengan menghapus foto-foto selfie yang menampakkan wajah mereka di media sosial.
Jika ingin mengunggah foto selfie, mereka akan menutupi wajah mereka dengan tangan atau meletakkan emoticon sedemikian rupa sehingga wajahnya tidak terekspos dengan sempurna. Hal ini dilakukan karena mereka meyakini bahwa wajah adalah aurat yang harus ditutupi, bukan diumbar dan menjadi konsumsi warganet.
Berbagai produk fashion, film, buku, dan literasi-literasi dakwah Islam laku keras di pasar. Inilah kelihaian kapitalisme dalam membaca dan menangkap selera pasar muslim Indonesia. Realitas ini sekaligus menandai adanya persekutuan antara kapitalisme dan konservatisme-fundamentalisme Islam yang dalam titik tertentu banyak terdapat perbedaan mendasar.
Fundamentalisme Islam yang dulu dianggap sebagai sesuatu yang out of date, dalam prakteknya dapat berkolaborasi dengan tangan-tangan kapitalisme. Muslim Fashion Show, festival film Islami, sertifikasi produk makanan halal, Islamic Book Fair, perbankan dan institusi jasa keuangan syariah, dan institusi-institusi pendidikan islami, adalah potret perkawinan antara kapitalisme (modernitas) dengan fundamentalisme Islam yang dalam banyak hal justru bertentangan secara diametral. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada titik tertentu, kapitalisme dengan seluruh jangkar dan agen-agennya juga bisa “menundukkan” konservatisme-fundamentalisme agama.
Gambaran konservatisme-fundamentalisme Islam yang bersenyawa atau menyatu dalam tubuh kapitalisme modern ini setidaknya terdapat dalam beberapa kegiatan ekonomi dan bisnis dalam banyak dimensi. Dalam konteks menjawab kebutuhan generasi milenial urban terhadap film misalnya, kita dapat mengkomparasikan film Catatan Si Boy dengan film Ayat-ayat Cinta.
Jika dulu pada masa Orde Baru, konstruksi identitas milenial urban itu muncul dalam figur Si Boy yang merepresentasikan pemuda ganteng, kaya dan memiliki banyak pacar, maka konstruksi tersebut kini hadir dalam figur Fahri, tokoh dalam Ayat-ayat Cinta, yang menanggapi apapun dalam tolak ukur iman.
Dalam konteks ini, kapitalisme modern seolah tidak ingin ketinggalan dengan tren yang berkembang di kalangan muslim milenial urban yang menggemari film-film bergenre syariah. Produksi film yang mengandung narasi-narasi syariah-pun dalam perkembangannya mengalami peningkatan dan memiliki pangsa pasar tersendiri di kalangan milenial muslim perkotaan.
Kelihaian kapitalisme dalam memproduksi aneka barang dan jasa yang dibutuhkan pasar muslim Indonesia khususnya kawasan perkotaan, semakin meneguhkan konstruksi identitas baru muslim milenial urban Indonesia. Beberapa pelaku usaha yang bergerak di sektor fashion muslim turut menikmati keuntungan dari meningkatnya ceruk pasar tersebut baik di sektor hulu maupun hilir.
Tidak hanya dalam sektor barang dan jasa, sebagian besar pelaku hijrah juga sering memproduksi konten-konten dakwah Islami seperti ceramah singkat para ustadz, ringkasan hadist-hadist tematik, kalimat-kalimat nasihat dan pesan-pesan moral lainnya. Mereka sering membagikan konten-konten islami dari berbagai ustadz melalui kanal media sosial seperti instagram, facebook, twitter, youtube, dan lain sebagainya. Grup-grup whatssap juga sering menjadi media distribusi konten sehingga pesan-pesan moral tersebut dengan cepat dapat diterima secara luas oleh masyarakat.
Di kalangan generasi muslim milenial perkotaan, para pelaku hijrah juga sering membagikan konten berupa kata-kata motivasi seperti motivasi untuk menjauhkan diri dari pacaran, seruan nikah muda, dan lain-lain. Tren yang paling jamak dilakukan, khususnya bagi para perempuan yang sedang memulai hijrah-nya adalah dengan menghapus foto-foto selfie yang menampakkan wajah mereka di media sosial.
Jika ingin mengunggah foto selfie, mereka akan menutupi wajah mereka dengan tangan atau meletakkan emoticon sedemikian rupa sehingga wajahnya tidak terekspos dengan sempurna. Hal ini dilakukan karena mereka meyakini bahwa wajah adalah aurat yang harus ditutupi, bukan diumbar dan menjadi konsumsi warganet.
tulis komentar anda