Memilih OECD Bukan BRICS, Apakah Rasional?

Jum'at, 22 Maret 2024 - 05:51 WIB
loading...
Memilih OECD Bukan BRICS, Apakah Rasional?
Ilustrasi: Masyudi/SINDOnews
A A A
‘’INDONESIA adalah kandidat kuat untuk bergabung dengan BRICS , namun negara tersebut belum secara resmi mengajukan permohonan untuk bergabung," kata Duta Besar Rusia untuk Indonesia Lyudmila Vorobyova dalam sebuah wawancara dengan TASS yang dikutip Minggu (18/2/2024).

baca juga: Apa yang Diharapkan Indonesia Bergabung dengan OECD?

Pernyataan yang disampaikan Lyudmila tak sampai setengah bulan sebelum Indonesia memutuskan bergabung dengan OECD ( Organisation for Economic Co-operation and Development ) tentu menyiratkan harapan besar kepada negeri ini untuk bergabung dengan BRICS. Harapan ini seiring dengan pentingnya posisi Indonesia dan dampaknya jika bergabung dengan aliansi perekonomian yang terbentuk pada 2006 itu.

Betapa tidak, Indonesia merupakan negara perekonomian terbesar di ASEAN dan merupakan salah satu anggota G-20 yang mencerminkan negara dengan product domestic bruto (PDB) terkuat di dunia. Plus negara yang terdiri dari Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan yang mewakili 23% PDB dunia, 18% perdagangan dunia, dan 42% populasi dunia, BRICS ke depan tidak bisa dipandang sebelah mata.

Apalagi dengan adanya tambahan 5 anggota baru, yakni Arab Saudi, Iran, Uni Emirat Arab, Ethiopia, dan Mesir. Selain itu, masih ada lebih 40 negara menyatakan ketertarikan bergabung dengan BRICS, dan 22 negara telah secara resmi meminta untuk diterima. Semakin besar anggota yang bergabung tentu selaras dengan potensi kekuatan yang dimiliki BRICS ke depan.

Pada 2023 kemarin, Dana Moneter Internasioal (IMF) telah memproyeksikan BRICS secara kolektif akan menyumbang 32,1% PDB global. Angka tersebut naik dari hanya 16,9% pada tahun 1995. Dengan kata lain, dalam kurun waktu sekitar 28 tahun, PDB BRICS diproyeksikan mengalami doubling atau naik hampir 100%.

Hanya saja harus diakui, kekuatan BRICS hari ini masih kalah dibanding OECD yang sudah terbentuk pada 1948, dengan pionir negara-negara Eropa (OEEC - Organisation for European Economic Co-operation). Dengan anggota yang sudah mencapai 38 negara, OECD mencerminkan sekitar 60% nilai PDB dan perdagangan global.

Beberapa anggota OECD sekaligus merupakan negara yang masuk G-20, yang merefleksikan negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia. Negara-negara dimaksud antara lain Amerika, Inggris, Italia,Jerman, Prancis, Jepang, Turki, Meksiko dan Korea Selatan. Sebagian besar anggota Uni Eropa bergabung dalam organisasi ini.

Dan di tengah tarik-menarik kekuatan aliansi perekonomian dunia, pada akhirnya Indonesia telah mengambil keputusan. Kepastian Indonesia melangkah menjadi anggota OECD disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam acara Dinner Reception In Conjunction With Indonesia’s Accession to The OECD With OECD Heads of Mission in Jakarta, Rabu (28/02).

baca juga: Mengenal OECD, Indonesia Ngebet Ingin Jadi Anggotanya

Peluang ini diraih setelah Dewan OECD membuka diskusi aksesi dengan Indonesia sejak tanggal 20 Februari 2024. Selanjutnya Indonesia masih harus menyusun Peta Jalan Aksesi yang dimulai dengan pemetaan gap kebijakan Indonesia dengan standar OECD.

Keputusan pemerintah menjadi anggota OECD tentu menimbulkan berbagai pertanyaan. Di antaranya apakah pilihan bergabung dengan aliansi ekonomi bersiat urgen? Atau apakah keputusan tersebut merupakan pilihan rasional yang menjadikan orientasi untung rugi sebagai basis pertimbangan? Pertanyaan tentu berangkat dari pandangan bahwa langkah yang diambil tidak lah main-main karena menyangkut masa depan negeri ini.

OECD Versus BRICS

Di usia menginjak 75 tahun, OECD sudah pasti merupakan organisasi yang matang. Metamorfosis secara berkesinambungan telah menjadikan OECD memiliki wilayah kerja yang sangat luas, yakni perekonomian, pemerintahan, pembangunan, keuangan, sosial kemasyarakatan, lingkungan hidup dan lainnya

Dengan misi untuk mewujudkan perekonomian global yang kuat, bersih, dan berkeadilan (a stronger, cleaner, fairer world economy), OECD menjelma sebagai forum antar-pemerintah negara anggota untuk membandingkan dan mempertukarkan berbagai pengalaman kebijakan, mengindentifikasi praktik terbaik merespons dinamika tantangan, mempromosikan berbagai keputusan, dan merekomendasikan pembuatan kebijakan lebih baik.

Dalam laporan Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral (2015), diungkapkan bahwa dengan kapasitasnya sebagai global standard-setter di berbagai bidang, OECD memproduksi berbagai analisis, laporan, dan rekomendasi yang telah menjadi referensi utama, panduan, serta benchmark. Output tersebut tidak saja dimanfaatkan negara-negara anggota, tetapi juga oleh negara bukan anggota, serta berbagai lembaga dunia.

Indonesia sudah memiliki kerja sama yang baik dengan OECD, terutama dimulai 2007 kala Indonesia mulai berpartisipasi pada berbagai pertemuan OECD dan dilakukannya berbagai review dan assessment terhadap berbagai kebijakan Pemerintah Republik Indonesia.

Indonesia saat ini menjadi anggota Development Centre (DC) OECD. DC didirikan untuk membantu para pengambil keputusan mendapatkan solusi kebijakan sehingga pada akhirnya merangsang pertumbuhan serta memperbaiki standar hidup di negara berkembang dan perekonomian-perekonomian yang sedang tumbuh.

Pada perkembangannya, Indonesia dan OECD telah menandatangani Framework Cooperation Agreement pada tanggal 27 September 2012, yang disertai pendirian pendirian kantor perwakilan OECD di Indonesia pada 5 September 2013. Hingga saat ini, OECD aktif dalam melakukan review terhadap kebijakan publik di Indonesia.

Review dimaksud antara lain berupa OECD Economic Survey, Regulatory Reform Review, Agriculture Review, Education Review, Investment Policy Review, dan dalam waktu dekat direncanakan OECD akan melakukan Government Spending Review.

Kerja sama Indonesia – OECD pun telah memiliki beberapa payung hukum. Landasan hukum dimaksud yakni UU No 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, UU No 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Keppres no 1 Tahun 2012 tentang Penetapan Keanggotaan Indonesia pada Development Center OECD, dan Framework Cooperation Agreement Between Indonesia and OECD yang diteken pada tanggal 27 September 2012.

Sedangkan BRICS yang didirikan sejak 2009, telah menunjukkan progresivitasnya memperluas keanggotaan. Jika sebelumnya hanya terdiri dari Brazil, Rusia, India, China, Afrika Selatan,sejak 1 Januari 2024 telah memiliki anggota baru, yakni Mesir, Ethiopia, Iran, dan UEA.

baca juga: Apa Saja Keuntungan Indonesia Jika Bergabung dengan OECD?

Gabungan negara anggota mencerminkan kekuatan PDB sebesar USD28 triliun atau menyumbang 27% PDB global. Secara populasi, gabungan negara yang memiliki 30% luas daratan bumi tersebut memiliki penduduk sekitar 40% populasi dunia. Pada 2001, Goldman Sachs memprediksi BRICS akan menjadi kekuatan ekonomi dunia pada 2050.

Visi BRICS untuk memperluas keanggotaan sebenarnya sudah diinisiasi China sejak 2022 lalu. Pada pidato di forum bisnis BRICS (22/6), Presiden Tiongkok Xi Jinping menyampaikan pandangan bahwa ada tiga prasyarat untuk memperbaiki ekonomi dunia. Prasyarat dimaksud yakni, adanya perdamaian, pembangunan, keterbukaan.

Selain itu, Xi juga menggariskan pentingnya para pemimpin negara berpegang pada prinsip-prinsip ekonomi dasar keunggulan komparatif, dan mengatakan tidak untuk menjadi ideologis, memisahkan diri, dan memotong rantai pasokan.

Muara pemikiran Xi ini adalah dunia kembali ke multilateralisme, kembali ke perekonomian terbuka, menentang sanksi unilateral, memperkuat kerja sama ekonomi digital, inovasi teknologi, rantai pasok dan industri, ketahanan pangan dan energi, serta mendorong pemulihan ekonomi dunia.

Dengan demikian BRICS harus fokus pada pembangunan, terbuka pada kerja sama dengan siapa pun, memperluas keanggotaan, memperkokoh kerja sama BRICS, serta memperkuat peran dan pengaruh BRICS sebagai pemain penting di dunia.

Visi Xi untuk memperkuat multilateralisme dunia dan memperkuat peran BRICS dunia kembali ditegaskan dalam KTT di Afrika Selatan yang bertema bertema ”Foster High-quality BRICS Partnership, Usher in a New Era for Global Development”.

Hal ini sekaligus merespons kecenderungan Amerika Serikat (AS) dan sekutunya untuk memperluas aliansi militer untuk mencari keamanan mutlak, memicu konfrontasi berbasis blok dengan memaksa negara lain untuk memihak, serta mengejar dominasi sepihak dengan mengorbankan hak dan kepentingan orang lain.

China menegaskan pentingnya negara-negara BRICS mempraktikkan multilateralisme, menjaga keadilan, solidaritas, serta menolak hegemoni, intimidasi dan perpecahan. China juga mengusulkan kerangka Inisiatif Pembangunan Global sebagai bentuk nyata dari kerja sama BRICS.

Salah satunya dengan meningkatkan Dana Bantuan Kerja Sama Selatan-Selatan Tiongkok menjadi Dana Pembangunan Global dan Kerja Sama Selatan Selatan, dengan tambahan masukan USD1 miliar dari USD3 miliar yang sudah ada.

Selain itu, China juga mendorong BRICS menambah dukungan untuk Dana Perwalian Perdamaian dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dibuat China, menerbitkan Laporan Pembangunan Global, dan mendirikan Pusat Promosi Pembangunan Global dan Jaringan Pengetahuan Global untuk Pembangunan.

Sejumlah Realitas

"Kita ingin mengkaji terlebih dahulu, mengkalkulasi terlebih dahulu, kita tidak ingin tergesa-gesa. Demikian pernyataan Presiden Joko Widodo, (17/2) usai menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS ke-15 yang digelar di Sandton Convention Center, Johannesburg, Republik Afrika Selatan pada 24 Agustus 2023 lalu.

Pernyataan ini disampaikan Jokowi di tengah gencarnya Indonesia bergabung dengan BRICS. Saat itu seolah BRICS hanya menunggu kata ‘iya’ dari decision maker negeri ini. Harapan BRICS agar Indonesia bergabung tentu sangat besar mengingat posisi sebagai anggota G-20 dengan PBD perkapita sebesar USD4.929,7 dan merupakan salah satu negara dengan stabilitas ekonomi kuat dengan pertumbuhan di atas 5%.

Hadirnya Indonesia tentu akan memperkuat bargaining position BRICS atas negara-negara barat. Di sisi lain, sejatinya Indonesia juga memiliki keselasan visi dengan BRICS. Fakta demi terungkap dalam pandangan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi saat menyampaikan pernyataan secara virtual pada pertemuan para menteri luar negeri negara-negara BRICS dengan negara-negara mitra di Cape Town, Afrika Selatan (2/6/2023).

baca juga: Daftar Negara Anggota OECD, Ada Israel hingga Indonesia

Pada momen itu, Menlu Retno Marsudi mengajak negara-negara BRICS untuk memperjuangkan hak pembangunan setiap negara dan memperkuat multilateralisme. Urgensi ini berdasar realitas bahwa saat ini dunia semakin terbelah ke dalam blok-blok yang saling berlawanan. Tatanan dunia yang berdasarkan peraturan kehilangan makna karena setiap negara mengejar kepentingan pribadi masing-masing.

Lebih jauh Indonesia melihat kerja sama internasional gagal mengatasi tantangan-tantangan global, dan kepercayaan terhadap efektivitas multilateralisme makin surut. Menurut Retno, bila kondisi ini dibiarkan terus berlanjut, maka negara berkembang akan menjadi korban. Dia pun menandaskan, semua negara memiliki tanggung jawab untuk memperbaiki tatanan global yang tidak sehat ini, dan BRICS berpotensi menjadi kekukatan yang positif untuk itu.

Keselarasan kepentingan Indonesia dengan BRICS terlihat sangat kuat, termasuk pada isu-isu sensitif seperti sistem keuangan global, pun penggunaan sistem moneter internasional yang berpangku pada mata uang dollar, karena Indonesia dengan beberapa negara dan dengan ASEAN sudah mulai meninggalkan mata uang Amerika Serikat tersebut.

Kesamaan kepentingan kepentingan semakin kuat karena negara-negara barat, terutama Uni Eropa, seringkali mengambil sikap yang sangat merugikan kepentingan ekonomi Indonesia seperti pada isu komoditas kelapa sawit, hilirisasi nikel, dan aturan deforestasi yang diskriminatif.

Namun faktanya, walaupun memiliki kesamaan visi dan kepentingan nama Indonesia tidak ada dalam deretan negara anggota baru BRICS bersama Arab Saudi, Iran, Uni Emirat Arab, Ethiopia, dan Mesir. Bahkan, Indonesia juga belum menyampaikan surat expression of interest sebagai proses awal yang harus dilakukan negara yang ingin bergabung BRICS.

Mengapa demikian? Pilihan tampaknya berangkat pertimbangan rasional bahwa OECD saat ini merupakan organisasi paling matang, berpengalaman, dan berpengaruh karena dominasinya atas PDB dan perdagangan global. Indonesia tampaknya juga belum bisa lepas dari kekuatan blok barat, dalam hal Amerika, negara-negara Uni Eropa, dan mitra penting lain seperti Jepang dan Korea Selatan.

Indonesia juga sudah merasa nyaman bekerja sama dengan OECD yang dimulai sejak 2007 dalam menghadapi berbagai persoalan dan dinamika tantangan global yang muncul. Sebagai global standard-setter di berbagai bidang, berbagai analisis, laporan, dan rekomendasi OECD sangat dibutuhkan Indonesia. Apalagi Indonesia sudah menjadi anggota DC OECD, sehingga banyak mendapatkan bantuan dalam pengambilan keputusan untuk memacu pembangunan segala bidang.

Kerja sama antara Indonesia dan OECD pun terus mengalami banyak peningkatan dari tahun ke tahun, yang ditandai dengan penandatanganan Framework Cooperation Agreement pada tanggal 27 September 2012 dan diikuti penandatanganan pendirian kantor perwakilan OECD di Indonesia pada 5 September 2013.

baca juga: Indonesia Resmi Jadi Anggota OECD, Negara Pertama di ASEAN

Hingga saat ini, OECD juga aktif dalam melakukan review terhadap kebijakan publik di Indonesia. Review dimaksud antara lain berupa OECD Economic Survey, Regulatory Reform Review, Agriculture Review, Education Review, Investment Policy Review, dan dalam waktu dekat direncanakan OECD akan melakukan Government Spending Review.

Selain variabel di atas, pilihan Indonesia untuk bergabung dengan OECD berangkat dari kepentingan untuk memastikan transisi dan transformasi ekonomi menuju Visi Indonesia Emas 2045. Demi tujuan terbebas dari middle-income trap, Indonesia harus mampu meningkatkan produktivitas dan daya saing internasional.

Saat ini Indonesia masuk dalam critical part, dari negara dengan pendapatan di akhir tahun depan diperkirakan sebesar USD5.000, harus bisa menjadi negara dengan pendapatan USD10.000. Salah satu upaya untuk ke luar dari jebakan pendapatan kelas menengah adalah ekonomi harus tumbuh minimal 6-7% hingga 20 tahun mendatang. Dengan menjadi anggota OECD, investasi dan multilateral trade akan terbuka, termasuk mengakses di 38 negara OECD.

Dengan bergabung OECD, Indonesia juga bisa mendapat panduan untuk menyelaraskan diri dengan tolok ukur internasional. Dengan bantuan OECD, pembuatan kebijakan Indonesia bisa memperkuat penyusunan kebijakan berbasis bukti dan analisis, khususnya pada reformasi lingkungan, sosial dan tata kelola.

Selain itu kebijakan nasional Indonesia akan mampu beradaptasi dengan perubahan struktural yang ada, seperti dekarbonisasi, digitalisasi, teknologi, dan masalah demografi. Dengan menjadi anggota OECD, Indonesia bisa mengimplementasikan best practice standart seperti digunakan anggota OECD.

Di sisi lain, sebagai organisasi yang relatif baru, kinerja BRICS dan dampaknya terhadap anggota tentu belum bisa dirasakan maksimal. Belum lagi, di antara anggota pendiri BRICS ternyata belum ada kata sepakat akan dibawa kemana organisasi ini ke depan.

Di antara perbedaan krusial adalah terkait visi China yang ingin mengembangkan tatanan dunia multipolar untuk menantang dominasi Barat. Ambisi ini ternyata ditolak India dan Brazil yang memang menjalin hubungan erat dengan AS dan kawan-kawan.

Keputusan rasional telah diambil pemerintah. Namun ada sejumlah pertanyaan yang tersisa, seperti bagaimana reaksi BRICS dengan keputusan tersebut, dan apakah tidak mengganggu hubungan baik yang terjalin sejauh ini.

Pertanyaan urgen disampaikan mengingat hubungan beberapa anggota BRICS seperti Rusia dan China dengan negara-negara anggota utama OECD seperti Amerika Serikat dan beberapa anggota Uni Eropa berada di titik nadir terendah, terutama pasca-Perang Rusia-Ukraina.

baca juga: Menko Airlangga: OECD Mengakui Peran Indonesia Sebagai Pemain Global

Pertanyaan tak kalah pentingnya adalah apakah bergabung dengan OECD tidak memperpanjang hegemomi negara-negara Barat terhadap Indonesia. Konflik sawit dan hilirisasi nikel dan bahan tambang lain merupakan indikasi kongkret bahwa banyak negara maju yang juga anggota BRICS tidak rela Indonesia mengalami perkembangan. Dengan masuk anggota OECD, apakah Indonesia tidak semakin didikte?

Jawaban pertanyaan tersebut tentu hanya bisa dijawab oleh perjalanan waktu. Namun yang benar-benar perlu mendapat perhatian pemerintah adalah, jangan sampai bergabung dengan BRICS serta-merta menutup pintu komunikasi dan kerjasama dengan BRICS atau negara-negara anggota BRICS.

Keberadaan China dan India merupakan indikasi BRICS adalah masa depan, seperti diprediksi Goldman Sachs BRICS akan menjadi kekuatan ekonomi dunia pada 2050. Belum lagi dengan keberadaan Rusia, Afrika Selatan, Arab Saudi, Iran, Uni Emirat Arab, Ethiopia, Mesir dan puluhan negara lain yang antre bergabung BRICS. (*)
(hdr)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3369 seconds (0.1#10.140)