Peran Korea Utara dalam Invasi Rusia ke Ukraina

Rabu, 20 November 2024 - 19:14 WIB
loading...
Peran Korea Utara dalam...
Kim Tae-hoon, Perwakilan Penggiat Hak Asasi Manusia Korea Utara. Foto/Dok. SINDOnews
A A A
Kim Tae-hoon
Perwakilan Penggiat Hak Asasi Manusia Korea Utara

PADA dini hari tanggal 19 Juni 2024, pukul 2 pagi, Pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un, muncul di Bandara Sunan, Pyongyang. Dalam suasana yang tegang, sebuah pesawat mendarat, dan Presiden Rusia, Vladimir Putin, muncul.

Ini kali kedua Putin, sebagai pemimpin Rusia pertama yang mengunjungi Korea Utara. Kunjungan pertama pada tahun 2000. Putin kembali ke negara itu 24 tahun kemudian, bahkan di tengah keterlibatan Rusia dalam perang dengan Ukraina yang menarik perhatian dunia secara signifikan.

Meskipun kunjungan Putin hanya berlangsung sehari, kedua pemimpin berpartisipasi dalam serangkaian agenda yang padat, termasuk upacara penyambutan resmi, parade jalanan, konser, dan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT). Melanggar sanksi Dewan Keamanan PBB yang melarang membawa kendaraan transportasi ke Korea Utara, Putin menghadiahkan Kim Jong-un sebuah mobil mewah buatan Rusia. Kedua pemimpin bahkan menikmati jalan-jalan dengan mobil tersebut.

Puncak KTT bilateral tersebut adalah penandatanganan "Perjanjian Kemitraan Strategis Komprehensif." Perhatian khusus masyarakat internasional tertuju pada Pasal 4 dalam perjanjian tersebut, yang menetapkan bahwa "jika salah satu pihak memasuki keadaan perang karena invasi militer, pihak lainnya akan segera memberikan bantuan militer serta bantuan lainnya."

Ketentuan ini telah menimbulkan kekhawatiran mengenai keamanan Korea Selatan, mengingat gencatan senjata yang masih berlangsung dengan Korea Utara, serta potensi terganggunya keseimbangan kekuatan di Asia Timur Laut.

Lebih lanjut, perjanjian tersebut dapat menjadi dalih hukum bagi Rusia untuk mengimpor senjata, seperti peluru artileri, dari Korea Utara. Hal ini menghadirkan ancaman yang lebih nyata bagi Ukraina, yang masih berperang dengan Rusia.

Menurut Kementerian Pertahanan Nasional Korea Selatan, sekitar 12.000 kontainer yang diduga berisi peluru artileri telah dikirim dari Korea Utara ke Rusia antara Agustus 2023 dan Juli 2024. Sebagai imbalannya, Korea Utara dilaporkan meminta teknologi canggih dari Rusia untuk pengembangan senjata, termasuk satelit pengintaian. Transaksi ini jelas merupakan pelanggaran sanksi Dewan Keamanan PBB terhadap Korea Utara.

Komunitas internasional telah memberlakukan sanksi di berbagai sektor, termasuk keuangan, teknologi, dan perdagangan, untuk mengekang tindakan yang dilakukan oleh Rusia dan Korea Utara. Namun, kedua negara ini sebagian besar mengabaikan sanksi tersebut dan terus melakukan tindakan yang merugikan negara-negara tetangga demi mencapai tujuan mereka.

Akibatnya, seruan untuk penegakan hukum melalui Mahkamah Pidana Internasional (ICC) semakin gencar sebagai sarana untuk meminta pertanggungjawaban rezim-rezim ini. Faktanya, kejahatan perang yang dilakukan oleh Rusia di Ukraina, bersama dengan keterlibatan Korea Utara, mungkin memenuhi syarat sebagai kejahatan di bawah yurisdiksi ICC, bahkan tanpa melibatkan tindakan Dewan Keamanan PBB.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0757 seconds (0.1#10.140)