Memilih OECD Bukan BRICS, Apakah Rasional?
loading...
A
A
A
Peluang ini diraih setelah Dewan OECD membuka diskusi aksesi dengan Indonesia sejak tanggal 20 Februari 2024. Selanjutnya Indonesia masih harus menyusun Peta Jalan Aksesi yang dimulai dengan pemetaan gap kebijakan Indonesia dengan standar OECD.
Keputusan pemerintah menjadi anggota OECD tentu menimbulkan berbagai pertanyaan. Di antaranya apakah pilihan bergabung dengan aliansi ekonomi bersiat urgen? Atau apakah keputusan tersebut merupakan pilihan rasional yang menjadikan orientasi untung rugi sebagai basis pertimbangan? Pertanyaan tentu berangkat dari pandangan bahwa langkah yang diambil tidak lah main-main karena menyangkut masa depan negeri ini.
OECD Versus BRICS
Di usia menginjak 75 tahun, OECD sudah pasti merupakan organisasi yang matang. Metamorfosis secara berkesinambungan telah menjadikan OECD memiliki wilayah kerja yang sangat luas, yakni perekonomian, pemerintahan, pembangunan, keuangan, sosial kemasyarakatan, lingkungan hidup dan lainnya
Dengan misi untuk mewujudkan perekonomian global yang kuat, bersih, dan berkeadilan (a stronger, cleaner, fairer world economy), OECD menjelma sebagai forum antar-pemerintah negara anggota untuk membandingkan dan mempertukarkan berbagai pengalaman kebijakan, mengindentifikasi praktik terbaik merespons dinamika tantangan, mempromosikan berbagai keputusan, dan merekomendasikan pembuatan kebijakan lebih baik.
Dalam laporan Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral (2015), diungkapkan bahwa dengan kapasitasnya sebagai global standard-setter di berbagai bidang, OECD memproduksi berbagai analisis, laporan, dan rekomendasi yang telah menjadi referensi utama, panduan, serta benchmark. Output tersebut tidak saja dimanfaatkan negara-negara anggota, tetapi juga oleh negara bukan anggota, serta berbagai lembaga dunia.
Indonesia sudah memiliki kerja sama yang baik dengan OECD, terutama dimulai 2007 kala Indonesia mulai berpartisipasi pada berbagai pertemuan OECD dan dilakukannya berbagai review dan assessment terhadap berbagai kebijakan Pemerintah Republik Indonesia.
Indonesia saat ini menjadi anggota Development Centre (DC) OECD. DC didirikan untuk membantu para pengambil keputusan mendapatkan solusi kebijakan sehingga pada akhirnya merangsang pertumbuhan serta memperbaiki standar hidup di negara berkembang dan perekonomian-perekonomian yang sedang tumbuh.
Pada perkembangannya, Indonesia dan OECD telah menandatangani Framework Cooperation Agreement pada tanggal 27 September 2012, yang disertai pendirian pendirian kantor perwakilan OECD di Indonesia pada 5 September 2013. Hingga saat ini, OECD aktif dalam melakukan review terhadap kebijakan publik di Indonesia.
Review dimaksud antara lain berupa OECD Economic Survey, Regulatory Reform Review, Agriculture Review, Education Review, Investment Policy Review, dan dalam waktu dekat direncanakan OECD akan melakukan Government Spending Review.
Keputusan pemerintah menjadi anggota OECD tentu menimbulkan berbagai pertanyaan. Di antaranya apakah pilihan bergabung dengan aliansi ekonomi bersiat urgen? Atau apakah keputusan tersebut merupakan pilihan rasional yang menjadikan orientasi untung rugi sebagai basis pertimbangan? Pertanyaan tentu berangkat dari pandangan bahwa langkah yang diambil tidak lah main-main karena menyangkut masa depan negeri ini.
OECD Versus BRICS
Di usia menginjak 75 tahun, OECD sudah pasti merupakan organisasi yang matang. Metamorfosis secara berkesinambungan telah menjadikan OECD memiliki wilayah kerja yang sangat luas, yakni perekonomian, pemerintahan, pembangunan, keuangan, sosial kemasyarakatan, lingkungan hidup dan lainnya
Dengan misi untuk mewujudkan perekonomian global yang kuat, bersih, dan berkeadilan (a stronger, cleaner, fairer world economy), OECD menjelma sebagai forum antar-pemerintah negara anggota untuk membandingkan dan mempertukarkan berbagai pengalaman kebijakan, mengindentifikasi praktik terbaik merespons dinamika tantangan, mempromosikan berbagai keputusan, dan merekomendasikan pembuatan kebijakan lebih baik.
Dalam laporan Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral (2015), diungkapkan bahwa dengan kapasitasnya sebagai global standard-setter di berbagai bidang, OECD memproduksi berbagai analisis, laporan, dan rekomendasi yang telah menjadi referensi utama, panduan, serta benchmark. Output tersebut tidak saja dimanfaatkan negara-negara anggota, tetapi juga oleh negara bukan anggota, serta berbagai lembaga dunia.
Indonesia sudah memiliki kerja sama yang baik dengan OECD, terutama dimulai 2007 kala Indonesia mulai berpartisipasi pada berbagai pertemuan OECD dan dilakukannya berbagai review dan assessment terhadap berbagai kebijakan Pemerintah Republik Indonesia.
Indonesia saat ini menjadi anggota Development Centre (DC) OECD. DC didirikan untuk membantu para pengambil keputusan mendapatkan solusi kebijakan sehingga pada akhirnya merangsang pertumbuhan serta memperbaiki standar hidup di negara berkembang dan perekonomian-perekonomian yang sedang tumbuh.
Pada perkembangannya, Indonesia dan OECD telah menandatangani Framework Cooperation Agreement pada tanggal 27 September 2012, yang disertai pendirian pendirian kantor perwakilan OECD di Indonesia pada 5 September 2013. Hingga saat ini, OECD aktif dalam melakukan review terhadap kebijakan publik di Indonesia.
Review dimaksud antara lain berupa OECD Economic Survey, Regulatory Reform Review, Agriculture Review, Education Review, Investment Policy Review, dan dalam waktu dekat direncanakan OECD akan melakukan Government Spending Review.