Hijrah, Perspektif Sosiologi Ekonomi

Kamis, 16 Juli 2020 - 11:45 WIB
loading...
Hijrah, Perspektif Sosiologi Ekonomi
Dosen Prodi Akuntansi S1 Universitas Pamulang, Yusa’ Farchan. Foto/Istimewa
A A A
Yusa’ Farchan
Dosen Prodi Akuntansi S1 Universitas Pamulang


MELUASNYA
gelombang hijrah di kalangan komunitas muslim milenial urban menandai bangkitnya kembali spirit Islam di ruang-ruang publik. Fenomena ini sekaligus menandai ekspresi keagamaan yang sangat dinamis di tanah air pasca Reformasi 1998.

Hijrah bukan hanya sebatas moral campaign yang menuntun perilaku berdasarkan spirit dan nilai-nilai Islam, tetapi menjadi bagian dari lifestyle bahkan menjadi budaya populer (pop culture) di kalangan komunitas muslim perkotaan. Dalam perspektif budaya populer, modernisasi, globalisasi, dan re-islamisasi yang saling berkelit-berkelindan, membentuk pola baru beragama di mana seorang Muslim bisa menjadi “modern dan takwa” pada saat yang bersamaan.

Dalam memahami tren hijrah, pendekatan sosiologi ekonomi relevan digunakan mengingat hijrah bukanlah fenomena spiritualitas an sich melainkan berkaitan dengan perilaku dan gaya hidup masyarakat muslim kontemporer. Dari perspektif sosiologi ekonomi, hijrah berkaitan dengan pola konsumsi dan produksi yang menjadi bagian dari aktifitas dasar ekonomi masyarakat.

Ekonomi Konsumsi Dalam Aktifitas Hijrah

Dari perspektif teori konsumsi, Don Slater (1997) menjelaskan bahwa konsumsi adalah bagaimana manusia dan aktor sosial dengan kebutuhan yang dimilikinya berhubungan dengan sesuatu (dalam hal ini material, barang simbol, jasa, pengalaman) yang dapat memuaskan mereka. Berhubungan dengan sesuatu yang dapat memuaskan mereka dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti menikmati, menonton, melihat, menghabiskan, mendengar, memperhatikan dan lain sebagainya.

Jadi, pengertian konsumsi menurut Slater tersebut sesuai dengan istilah mengkonsumsi, seperti yang dikutip Featherstone (2001) dari Raymond Williams, sebagai; merusak (to destroy), memakai (to use), membuang (to waste), dan menghabiskan (to exhaust).

Konsumsi benda-benda tidak hanya sekadar memenuhi kebutuhan fisik biologis semata, tetapi juga berkait dengan manfaat benda-benda atau objek-objek secara sosial budaya (Lury,1998; dan Featherson, 2001).

Menurut Lury, kehidupan sosial memerlukan benda-benda; karena melalui perolehan, penggunaan, dan pertukaran benda-benda, individu-individu kemudian memiliki kehidupan sosial (Lury,1998;16). Dalam kaitannya dengan pendapat Lury tersebut, terdapat beberapa pemaknaan atas konsumsi benda-benda tersebut dalam masyarakat modern atau kapitalisme, yaitu; konsumsi sebagai pembeda antara kehidupan yang profan dan sakral; dan konsumsi sebagai identitas.

Dalam konteks konsumsi sebagai pembeda antara kehidupan yang profan dan sakral, kita dapat mengambil contoh seperti keranjang kecil berisi buah yang diletakkan di atas meja versus diletakkan di bawah pohon beringin yang angker. Keranjang buah yang diletakkan di atas meja makan di suatu rumah tentu memiliki makna bahwa buah tersebut ditujukan untuk dikonsumsi (dimakan) manusia. Tetapi, keranjang buah yang diletakkan di kuburan, memiliki makna berbeda karena mengandung nilai-nilai sakral. Buah-buahan tersebut tidak untuk dikonsumsi melainkan untuk prosesi sesajen berdasarkan keyakinan yang dimiliki, meskipun faktanya, banyak yang pada akhirnya mengambil buah tersebut untuk dikonsumsi (dimakan).

Sementara itu, dalam konteks konsumsi sebagai identitas, konsumsi suatu produk atau jasa menandakan identitas tertentu. Identitas dalam konteks ini adalah suatu pernyataan tentang diri, terkait dengan ruang dan waktu. Seseorang yang memakai lipstik misalnya, tentu ingin menunjukkan identitasnya sebagai perempuan. Ia ingin diakui eksistensinya oleh publik sebagai makhluk perempuan, bukan laki-laki.

Begitu juga dalam konteks hijrah, seseorang yang memutuskan menggunakan simbol-simbol keagamaan seperti hijab, gamis, memelihara jenggot, dan lain-lain, tentu ingin diakui sebagai “muslim taat” oleh lingkungan sosialnya.

Dengan menggunakan perspektif teori Don Slater (1997), konsumsi, di manapun selalu dipandang sebagai budaya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kegiatan konsumsi pada masyarakat atau komunitas pelaku hijrah juga merupakan bagian dari proses budaya. Hijrah dalam kehidupan masyarakat urban kontemporer bahkan telah menjadi kebudayaan populer yang menjadi ciri dari muslim milenial di perkotaan.

Konsumsi, dalam ranah ilmu ekonomi konvensional, merupakan suatu aktifitas ekonomi yang dapat bermakna memakai, menggunakan, atau memanfaatkan suatu barang atau jasa. Konsumsi atas suatu produk atau jasa akan merepresentasikan identitas tertentu. Identitas dalam konteks ini adalah suatu pernyataan tentang diri, terkait dengan ruang dan waktu.

Apa yang dikonsumsi (digunakan, dipakai) para pelaku hijrah, mulai dari fashion, makanan dan minuman, layanan perbankan, wisata, edukasi, film, hingga literasi dakwah juga menjadi bagian dari identitas tersendiri yang dikonstruksi sedemikian rupa menjadi identitas kelompok.

Dalam konteks konsumsi atau pemakaian busana (fashion) misalnya, hijrah tidak bisa dilepaskan dari penggunaan fashion tertentu sebagai bagian dari identitas yang ingin ditonjolkan. Yang lazim terjadi di kalangan muslim perkotaan adalah bahwa memulai hijrah dapat diawali dengan bagaimana menggunakan pakaian sesuai dengan nilai-nilai Islam atau menutup aurat.

Bagi perempuan misalnya, style berbusana yang menandai hijrahnya seseorang adalah dengan memakai hijab berupa kerudung (jilbab) serta baju longgar penutup aurat seperti gamis, abaya dan kaftan. Sementara bagi laki-laki, untuk menandai bahwa seseorang telah melaksanakan hijrah adalah dengan memakai baju muslim seperti Galabiyya, jubbas, koko, kurta, Tawb dan sejenisnya; model celana cingkrang (di atas mata kaki); dan juga peci atau penutup kepala.

Terdapat perubahan signifikan terhadap cara berpakaian dari komunitas pelaku hijrah. Bagi perempuan, jika sebelumnya mereka terbiasa menggunakan pakaian-pakaian ketat dan membentuk aurat, maka setelah hijrah, mereka memakai busana yang lebih syar’i dengan ciri pakaian longgar agar tidak membentuk aurat. Tidak sedikit di antara mereka yang memakai cadar. Adapun kaum laki-laki, tren umum yang populer adalah dengan memanjangkan (memelihara) jenggot dan memendekkan celananya di atas mata kaki sesuai tuntunan Sunnah.

Dalam konteks konsumsi (pemanfaatan jasa) perbankan, para pelaku hijrah lebih memilih bank-bank syariah dalam aktivitas ekonomi mereka untuk menghindari praktik-praktik riba yang diharamkan menurut ajaran agama Islam. Pertumbuhan perbankan syariah yang sangat pesat dalam kurun sepuluh tahun terakhir menandai tumbuhnya ceruk pasar dari kalangan muslim secara signifikan.

Namun demikian, tidak sedikit dari pelaku hijrah yang memutus total (menghentikan) akses terhadap berbagai layanan perbankan dan institusi keuangan lainnya baik konvensional maupun syariah seperti rekening bank, dan berbagai jenis pinjaman (loan), seperti kartu kredit, KPR, KTA, leasing, dll. Hal ini dilakukan untuk menghindari praktik-praktik ribawi sebagai bentuk ketaatan terhadap ajaran agama.

Dalam konteks konsumsi (pemilihan atau penggunaan) sumber-sumber literasi dakwah, para pelaku hijrah, selain rutin menghadiri majelis-majelis kajian ilmu secara langsung (tatap muka), mereka juga memiliki kecenderungan untuk menggunakan sumber-sumber literasi dakwah lainnya melalui media elektronik dan internet. Beberapa media elektronik baik televisi maupun radio seperti Rodja TV, Radio Fajri; dan Radio Wadi menjadi kanal-kanal alternatif yang banyak digunakan oleh pelaku hijrah dalam rangka mencari sumber-sumber baru bimbingan moral.

Dalam konteks komsumsi makanan dan minuman, pelaku hijrah mulai mengenal dan mengkonsumsi secara rutin berbagai makanan dan minuman yang mengandung thibbun nabawi (pengobatan medis berbasis Qur’an dan Hadist). Produk-produk makanan dan minuman seperti kurma, habbatus sauda, saffran, buah tin, minyak zaitun, dan produk-produk herbal Islami lainnya mengalami peningkatan signifikan dari sisi permintaan.

Jika sebelum hijrah, literasi generasi milenial muslim urban tentang produk-produk “makanan dan minuman Islami” sangat kurang, maka setelah hijrah, mereka sangat familiar dengan produk-produk makanan dan minuman tersebut.

Dalam konteks konsumsi film, beberapa genre film yang cenderung disukai oleh generasi milenial muslim perkotaan adalah film-film yang mengandung konten dan spirit Islam seperti film Ayat-ayat Cinta 2; Ketika Cinta Bertasbih; 99 Cahaya di Langit Eropa; Cinta Suci Zahrana; Assalamualaikum Beijing; dan Surga yang Tak Dirindukan. Film bergenre “syariah” tersebut secara umum menyelipkan pesan-pesan moral yang dianggap dapat menyejukkan hati para penonton-nya.

Ekonomi Produksi Dalam Aktifitas Hijrah

Sementara itu, dari perspektif teori produksi, fenomena hijrah juga berkaitan erat dengan kegiatan produksi sebagai salah satu entitas dasar kegiatan ekonomi masyarakat. Dalam pengertian ekonomi konvensional sebagaimana yang kita pahami, produksi dapat dipahami sebagai kegiatan membuat, menciptakan, menghasilkan atau memproduksi suatu barang atau jasa.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata produksi diartikan sebagai proses mengeluarkan hasil; penghasilan. Selain itu, terdapat dua makna lain dari produksi yaitu hasil dan pembuatan. Pengertian produksi mencakup segala kegiatan, termasuk prosesnya, yang dapat menciptakan hasil, penghasilan dan pembuatan (Damsar, 2009;67).

Secara sosiologis, merujuk pada pemikiran Karl Marx, Emile Durkheim dan Max Weber tentang produksi, dapat dipahami jika produksi merupakan proses yang diorganisasi secara sosial di mana barang dan jasa diciptakan. Yang paling menarik dalam konteks hijrah adalah bagaimana agen-agen kapitalisme juga turut bekerja untuk memproduksi barang atau jasa sesuai dengan “selera pasar” pelaku hijrah. Tangan-tangan kapitalisme modern sangat terampil dalam memproduksi berbagai kebutuhan barang atau jasa yang dibutuhkan komunitas muslim khususnya di wilayah perkotaan.

Berbagai produk fashion, film, buku, dan literasi-literasi dakwah Islam laku keras di pasar. Inilah kelihaian kapitalisme dalam membaca dan menangkap selera pasar muslim Indonesia. Realitas ini sekaligus menandai adanya persekutuan antara kapitalisme dan konservatisme-fundamentalisme Islam yang dalam titik tertentu banyak terdapat perbedaan mendasar.

Fundamentalisme Islam yang dulu dianggap sebagai sesuatu yang out of date, dalam prakteknya dapat berkolaborasi dengan tangan-tangan kapitalisme. Muslim Fashion Show, festival film Islami, sertifikasi produk makanan halal, Islamic Book Fair, perbankan dan institusi jasa keuangan syariah, dan institusi-institusi pendidikan islami, adalah potret perkawinan antara kapitalisme (modernitas) dengan fundamentalisme Islam yang dalam banyak hal justru bertentangan secara diametral. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada titik tertentu, kapitalisme dengan seluruh jangkar dan agen-agennya juga bisa “menundukkan” konservatisme-fundamentalisme agama.

Gambaran konservatisme-fundamentalisme Islam yang bersenyawa atau menyatu dalam tubuh kapitalisme modern ini setidaknya terdapat dalam beberapa kegiatan ekonomi dan bisnis dalam banyak dimensi. Dalam konteks menjawab kebutuhan generasi milenial urban terhadap film misalnya, kita dapat mengkomparasikan film Catatan Si Boy dengan film Ayat-ayat Cinta.

Jika dulu pada masa Orde Baru, konstruksi identitas milenial urban itu muncul dalam figur Si Boy yang merepresentasikan pemuda ganteng, kaya dan memiliki banyak pacar, maka konstruksi tersebut kini hadir dalam figur Fahri, tokoh dalam Ayat-ayat Cinta, yang menanggapi apapun dalam tolak ukur iman.

Dalam konteks ini, kapitalisme modern seolah tidak ingin ketinggalan dengan tren yang berkembang di kalangan muslim milenial urban yang menggemari film-film bergenre syariah. Produksi film yang mengandung narasi-narasi syariah-pun dalam perkembangannya mengalami peningkatan dan memiliki pangsa pasar tersendiri di kalangan milenial muslim perkotaan.

Kelihaian kapitalisme dalam memproduksi aneka barang dan jasa yang dibutuhkan pasar muslim Indonesia khususnya kawasan perkotaan, semakin meneguhkan konstruksi identitas baru muslim milenial urban Indonesia. Beberapa pelaku usaha yang bergerak di sektor fashion muslim turut menikmati keuntungan dari meningkatnya ceruk pasar tersebut baik di sektor hulu maupun hilir.

Tidak hanya dalam sektor barang dan jasa, sebagian besar pelaku hijrah juga sering memproduksi konten-konten dakwah Islami seperti ceramah singkat para ustadz, ringkasan hadist-hadist tematik, kalimat-kalimat nasihat dan pesan-pesan moral lainnya. Mereka sering membagikan konten-konten islami dari berbagai ustadz melalui kanal media sosial seperti instagram, facebook, twitter, youtube, dan lain sebagainya. Grup-grup whatssap juga sering menjadi media distribusi konten sehingga pesan-pesan moral tersebut dengan cepat dapat diterima secara luas oleh masyarakat.

Di kalangan generasi muslim milenial perkotaan, para pelaku hijrah juga sering membagikan konten berupa kata-kata motivasi seperti motivasi untuk menjauhkan diri dari pacaran, seruan nikah muda, dan lain-lain. Tren yang paling jamak dilakukan, khususnya bagi para perempuan yang sedang memulai hijrah-nya adalah dengan menghapus foto-foto selfie yang menampakkan wajah mereka di media sosial.

Jika ingin mengunggah foto selfie, mereka akan menutupi wajah mereka dengan tangan atau meletakkan emoticon sedemikian rupa sehingga wajahnya tidak terekspos dengan sempurna. Hal ini dilakukan karena mereka meyakini bahwa wajah adalah aurat yang harus ditutupi, bukan diumbar dan menjadi konsumsi warganet.

Preferensi Generasi Milenial Muslim Perkotaan Terhadap Literasi Konten Dakwah Islam

Dari hasil kajian ditemukan fakta bahwa meskipun terhimpun dalam suatu komunitas yang sama, tetapi pelaku hijrah tidak merepresentasikan background (latar belakang sosial keagamaan) yang sama. Komunitas hijrah dalam prakteknya merefleksikan suatu komunitas cair karena tidak terikat pada kesamaan latar belakang (ideologi/organisasi sosial keagamaan).

Heterogenitas ini tampak pada basis organisasi sosial keagamaan generasi milenial muslim urban yang diikuti seperti NU, Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan lain sebagainya.

Terkait dengan preferensi generasi milenial muslim perkotaan terhadap sumber-sumber literasi konten dakwah islam, ditemukan fakta bahwa mayoritas responden (46%) memilih youtube sebagai sumber utama literasi dakwah. Setelah youtube, media literasi dakwah yang paling sering diikuti adalah majelis taklim (pengajian tatap muka) sebanyak 23%, portal Islam (internet) 15%, televisi 10%, dan instagram 5%. Sementara itu, yang menyatakan tidak tahu sebanyak 1%.

Pilihan generasi muslim milenial urban terhadap youtube sebagai sumber utama literasi konten dakwah mereka, dapat dipahami karena youtube menjadi media audiovisual yang paling cepat melakukan transformasi pesan sekaligus mudah diakses oleh siapa pun yang memiliki gadget (smartphone) tanpa sekat ruang dan waktu.

YouTube adalah sebuah situs web berbagi video yang dibuat oleh tiga mantan karyawan PayPal pada Februari 2005. Situs web ini memungkinkan pengguna mengunggah, menonton, dan berbagi video.

Dalam perkembangan kontemporer, dakwah Islam melalui youtube memang mengalami peningkatan signifikan. Sejumlah dai atau ustadz bahkan telah memiliki kanal youtube tersendiri yang dikelola secara profesional dan memiliki jumlah subscriber yang signifikan. Ustadz Hanan Attaki misalnya, hingga kini telah memiliki 1.32 M subscriber dan akan terus bertambah seiring diterimanya dakwah melalui youtube di kalangan milenial muslim perkotaan.

Bagi generasi milenial yang memiliki keterbatasan waktu, youtube adalah preferensi utama atas sumber-sumber bimbingan moral di banding misalnya harus menghadiri langsung majelis taklim atau pengajian. Kondisi ini tidak berarti bahwa keberadaan majelis taklim terutama di perkotaan mengalami penurunan dari sisi jamaah.

Justru pada saat yang bersamaan, majelis taklim tumbuh subur terutama di perumahan-perumahan elite perkotaan dan masjid-masjid baik di komplek perkantoran maupun komplek fasilitas publik lainnya seperti pusat perbelanjaan modern. Yang mencengangkan adalah majelis taklim tersebut selalu dibanjiri oleh para jamaah. Tren ini dapat kita maknai sebagai indikator berhasilnya gerakan dakwah Islam di lingkungan komunitas urban.

Sementara itu, terkait dengan pilihan ustadz (muballigh, penceramah agama) yang paling sering diikuti, mayoritas responden atau sebanyak 45,45% memilih Ustadz Hanan Attaki. Setelah Hanan Attaki, ustadz berikutnya yang dipilih atau disukai responden adalah Qurais Syihab sebanyak 14,54%, Khalid Basalamah 9,09%, Felix Saw 8,18%, Abdul Somad atau yang sering disebut UAS 6,36%, Yusuf Mansyur, Adi Hidayat, dan Rizieq Syihab masing-masing 2,72%, Gus Miftah, KH. Said Aqil Siradj, dan Cak Nun masing-masing 0,90%. Sementara itu responden yang menyatakan tidak tahu 6 orang atau 5,45%.

Banyaknya responden yang menyukai Hanan Attaki menggambarkan bahwa generasi milenial muslim urban lebih menyukai ustadz berusia muda dan familiar dengan dunia teknologi informasi. Selain penyampaian materi yang mudah diterima, Hanan Attaki dianggap dapat mewakili genre kalangan milenial urban sehingga konten-konten dakwahnya banyak disukai.

Hanan Attaki adalah dai muda asal Aceh, alumni Universitas Al Azhar, Kairo jurusan Tafsir al-Qur’an. Pada saat kuliah di di Kairo Mesir, Hanan Attaki bergabung dalam kelompok studi Alqur’an dan ilmu-ilmu Islam dan menjadi pemimpin redaksi dari buletin ‘Salsabila’ yang dipimpin oleh beberapa tokoh Ikhwanul Muslimin Mesir.

Di Bandung, Hanan Attaki bekerja sebagai pengajar SQT Habiburrahman dan Jendela Hati, dan menjadi Direktur Rumah Quran Salman di ITB. Di kota Bandung pula Hanan Attaki mendirikan Gerakan Pemuda Hirjah pada bulan Maret 2015 yang kemudian menjadi saluran dakwahnya. Pemuda Hijrah memiliki akun di instagram, facebook serta twitter. Selain menjadi founder Pemuda Hijrah dan mengajar di berbagai tempat, Ustaz Hanan Attaki kerap mengisi kajian mengenai Islam di Masjid Trans Studio Bandung.

Jika diklasifikasikan, nama-nama ustadz yang dipilih responden tersebut dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok utama. Pertama, kelompok dai atau ustaz yang mewakili dakwah Islam kultural-tradisional seperti K.H. Said Agil Siradj, Gus Miftah dan Cak Nun. Secara umum mereka berlatar belakang NU dan pasar dakwah mereka adalah warga Nahdiyyin di Tanah Air. Kedua, kelompok dai atau ustadz yang mewakili dakwah Islam salaf dengan ciri utama mengusung dakwah Sunnah berbasis gerakan purifikasi Islam seperti Ustaz Khalid Basalamah. Ketiga, kelompok dai atau ustaz yang mewakili dakwah Islam moderat.

Kelompok ini memiliki kemiripan dengan kelompok dai salaf karena sama-sama mengusung gerakan pemurnian Islam berdasarkan Quran dan Hadist. Hanya saja, kelompok Islam moderat ini lebih dulu terlembaga dan familiar dalam pasar dakwah tanah air karena dipelopori oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah, salah satu organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia setelah Nahdhatul Ulama.

Kelompok dakwah Islam moderat ini diwakili misalnya oleh Ustaz Adi Hidayat. Keempat, kelompok dai atau ustadz yang mewakili dakwah “Islam politik”. Penyebutan Islam politik ini hanya untuk menekankan salah satu agenda kelompok ini yang menginginkan perubahan sistem politik melalui model khilafah seperti yang diusung kelompok Hizbut Tahrir. Model kelompok dai ini diwakili oleh Ustadz Felix Saw.

Adapun Ustadz Hanan Attaki dan Abdul Somad, meskipun dalam banyak hal terdapat titik temu baik dengan kelompok Islam kultural-tradisional dan kelompok Islam moderat tetapi keduanya memiliki pangsa pasar yang sangat cair. Ceruk pasar dakwah mereka bersifat multi ideologis. Artinya, baik kelompok NU, Muhammadiyah atau bahkan lainnya sangat mudah menerima gagasan-gagasan dakwah kedua tokoh ini. Dari sisi popularitas, keduanya dapat dikatakan sebagai celebrity peacher sehingga tidak lagi terikat dengan sekat-sekat ideologis yang ketat.

Yang menarik dalam konteks preferensi generasi milenial muslim urban terhadap pilihan ustadz adalah mayoritas responden yang berlatar belakang NU (97%), ternyata tidak seluruhnya memilih ustadz atau dai berlatar belakang NU. Dengan kata lain, identity (ID) organisasi sosial keagamaan yang melekat pada individu pengikut NU, tidak berbanding lurus dengan pilihan ustadz atau konten dakwah Islam yang dipilihnya.

Realitas ini dapat dimaknai bahwa gelombang hijrah yang justru dipopulerkan oleh kelompok-kelompok di luar Islam kultural-tradisional, ternyata juga mendapat sambutan luas dari penganut Islam kultural-tradisional atau NU. Hal ini merefleksikan bahwa identity (ID) organisasi sosial keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah relatif rendah di kalangan generasi milenial muslim perkotaaan.

Meskipun generasi milenial muslim urban tersebut mewarisi identity (ID) organisasi sosial keagamaan baik secara genetik melalui orang tua, atau dipengaruhi (dibesarkan) oleh lingkungan sosial dan pendidikan-nya, tetapi mereka tidak memiliki loyality atau fanatisme tinggi terhadap organisasi sosial keagamaan tersebut. Hal ini sekaligus menjadi warning terutama bagi NU dan Muhammadiyah terkait dengan literasi konten-konten dakwah mereka baik dalam bentuk kurikulum pendidikan, pengajaran dan indoktrinasi akidah, akhlak dan aspek-aspek teologi lainnya yang tidak lagi “mengikat” secara ideologis kepada pengikutnya.

Selain karena rendahnya identity (ID) organisasi sosial keagamaan, generasi muslim milenial urban tampaknya lebih menyukai model dan konten-konten dakwah Islam yang dikemas secara menarik sesuai dengan denyut nadi modernitas baik dalam bentuk kajian-kajian Islam secara langsung (tatap muka) maupun melalui kanal-kanal perangkat teknologi informasi. Dalam bahasa yang sederhana, ekspektasi generasi muslim milenial urban adalah bagaimana bisa “tetap gaul, tetapi Islami” pada saat yang bersamaan.

Gelombang hijrah dapat berjalan sangat akseleratif terutama di kalangan muslim milenial perkotaan karena di dorong oleh para ustadz atau komunikator dakwah yang cukup lihai dalam membaca selera pasar dengan memanfaatkan instrumen-instrumen teknologi informasi seperti youtube dan media-media sosial lainnya. Kondisi ini menyebabkan terjadinya kompetisi tersendiri, bahkan ruang publik virtual telah menjelma menjadi arena kontestasi yang tidak seimbang khususnya antara dai-dai Islam kultural-tradisional dengan Islam non kultural-tradisional dalam berebut pengaruh (influencer).

Hijrah banyak digandrungi oleh kalangan muslim milenial urban Indonesia karena menawarkan totalitas solusi atas krisis identitas muslim yang mereka alami. Krisis identitas ini merupakan akumulasi dari kegersangan spiritualitas yang dialami muslim perkotaan karena efek modernitas yang menyisihkan nilai-nilai agama dari ranah publik sebagaimana lazim terjadi di berbagai kota di dunia.

Selama ini, sekularisme sebagai produk modernitas berusaha memisahkan agama dari ruang publik sehingga agama benar-benar diletakkan menjadi urusan privat. Kesalehan individu dalam konteks ini tidak perlu diaktualisasikan di ranah publik dan tidak perlu diakui eksistensinya oleh orang lain. Kondisi inilah yang pada akhirnya melahirkan suasana kebatinan yang pincang karena keringnya dimensi spiritualitas dalam diri individu pemeluk agama.

Kanal-kanal teknologi informasi dan revolusi internet, pada sisi lain justru dapat digunakan secara positif untuk memperkokoh fondasi keyakinan beragama (iman) agar pemeluk agama (Islam) tidak terjebak dan jatuh pada ruang hampa di mana goncangan spiritualisme seringkali lahir dari produk-produk kebudayaan dan peradaban modern tersebut.
(dam)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1374 seconds (0.1#10.140)