Koalisi Pemantau Peradilan Kritik MA Larang Foto dan Rekam Persidangan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) mengkritik Mahkamah Agung (MA) yang melarang pengunjung sidang mengambil foto dan merekam jalannya persidangan berdasarkan Perma Nomor 5 Tahun 2020.
Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) terdiri atas Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), LBH Jakarta, Publik Interest Lawyer Network (Pilnet) Indonesia, dan Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL).
Larangan pengunjung sidang mengambil foto dan merekam jalannya persidangan tercantum pada Pasal 4 ayat (6) Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkungan Pengadilan. ( )
Pasal a quo berbunyi, "Pengambilan foto, rekaman audio dan/atau rekaman audio visual harus seizin Hakim/Ketua Majelis Hakim yang bersangkutan yang dilakukan sebelum dimulainya Persidangan."
Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Abraham Todo Napitupulu menyatakan, larangan memfoto, merekam, dan meliput persidangan sebelumnya juga pernah diatur MA melalui Surat Edaran (SE) Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum (Dirjen Badilum) MA Nomor 2 tahun 2020 tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan yang ditandatangani pada 7 Februari 2020. Dalam SE tersebut diatur ketentuan yang menyatakan bahwa "Pengambilan Foto, rekaman suara, rekaman TV harus seizin Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan."
"Larangan ini akhirnya dicabut oleh MA. Selain itu perbedaannya kali ini, MA memberikan kewenangan kepada hakim/ketua majelis hakim dan bukan Ketua Pengadilan Negeri," ujar Erasmus kepada SINDOnews di Jakarta, Senin (21/12/2020).
Dia mengungkapkan, KPP memandang pada sidang yang terbuka untuk umum, maka mengambil foto, rekaman audio dan/atau rekaman audio visual adalah bagian dari akses terhadap keadilan dan keterbukaan informasi publik yang justru harus dijamin oleh MA. Khususnya, kata Erasmus, dalam hal diambil dengan tidak mengganggu jalannya persidangan. ( )
"Bahwa izin dari hakim/ketua majelis hakim baru relevan jika para pengunjung sidang termasuk media massa/jurnalis membawa peralatan atau dengan cara-cara yang pada dasarnya akan mengganggu tidak hanya persidangan namun pengadilan secara keseluruhan. Izin baru tepat dilakukan apabila hakim/majelis hakim terganggu dalam menjalankan sidang," katanya.
Erasmus membeberkan, dalam hal ini maka KPP memandang bahwa prinsip peradilan adalah terbuka untuk umum jelas sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 153 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pasal 13 UU Kekuasaan Kehakiman. Kecuali, ujar dia, perkara mengenai kesusilaan atau anak.
"Bahkan implikasi ketika hal ini tidak terpenuhi maka putusan pengadilan tersebut bisa batal demi hukum," kata Erasmus.
Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) terdiri atas Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), LBH Jakarta, Publik Interest Lawyer Network (Pilnet) Indonesia, dan Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL).
Larangan pengunjung sidang mengambil foto dan merekam jalannya persidangan tercantum pada Pasal 4 ayat (6) Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkungan Pengadilan. ( )
Pasal a quo berbunyi, "Pengambilan foto, rekaman audio dan/atau rekaman audio visual harus seizin Hakim/Ketua Majelis Hakim yang bersangkutan yang dilakukan sebelum dimulainya Persidangan."
Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Abraham Todo Napitupulu menyatakan, larangan memfoto, merekam, dan meliput persidangan sebelumnya juga pernah diatur MA melalui Surat Edaran (SE) Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum (Dirjen Badilum) MA Nomor 2 tahun 2020 tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan yang ditandatangani pada 7 Februari 2020. Dalam SE tersebut diatur ketentuan yang menyatakan bahwa "Pengambilan Foto, rekaman suara, rekaman TV harus seizin Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan."
"Larangan ini akhirnya dicabut oleh MA. Selain itu perbedaannya kali ini, MA memberikan kewenangan kepada hakim/ketua majelis hakim dan bukan Ketua Pengadilan Negeri," ujar Erasmus kepada SINDOnews di Jakarta, Senin (21/12/2020).
Dia mengungkapkan, KPP memandang pada sidang yang terbuka untuk umum, maka mengambil foto, rekaman audio dan/atau rekaman audio visual adalah bagian dari akses terhadap keadilan dan keterbukaan informasi publik yang justru harus dijamin oleh MA. Khususnya, kata Erasmus, dalam hal diambil dengan tidak mengganggu jalannya persidangan. ( )
"Bahwa izin dari hakim/ketua majelis hakim baru relevan jika para pengunjung sidang termasuk media massa/jurnalis membawa peralatan atau dengan cara-cara yang pada dasarnya akan mengganggu tidak hanya persidangan namun pengadilan secara keseluruhan. Izin baru tepat dilakukan apabila hakim/majelis hakim terganggu dalam menjalankan sidang," katanya.
Erasmus membeberkan, dalam hal ini maka KPP memandang bahwa prinsip peradilan adalah terbuka untuk umum jelas sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 153 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pasal 13 UU Kekuasaan Kehakiman. Kecuali, ujar dia, perkara mengenai kesusilaan atau anak.
"Bahkan implikasi ketika hal ini tidak terpenuhi maka putusan pengadilan tersebut bisa batal demi hukum," kata Erasmus.