Hijrah, Perspektif Sosiologi Ekonomi

Kamis, 16 Juli 2020 - 11:45 WIB
Konsumsi benda-benda tidak hanya sekadar memenuhi kebutuhan fisik biologis semata, tetapi juga berkait dengan manfaat benda-benda atau objek-objek secara sosial budaya (Lury,1998; dan Featherson, 2001).

Menurut Lury, kehidupan sosial memerlukan benda-benda; karena melalui perolehan, penggunaan, dan pertukaran benda-benda, individu-individu kemudian memiliki kehidupan sosial (Lury,1998;16). Dalam kaitannya dengan pendapat Lury tersebut, terdapat beberapa pemaknaan atas konsumsi benda-benda tersebut dalam masyarakat modern atau kapitalisme, yaitu; konsumsi sebagai pembeda antara kehidupan yang profan dan sakral; dan konsumsi sebagai identitas.

Dalam konteks konsumsi sebagai pembeda antara kehidupan yang profan dan sakral, kita dapat mengambil contoh seperti keranjang kecil berisi buah yang diletakkan di atas meja versus diletakkan di bawah pohon beringin yang angker. Keranjang buah yang diletakkan di atas meja makan di suatu rumah tentu memiliki makna bahwa buah tersebut ditujukan untuk dikonsumsi (dimakan) manusia. Tetapi, keranjang buah yang diletakkan di kuburan, memiliki makna berbeda karena mengandung nilai-nilai sakral. Buah-buahan tersebut tidak untuk dikonsumsi melainkan untuk prosesi sesajen berdasarkan keyakinan yang dimiliki, meskipun faktanya, banyak yang pada akhirnya mengambil buah tersebut untuk dikonsumsi (dimakan).

Sementara itu, dalam konteks konsumsi sebagai identitas, konsumsi suatu produk atau jasa menandakan identitas tertentu. Identitas dalam konteks ini adalah suatu pernyataan tentang diri, terkait dengan ruang dan waktu. Seseorang yang memakai lipstik misalnya, tentu ingin menunjukkan identitasnya sebagai perempuan. Ia ingin diakui eksistensinya oleh publik sebagai makhluk perempuan, bukan laki-laki.

Begitu juga dalam konteks hijrah, seseorang yang memutuskan menggunakan simbol-simbol keagamaan seperti hijab, gamis, memelihara jenggot, dan lain-lain, tentu ingin diakui sebagai “muslim taat” oleh lingkungan sosialnya.

Dengan menggunakan perspektif teori Don Slater (1997), konsumsi, di manapun selalu dipandang sebagai budaya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kegiatan konsumsi pada masyarakat atau komunitas pelaku hijrah juga merupakan bagian dari proses budaya. Hijrah dalam kehidupan masyarakat urban kontemporer bahkan telah menjadi kebudayaan populer yang menjadi ciri dari muslim milenial di perkotaan.

Konsumsi, dalam ranah ilmu ekonomi konvensional, merupakan suatu aktifitas ekonomi yang dapat bermakna memakai, menggunakan, atau memanfaatkan suatu barang atau jasa. Konsumsi atas suatu produk atau jasa akan merepresentasikan identitas tertentu. Identitas dalam konteks ini adalah suatu pernyataan tentang diri, terkait dengan ruang dan waktu.

Apa yang dikonsumsi (digunakan, dipakai) para pelaku hijrah, mulai dari fashion, makanan dan minuman, layanan perbankan, wisata, edukasi, film, hingga literasi dakwah juga menjadi bagian dari identitas tersendiri yang dikonstruksi sedemikian rupa menjadi identitas kelompok.

Dalam konteks konsumsi atau pemakaian busana (fashion) misalnya, hijrah tidak bisa dilepaskan dari penggunaan fashion tertentu sebagai bagian dari identitas yang ingin ditonjolkan. Yang lazim terjadi di kalangan muslim perkotaan adalah bahwa memulai hijrah dapat diawali dengan bagaimana menggunakan pakaian sesuai dengan nilai-nilai Islam atau menutup aurat.

Bagi perempuan misalnya, style berbusana yang menandai hijrahnya seseorang adalah dengan memakai hijab berupa kerudung (jilbab) serta baju longgar penutup aurat seperti gamis, abaya dan kaftan. Sementara bagi laki-laki, untuk menandai bahwa seseorang telah melaksanakan hijrah adalah dengan memakai baju muslim seperti Galabiyya, jubbas, koko, kurta, Tawb dan sejenisnya; model celana cingkrang (di atas mata kaki); dan juga peci atau penutup kepala.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More