Diplomasi Aksi Iklim dan Kredit Karbon Indonesia

Rabu, 15 Mei 2024 - 14:52 WIB
loading...
Diplomasi Aksi Iklim dan Kredit Karbon Indonesia
Makarim Wibisono, Pengamat Hubungan Internasional dan Lingkungan Hidup. Foto/Dok. SINDOnews
A A A
Makarim Wibisono
Pengamat Hubungan Internasional dan Lingkungan Hidup

SEMUA negara dirasa perlu memperbaiki persepsi globalnya dan membangun soft power untuk kebijakan luar negerinya. Menurut Anholt (2015) terdapat empat atribut yang mempengaruhi posisi suatu negara dalam hubungannya dengan negara lain, yaitu: moralitas, estetika, kekuatan, dan relevansi.

Moralitas berkaitan dengan nilai nilai luhur yang dianut pemimpinnya, penduduknya, dan swasta serta institusi publiknya. Posisi moral yang jelas merupakan soft power yang paling efektif bagi negara manapun. Estetika dilihat dari harmoni masyarakat, keindahan lingkungan alam dan lingkungan buatannya, kecanggihan produk dan hasil budayanya yang dipandang indah sehingga enak dipandang atau dilihat oleh indera.

Kekuatan berkaitan dengan persepsi kekuatan militer dan ekonomi negara dan juga kekuatan media yang mampu memaksakan pandangannya terhadap opini publik internasional. Relevansi adalah konsep yang lebih kompleks dibandingkan tiga konsep sebelumnya, yang melibatkan persepsi masyarakat luar negeri dan ini lebih sulit diprediksi atau dimanipulasi.

Di sinilah peran diplomasi diperlukan, yaitu untuk mempengaruhi presepsi, keputusan dan perilaku pemerintah dan masyarakat asing. Diplomasi dilakukan melalui dialog, negosiasi, dan tindakan lain selain perang atau kekerasan. Diplomasi merupakan instrumen utama kebijakan luar negeri dan merupakan dasar interaksi suatu negara dengan negara-negara lain di dunia.

Pada akhir abad ke-20 muncul salah satu bentuk diplomasi yaitu diplomasi lingkungan. Diplomasi lingkungan mengacu pada penggunaan diplomasi dan kerja sama internasional untuk mengatasi tantangan lingkungan global. Saat ini, tantangan global dikenal dengan triple planetary crisis yaitu 3 krisis global berupa perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan polusi.
Gagasan dari Tanah Air.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menggunakan istilah “leading by example” untuk menggambarkan bagaimana strategi diplomasi lingkungan Indonesia. Indonesia memperkuat posisinya di dunia internasional dengan selalu menjadi contoh bagi dunia dalam menjaga lingkungan dan mengatasi perubahan iklim. Keberhasilan Indonesia menurunkan deforestasi, mengatasi kebakaran hutan dan lahan, melakukan pemulihan ekosistem gambut dan mangrove merupakan aksi nyata yang telah memperoleh pengakuan dunia sehingga memperkuat posisi (standing) Indonesia secara global.

Data deforestasi mulai periode 1996-2000 hingga periode pemantauan 2020-2021 menunjukkan bahwa deforestasi berhasil diturunkan pada titik terendah dalam 20 tahun terakhir yaitu pada angka 0,11 juta ha. Berdasarkan hasil penafsiran citra Landsat 8 OLI tahun 2021 dan 2022 yang terekam pada tanggal 1 Juli 2021 sampai dengan 30 Juni 2022, laju deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia mencapai 104.032,9 ha, dengan rincian laju deforestasi di dalam kawasan hutan sebesar 73.130,4 ha dan di luar kawasan hutan/Area Penggunaan Lain (APL) sebesar 30.902,6 ha.

Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tahun 2023 berhasil ditekan lebih kecil dibandingkan tahun 2019 dengan pengaruh El-Nino yang hampir sama, bahkan kondisi 2023 lebih kering. Luas karhutla tahun 2023 adalah 1.161.192 hektar sedangkan luas karhutla pada tahun 2019 adalah 1.649.258 ha. Luasan ini jauh lebih kecil dibandingkan karhutla pada tahun 2015 yang mencapai 2,61 juta ha.

Pemulihan ekosistem gambut berhasil dilakukan pada lahan seluas 5,57 juta hektar dengan perincian 3,93 juta ha di kawasan konsesi sedangkan pemulihan pemulihan dilahan masyarakat mencapai 1.692.480 ha. Rehabilitasi mangrove juga telah dilakukan secarak marak di berbagai pelosok tanah air dan juga ditandai dengan berbagai inisiatif seperti World Mangrove Center di Bali.

Keberhasilan tersebut didukung data dan informasi yang akurat, transparan dan kredibel memenuhi kaidah Measurable, Reportable, and Verifiable (MRV). Terukur (Measurable) artinya kegiatan yang dilakukan harus dapat diukur dengan akurat.

Dapat dilaporkan (Reportable) berarti hasil pengukuran harus dapat dilaporkan secara transparan dan terbuka. Dapat Diverifikasi (Verifiable) berarti bahwa data yang dilaporkan harus dapat diverifikasi oleh pihak ketiga yang independen. Ini memastikan integritas dan keandalan data.

Pada COP 28 Dubai tahun 2023 Indonesia melaporkan tingkat emisi GRK di tahun 2022 sebesar 1.220 Mton CO2e yang berasal dari berbagai sektor. Yaitu: sektor energi sebesar 715,95 Mton CO2e; proses industri dan penggunaan produk sebesar 59.15 Mton CO2e; pertanian sebesar 89,20 Mton CO2e; kehutanan dan kebakaran gambut sebesar 221,57 Mton CO2e; dan limbah sebesar 221,57 Mton CO2e.

Apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya (2021) tingkat emisi memang mengalami kenaikan sebesar 6,9 % seiring dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Meskipun demikian tingkat emisi tahun 2022 apabila dibandingkan dengan BAU pada tahun yang sama menunjukkan pengurangan sebesar 42%.

Dengan berbagai kebijakan dan tindakan nyata dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, posisi (standing) Indonesia di forum internasional sangat kuat. Hal ini terbukti dengan pengakuan kinerja pengurangan emisi GRK Indonesia melalui REDD+ telah mendapatkan rekognisi internasional yang diwujudkan melalui pembayaran berbasis kinerja/Result-Based Payment (RBP).

Pada saat ini Indonesia tercatat sebagai negara yang menerima RBP paling besar, dengan total komitmen RBP sebesar USD439,8 juta. Di mana dari total komitmen tersebut Indonesia telah menerima pembayaran sebesar USD279,8 juta.

World Bank (2023) dalam laporannya Country Climate and Development Report 2023 - East Asia Indonesia juga memberikan apresiasi yang baik tentang kemajuan penanganan perubahan iklim di Indonesia. Dalam laporannya disebutkan Indonesia telah membuat komitmen penting untuk memenuhi target iklim dan pembangunannya.

Upaya yang sedang berjalan mulai membuahkan hasil dalam memperlambat emisi gas rumah kaca (GRK), mempertahankan pertumbuhan, dan memperkuat ketahanan ekonomi dan sosial. Transisi ini melibatkan trade-off antara aksi iklim dan prioritas pembangunan jangka pendek‒terutama karena rekam jejak pertumbuhan dan pengentasan kemiskinan Indonesia yang kuat sebagian disebabkan oleh kekayaan sumber daya alam‒termasuk batu bara, minyak, hutan, dan lahan gambut.

Indonesia telah menetapkan jalur baru dalam Strategi Jangka Panjang untuk Ketahanan Karbon dan Iklim Rendah (LTS-LCCR) 2050 untuk mempertahankan dan berpotensi mempercepat transformasi ekonomi dari negara berpendapatan menengah ke tinggi.

Kebijakan Ekonomi Karbon
Presiden Jokowi, dalam KTT Perubahan Iklim World Leaders’ Summit, Glasgow tahun 2021, menegaskan kembali posisi Indonesia dalam diplomasi lingkungan dengan komitmen Indonesia untuk berkontribusi lebih cepat bagi Net-Zero Emission dunia melalui sistem nilai karbon. Presiden menegaskan pasar karbon dan nilai karbon harus menjadi bagian dari upaya penanganan isu perubahan iklim.

Ekosistem ekonomi karbon yang transparan, berintegritas, inklusif dan adil harus diciptakan. Komitmen ini disampaikan setelah pemerintah pada tanggal 29 Oktober 2021 menerbitkan Perpres No 98/2021 yang mengatur secara lebih rinci mengenai pelaksanaan NDC.

Kemudian ditindaklanjuti dengan menerbitkan Permen LHK No 21/2022 mengatur tata laksana penerapan nilai ekonomi karbon, yang keduanya dapat menjadi payung hukum bagi visi jangka panjang LTS-LCCR 2050 menuju Net-Zero Emission 2060 atau lebih cepat.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2379 seconds (0.1#10.140)
pixels