Kemelut Ekonomi dan Keberlanjutan Perlindungan Sosial

Rabu, 26 Juni 2024 - 10:51 WIB
loading...
Kemelut Ekonomi dan...
Foto: Istimewa
A A A
Hardy R Hermawan
Wartawan Ekonomi, Peneliti SigmaPhi Research

APA mau dikata, suksesi kepemimpinan nasional di Indonesia, pada Oktober mendatang harus berlangsung dalam situasi ekonomi yang mencemaskan. Tekanan eksternal tak bisa dipandang enteng. Pertengahan Juni 2024, Bank Dunia mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi global tahun ini hanya berada di level 2,6%.

baca juga: Dinamika Politik dan Ekonomi Indonesia: Tantangan dalam Era Demokrasi

Angka itu sudah merupakan kenaikan dari prediksi awal tahun yang menunjuk 2,4%. Betul, Bank Dunia juga menyatakan- untuk pertama kalinya selama tiga tahun—bahwa perekonomian dunia akan stabil tahun ini. Namun, jika saja pertumbuhan 2,6% bisa tercapai, itu belum menunjukkan pemulihan. Pada dekade sebelum pandemi, pertumbuhan global rata-rata mencapai 3,1%.

Dunia memang sedang sering-seringnya menahan nafas. Panasnya geopolitik di timur tengah dan Eropa menjadikan harga komoditas merangkak naik dan membuat semua orang mengawasi kemungkinan further disruption pada rantai pasok komoditas, terutama minyak dan gas. Inflasi dunia tetap berkibar. Dana Moneter Internasional (IMF) menduga angkanya 5,9% tahun ini. Makanya, negara-negara maju mempertahankan rezim suku bunga tinggi sehingga menghantam kurs negara-negara berkembang, ternasuk rupiah. Capital outflow pun terjadi.

Pukulan bertubi-tubi itu membuat ekonomi dalam negeri keteteran. Di atas kertas, dalam situasi seperti itu, Indonesia mestinya fokus ke dalam, inward looking, mengandalkan industri domestik untuk melayani pasar dalam negeri yang jumlahnya 270 juta jiwa. Namun praktiknya, itu tidak semudah membalik telapak tangan.

Alih-alih bisa diandalkan, industri kita justru sedang butuh-butuhnya pertolongan,. Sudah belasan tahun Indonesia tergoda naiknya harga komoditas sehingga para industriawannya berbondong-bondong meninggalkan pabrik lalu menambang mineral atau batu bara, atau bertanam sawit. Mereka mengabaikan industri manufaktur.

Perilaku esktraktif itu melahirkan fenomena resources curse alias kutukan sumber daya alam. Rahma, dkk. (2021) meneliti bahwa di provinsi-provinsi di Indonesia yang memiliki lebih banyak sumber daya alam tambang, terdapat fenomena resource curse yang lebih tinggi dibandingkan di provinsi dengan sedikir sumber daya ekstraktif.

Di saat yang sama, barang-barang impor datang bersama bendera perdagangan bebas. Maka, industri manufaktur local semakin terkapar. Deindustrialisasi terjadi. Jalilian dan Weiss (2000) menjelaskan, deindustrialisasi tampak dari penurunan pangsa nilai tambah sektor manufaktur terhadap PDB. Di Indonesia, 20 tahun lalu, sektor manufaktur masih bisa menyumbang 26% PDB. Sekarang tinggal 18%. Alderson (1997) menyatakan, memang ada pengaruh siginifikan dari perdagangan internasional terhadap deindustrialisasi.

Kini, ketika ekonomi dunia megap-megap, makin banyak industri manufaktur lokal berjatuhan. Putus Hubungan Kerja (PHK) merajalela. Mereka yang bergiat di industri tekstil, alas kaki, serta makanan-minuman banyak kehilangan pekerjaan. Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) dalam rilisnya pada awal Juni 2024 menyatakan, sudah ada 100.000 pekerja industri padat karya mengalami PHK hingga medio 2024 ini.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1844 seconds (0.1#10.140)