AJI Desak MA Cabut Larangan Pengambilan Foto dan Rekaman di Persidangan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Aliansi Jurnalis Independen ( AJI ) Indonesia mendesak Mahkamah Agung ( MA ) mencabut ketentuan pengambilan foto dan merekam persidangan harus seizin hakim/ketua majelis hakim.
Ketua Umum AJI Indonesia, Abdul Manan menyatakan ketentuan pengambilan foto dan merekam sidang harus seizin hakim/ketua majelis hakim pada Pasal 4 ayat (6) Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkungan Pengadilan sebenarnya hampir sama dengan Surat Edaran (SE) Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum (Dirjen Badilum) MA Nomor 2 tahun 2020 tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan. (Baca juga: Ambil Gambar, Audio, dan Visual di Pengadilan Harus Izin Dinilai Bentuk Penutupan Akses Publik)
Dalam SE itu, tutur Manan, menyebutkan bahwa pengambilan foto, rekaman suara, rekaman TV yang harus seizin Ketua Pengadilan Negeri. Bahkan dalam SE tersebut tercantum bahwa ancaman pemidanaan bagi setiap orang yang melanggar tata tertib menghadiri persidangan. Ketentuan ini kemudian dicabut MA setelah mendapat protes dari berbagai kalangan.
Secara utuh, Pasal 4 ayat (6) Perma 5 Tahun 2020 berbunyi, "Pengambilan foto, rekaman audio dan/atau rekaman audio visual harus seizin Hakim/Ketua Majelis Hakim yang bersangkutan yang dilakukan sebelum dimulainya Persidangan."
Manan membeberkan pelanggaran terhadap Pasal tersebut dikualifikasikan sebagai penghinaan terhadap pengadilan. Karenanya, kata Manan, atas penerbitan Perma Nomor 5 Tahun 2020 yang memasukkan lagi ketentuan yang sudah pernah dipersoalkan sebelumnya maka AJI Indonesia menyampaikan dua sikap.
"Satu, mendesak Mahkamah Agung untuk segera mencabut ketentuan soal pengambilan foto, rekaman audio dan rekaman audio visual harus seizin hakim atau ketua majelis hakim," ujar Manan dalam rilis yang diterima MNC News Portal di Jakarta, Senin (21/12/2002).
Bagi AJI Indonesia, kata Manan, Perma Nomor 5 Tahun 2020 tidak sejalan dengan Undang-undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menjamin kerja-kerja jurnalis dalam mencari, memperoleh, menyebarluaskan gagasan dan informasi.
"Sebab, ketentuan tersebut akan menghambat dan membatasi jurnalis dalam melakukan kegiatan jurnalistik di ruang sidang," bebernya.
Dua, lanjut Manan, AJI Indonesia meminta MA untuk tidak terus membuat ketentuan yang bisa membatasi jurnalis bekerja karena itu sama saja dengan menghambat kebebasan pers. AJI Indonesia bisa mengerti bahwa MA ingin menciptakan ketertiban dan menjaga kewibawaan pengadilan. (Baca juga:Kuasa Hukum: Fakta Persidangan Tidak Bisa Ungkap Aliran Suap ke Nurhadi)
"Namun, niat untuk itu hendaknya tidak membuat hak wartawan dibatasi. Sebab, hak untuk mendapatkan informasi itu ditetapkan oleh regulasi yang derajatnya lebih tinggi dari peraturan Mahkamah Agung, yaitu Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers," tegas Manan.
Ketua Umum AJI Indonesia, Abdul Manan menyatakan ketentuan pengambilan foto dan merekam sidang harus seizin hakim/ketua majelis hakim pada Pasal 4 ayat (6) Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkungan Pengadilan sebenarnya hampir sama dengan Surat Edaran (SE) Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum (Dirjen Badilum) MA Nomor 2 tahun 2020 tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan. (Baca juga: Ambil Gambar, Audio, dan Visual di Pengadilan Harus Izin Dinilai Bentuk Penutupan Akses Publik)
Dalam SE itu, tutur Manan, menyebutkan bahwa pengambilan foto, rekaman suara, rekaman TV yang harus seizin Ketua Pengadilan Negeri. Bahkan dalam SE tersebut tercantum bahwa ancaman pemidanaan bagi setiap orang yang melanggar tata tertib menghadiri persidangan. Ketentuan ini kemudian dicabut MA setelah mendapat protes dari berbagai kalangan.
Secara utuh, Pasal 4 ayat (6) Perma 5 Tahun 2020 berbunyi, "Pengambilan foto, rekaman audio dan/atau rekaman audio visual harus seizin Hakim/Ketua Majelis Hakim yang bersangkutan yang dilakukan sebelum dimulainya Persidangan."
Manan membeberkan pelanggaran terhadap Pasal tersebut dikualifikasikan sebagai penghinaan terhadap pengadilan. Karenanya, kata Manan, atas penerbitan Perma Nomor 5 Tahun 2020 yang memasukkan lagi ketentuan yang sudah pernah dipersoalkan sebelumnya maka AJI Indonesia menyampaikan dua sikap.
"Satu, mendesak Mahkamah Agung untuk segera mencabut ketentuan soal pengambilan foto, rekaman audio dan rekaman audio visual harus seizin hakim atau ketua majelis hakim," ujar Manan dalam rilis yang diterima MNC News Portal di Jakarta, Senin (21/12/2002).
Bagi AJI Indonesia, kata Manan, Perma Nomor 5 Tahun 2020 tidak sejalan dengan Undang-undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menjamin kerja-kerja jurnalis dalam mencari, memperoleh, menyebarluaskan gagasan dan informasi.
"Sebab, ketentuan tersebut akan menghambat dan membatasi jurnalis dalam melakukan kegiatan jurnalistik di ruang sidang," bebernya.
Dua, lanjut Manan, AJI Indonesia meminta MA untuk tidak terus membuat ketentuan yang bisa membatasi jurnalis bekerja karena itu sama saja dengan menghambat kebebasan pers. AJI Indonesia bisa mengerti bahwa MA ingin menciptakan ketertiban dan menjaga kewibawaan pengadilan. (Baca juga:Kuasa Hukum: Fakta Persidangan Tidak Bisa Ungkap Aliran Suap ke Nurhadi)
"Namun, niat untuk itu hendaknya tidak membuat hak wartawan dibatasi. Sebab, hak untuk mendapatkan informasi itu ditetapkan oleh regulasi yang derajatnya lebih tinggi dari peraturan Mahkamah Agung, yaitu Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers," tegas Manan.
(kri)