Mengimplementasikan Khittah NU Secara Murni dan Konsekuen

Jum'at, 24 Desember 2021 - 17:43 WIB
loading...
A A A
Menguatnya politik aliran menjelang 2019 hubungan simbiosis mutualisme antara NU dan pemerintahan Jokowi makin kuat. Itu bisa dilihat dari sering PBNU mengeluarkan penolakan dan kecaman terhadap beberapa aksi yang dimotori oleh kelompok 212 yang menyudutkan pemerintahan Jokowi. Pada saat yang sama, pemerintahan Jokowi tampak membalas kebaikan tersebut dengan memberikan beberapa program yang menguntungkan NU seperti kredit murah Rp1,7 triliun dari Kementerian Keuangan pada 2020. Karena tidak semua ormas mendapatkan, program seperti itu dalam literatur ilmu politik lazim disebut pork barrel projects. Program seperti ini biasanya diberikan kepada kelompok sosial yang dekat atau dianggap menguntungkan atau berjasa pada pemerintah.

Sebagai entitas terbesar, NU juga memiliki posisi strategis dari menguatnya politik aliran. Posisi strategis tersebut berhasil dimanfaatkan NU dengan menjadikan kader terbaiknya, KH Ma'ruf Amin sebagai wakil presiden.
Meskipun diuntungkan dari menguatnya politik aliran, NU sebaiknya terus berupaya menerapkan Khittah NU secara murni dan konsekuen. Upaya tersebut akan berkontribusi menurunkan tensi politik aliran yang kontra produktif terhadap persatuan nasional.

Toh, sebenarnya posisi dan pengaruh politik NU dalam memperjuangkan aspirasi anggotanya dan masyarakat Indonesia secara umum bisa lebih luas dan kuat tanpa harus mendorong pengurus aktif merebut jabatan politik dan terikat secara spesial dengan salah satu parpol. Sebab parpol di Indonesia saat ini telah berubah menjadi catch all (meraup suara dari semua segmen masyarakat). Suara (kritikan dan aspirasi) NU akan menjadi perhatian dari banyak parpol dan pemerintah (incumbent). Sebab NU entitas terbesar.

Keterikatan NU dengan salah satu parpol, justru mengundang resistensi dari banyak parpol. Buktinya, NU justru banyak mendapatkan kekecewaan saat menjadi bagian dari Masyumi dan PPP serta menjadi partai tersendiri (PNU). NU juga terlihat harus kerja keras memperjuangkan aspirasinya (misalnya UU pesantren) lewat kekuatan politik di luar PKB.

NU hanya perlu mendorong anggota dan tokoh NU non-struktural yang punya pengaruh kuat di masyarakat untuk berdiaspora ke berbagai parpol sampai pada suatu saat nanti posisi penting di berbagai parpol akan diisi oleh orang NU. Jika itu telah terjadi, posisi-posisi strategis di eksekutif dan legislatif juga akan diisi orang NU. Sebab parpol adalah sarana rekrutmen jabatan politik.

Untuk menjamin Khittah NU bisa diimplementasikan secara murni dan konsekuen tidak cukup hanya melarang pengurus PBNU menjadi capres atau cawapres seperti yang diutarakan Gus Yahya menjelang muktamar. Sebab politik aliran tidak hanya ada di pilpres.

Oleh karena itu, Pengurus PBNU periode 2021-2026 perlu menggunakan kewenanganya sebagaimana diatur dalam ART NU Pasal 51 poin 8 dengan pengeluarkan peraturan organisasi yang mengatur lebih tegas, bahwa semua pengurus NU (Syuriyah, Tanfidziyah, Lembaga, dan badan otonom) dilarang memiliki jabatan politik (legislatif dan eksekutif) dan bukan kader parpol minimal selama 5 tahun. Selama menjadi pengurus NU dilarang mengundurkan diri karena mencalonkan atau dicalonkan dalam jabatan politik yang diisi lewat pemilu. Ada sanksi berat jika dilanggar.
(abd)
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1507 seconds (0.1#10.140)