Ambisi PT PAL Bangun LHD Apakah Realistis?
loading...
A
A
A
baca juga: Soal Kenaikan Anggaran di Kemhan, Perindo: Pengadaan Harus Sesuai dengan Pembenahan Alutsista
Kapal induk kelas Nimitz milik USS Navy, misalnya. Kapal bertenaga nuklri ini mampu menampung maksimal 130 F/A-18 Hornet atau 85-90 pesawat berbagai jenis untuk mendukung berbagai peran operasi perang, mulai dari peperangan elektronik, peringatan dini (AEW), logistik, hingga helikopter anti-kapal selam.
Merujuk pada peran demikian, jelas kapal induk identik mendukung doktrin pertahanan ofensif, karena kapal induk diarahkan untuk mengarungi wilayah laut yang jauh dari teritori negara (ocean going), demi mendekati wilayah negara yang dianggap sebagai ancaman atau musuh. Lewat kapal induk inilah pengorganisasian serangan maupun peluncuran pesawat tempur dilakukan.
Pun LHD memiliki peran selaras dengan kapal induk. Bedanya, muatan yang diangkut adalah adalah helikopter, pasukan ataupun peralatan tempur untuk mendukung operasi marinir. US Navy mendefinisikan LHD sebagai kapal serbu amfibi modern yang memproyeksikan kekuatan dan mempertahankan kehadiran dengan berfungsi sebagai landasan amphibious readines group (ARG).
Di antara kapal LHD yang paling populer adalah Kelas Mistral milik Angkatan Laut Prancis (Marine Nationale). Produk DCNS ini bisa mengangkut 16 Helikopter NHI NH90 atau Tiger, empat kapal pendarat, 70 kendaraan militer termasuk 13 Tank Leclrec, atau 40 tank Leclrec, dan 450 prajurit.
Berangkat dari pemahaman akan peran kapal induk maupun LHD, tak dapat dimungkiri negara yang mengoperasikannya adalah penganut doktrin ofensif. Contoh kongkret negara yang menerapkan doktrin demikian adalah Amerika Serikat dan sekutunya. Penggunaan kapal selam dan LHD sering ditunjukkan dalam operasi-operasi perang seperti perang teluk, serangan ke Libia dan lainnya.
baca juga: Belajar dari Turki Membangun Kemandirian Alutsista
Selain untuk operasi militer, kapal induk maupun LHD tentu saja bisa dimanfaatkan untuk operasi militer. Usai bencana tsunami Aceh 2004 lalu, misalnya, membantu Indonesia dengan menurunkan kapal induk USS Abraham Lincoln untuk memberikan bantuan kemanusiaan kepada para korban dan mengangkut jenazah korban.
Lantas bagaimana doktrin pertahanan Indonesia? Buku Putih Pertahanan 2015 menjelaskan, pertahanan negara bagi bangsa Indonesia disusun dalam suatu sistem pertahanan semesta, tidak agresif dan tidak ekspansif dalam rangka melindungi kepentingan nasional. Penyelesaian permasalahan yang berkaitan dan memengaruhi pertahanan negara, dilakukan dengan mengedepankan diplomasi yang didukung kekuatan militer modern.
Dijelaskan pula, pembangunan kekuatan pertahanan tidak ditujukan sebagai bentuk perlombaan senjata (arm race), melainkan upaya pencapaian standar profesionalisme angkatan bersenjata, dengan mendasarkan pada visi, misi, nawacita, dan kebijakan Poros Maritim Dunia (PMD). Dalam hal mewujudkan kebijakan PMD, Pemerintah perlu membangun kekuatan pertahanan maritim yang didukung teknologi satelit dan sistem drone.
Kapal induk kelas Nimitz milik USS Navy, misalnya. Kapal bertenaga nuklri ini mampu menampung maksimal 130 F/A-18 Hornet atau 85-90 pesawat berbagai jenis untuk mendukung berbagai peran operasi perang, mulai dari peperangan elektronik, peringatan dini (AEW), logistik, hingga helikopter anti-kapal selam.
Merujuk pada peran demikian, jelas kapal induk identik mendukung doktrin pertahanan ofensif, karena kapal induk diarahkan untuk mengarungi wilayah laut yang jauh dari teritori negara (ocean going), demi mendekati wilayah negara yang dianggap sebagai ancaman atau musuh. Lewat kapal induk inilah pengorganisasian serangan maupun peluncuran pesawat tempur dilakukan.
Pun LHD memiliki peran selaras dengan kapal induk. Bedanya, muatan yang diangkut adalah adalah helikopter, pasukan ataupun peralatan tempur untuk mendukung operasi marinir. US Navy mendefinisikan LHD sebagai kapal serbu amfibi modern yang memproyeksikan kekuatan dan mempertahankan kehadiran dengan berfungsi sebagai landasan amphibious readines group (ARG).
Di antara kapal LHD yang paling populer adalah Kelas Mistral milik Angkatan Laut Prancis (Marine Nationale). Produk DCNS ini bisa mengangkut 16 Helikopter NHI NH90 atau Tiger, empat kapal pendarat, 70 kendaraan militer termasuk 13 Tank Leclrec, atau 40 tank Leclrec, dan 450 prajurit.
Berangkat dari pemahaman akan peran kapal induk maupun LHD, tak dapat dimungkiri negara yang mengoperasikannya adalah penganut doktrin ofensif. Contoh kongkret negara yang menerapkan doktrin demikian adalah Amerika Serikat dan sekutunya. Penggunaan kapal selam dan LHD sering ditunjukkan dalam operasi-operasi perang seperti perang teluk, serangan ke Libia dan lainnya.
baca juga: Belajar dari Turki Membangun Kemandirian Alutsista
Selain untuk operasi militer, kapal induk maupun LHD tentu saja bisa dimanfaatkan untuk operasi militer. Usai bencana tsunami Aceh 2004 lalu, misalnya, membantu Indonesia dengan menurunkan kapal induk USS Abraham Lincoln untuk memberikan bantuan kemanusiaan kepada para korban dan mengangkut jenazah korban.
Lantas bagaimana doktrin pertahanan Indonesia? Buku Putih Pertahanan 2015 menjelaskan, pertahanan negara bagi bangsa Indonesia disusun dalam suatu sistem pertahanan semesta, tidak agresif dan tidak ekspansif dalam rangka melindungi kepentingan nasional. Penyelesaian permasalahan yang berkaitan dan memengaruhi pertahanan negara, dilakukan dengan mengedepankan diplomasi yang didukung kekuatan militer modern.
Dijelaskan pula, pembangunan kekuatan pertahanan tidak ditujukan sebagai bentuk perlombaan senjata (arm race), melainkan upaya pencapaian standar profesionalisme angkatan bersenjata, dengan mendasarkan pada visi, misi, nawacita, dan kebijakan Poros Maritim Dunia (PMD). Dalam hal mewujudkan kebijakan PMD, Pemerintah perlu membangun kekuatan pertahanan maritim yang didukung teknologi satelit dan sistem drone.