Suap Dana Perimbangan Daerah, KPK Harus Ungkap Jaringan Pelaku
A
A
A
JAKARTA - Wakil Ketua Komisi III DPR Trimedya Panjaitan meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus konsisten mengungkap jaringan para pelaku pengurusan usulan dana perimbangan daerah dari tingkat daerah hingga pusat.
Trimedya Panjaitan menilai, pola keterhubungan dan dugaan kongkalikong dari tingkat daerah, tingkat pusat, dan dengan para pengusaha ada dalam kasus dugaan suap pengurusan usulan Dana Perimbangan Keuangan Daerah pada Rancangan APBN Perubahan (RAPBNP) 2018 dengan empat pelaku yang sudah ditetapkan KPK.
Apalagi tutur dia, dari berbagai pemberitaan media tentang pemeriksaan saksi-saksi di KPK maupun fakta persidangan satu terdakwa yang sedang disidangkan sudah terungkap banyak pelaku.
Baik dalam konteks terduga pemberi suap maupun terduga penerima. Mulai dari pengusaha, pejabat daerah, kepala daerah, pejabat kementerian khususnya Kemenkeu, hingga politikus dan anggota Komisi IX DPR. Karenanya KPK harus serius menetapkan para terduga pelaku suap berdasarkan alat bukti yang cukup.
"Semuanya harus diungkap saja oleh KPK, termasuk terutama (ditersangkakan) siapa saja aktor-aktor pemainnya. Kan kasus yang ditangani KPK ini sudah banyak terungkap. (Penetapan) sesuaikan dengan bukti-bukti yang ditemukan KPK, sesuai dua alat bukti yang cukup," tegas Trimedya saat dihubungi KORAN SINDO, Selasa (21/8/2018).
Ketua Bidang Hukum, HAM, dan Advokasi DPP PDIP ini menggariskan, konteks dua alat bukti yang cukup untuk menetapkan tersangka baru dalam kasus ini dapat merujuk pada Pasal 184 KUHAPidana. Dalam pasal ini tertuang lima alat bukti yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk termasuk transaksi rekening atau alat bukti elektronik, keterangan terdakwa (tersangka).
Menurut dia, untuk penetapan tersangka baru baik pemberi maupun penerima, maka KPK harus Benar-benar selektif memilah para pelaku, unsur, hingga terkait atau dari kabupaten/kota/provinsi yang mana.
"Mana yang paling besar nah itu yang harus dilakukan. Biar ke depan bisa jadi pelajaran dan efek jera. Tidak hanya untuk pejabat daerah atau kepala daerah, tapi juga DPR. Sesuaikan dengan alat bukti yang cukup," bebernya.
Trimedya melanjutkan, secara umum banyak pihak sudah mengetahui dugaan pengurusan berbagai anggaran dari pusat yang bersumber dari APBN maupun APBN Perubahan untuk disalurkan daerah sangat erat terjadi dugaan korelasi, komunikasi, pertemuan, dan kongkalikong.
Dugaan tersebut diduga melibatkan sejumlah kepala daerah, pejabat daerah, maupun pengusaha dengan sejumlah pihak di tingkat pusat baik kementerian khususnya Kemenkeu maupun anggota DPR. Salah satunya pengurusan alokasi dana perimbangan daerah.
"Karena kan kepala daerah di kita (Indonesia) ini berlomba-lomba mencari anggaran ke pusat. Karena kalau mereka mengandalkan yang normal saja ada risiko untuk pembiayaan daerahnya. Jadi mereka gesit, apakah itu ke DPR, ke Bappenas, ke Kemenkeu," ujarnya.
Trimedya Panjaitan menilai, pola keterhubungan dan dugaan kongkalikong dari tingkat daerah, tingkat pusat, dan dengan para pengusaha ada dalam kasus dugaan suap pengurusan usulan Dana Perimbangan Keuangan Daerah pada Rancangan APBN Perubahan (RAPBNP) 2018 dengan empat pelaku yang sudah ditetapkan KPK.
Apalagi tutur dia, dari berbagai pemberitaan media tentang pemeriksaan saksi-saksi di KPK maupun fakta persidangan satu terdakwa yang sedang disidangkan sudah terungkap banyak pelaku.
Baik dalam konteks terduga pemberi suap maupun terduga penerima. Mulai dari pengusaha, pejabat daerah, kepala daerah, pejabat kementerian khususnya Kemenkeu, hingga politikus dan anggota Komisi IX DPR. Karenanya KPK harus serius menetapkan para terduga pelaku suap berdasarkan alat bukti yang cukup.
"Semuanya harus diungkap saja oleh KPK, termasuk terutama (ditersangkakan) siapa saja aktor-aktor pemainnya. Kan kasus yang ditangani KPK ini sudah banyak terungkap. (Penetapan) sesuaikan dengan bukti-bukti yang ditemukan KPK, sesuai dua alat bukti yang cukup," tegas Trimedya saat dihubungi KORAN SINDO, Selasa (21/8/2018).
Ketua Bidang Hukum, HAM, dan Advokasi DPP PDIP ini menggariskan, konteks dua alat bukti yang cukup untuk menetapkan tersangka baru dalam kasus ini dapat merujuk pada Pasal 184 KUHAPidana. Dalam pasal ini tertuang lima alat bukti yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk termasuk transaksi rekening atau alat bukti elektronik, keterangan terdakwa (tersangka).
Menurut dia, untuk penetapan tersangka baru baik pemberi maupun penerima, maka KPK harus Benar-benar selektif memilah para pelaku, unsur, hingga terkait atau dari kabupaten/kota/provinsi yang mana.
"Mana yang paling besar nah itu yang harus dilakukan. Biar ke depan bisa jadi pelajaran dan efek jera. Tidak hanya untuk pejabat daerah atau kepala daerah, tapi juga DPR. Sesuaikan dengan alat bukti yang cukup," bebernya.
Trimedya melanjutkan, secara umum banyak pihak sudah mengetahui dugaan pengurusan berbagai anggaran dari pusat yang bersumber dari APBN maupun APBN Perubahan untuk disalurkan daerah sangat erat terjadi dugaan korelasi, komunikasi, pertemuan, dan kongkalikong.
Dugaan tersebut diduga melibatkan sejumlah kepala daerah, pejabat daerah, maupun pengusaha dengan sejumlah pihak di tingkat pusat baik kementerian khususnya Kemenkeu maupun anggota DPR. Salah satunya pengurusan alokasi dana perimbangan daerah.
"Karena kan kepala daerah di kita (Indonesia) ini berlomba-lomba mencari anggaran ke pusat. Karena kalau mereka mengandalkan yang normal saja ada risiko untuk pembiayaan daerahnya. Jadi mereka gesit, apakah itu ke DPR, ke Bappenas, ke Kemenkeu," ujarnya.
(pur)