Ambisi PT PAL Bangun LHD Apakah Realistis?

Sabtu, 27 Januari 2024 - 04:50 WIB
loading...
Ambisi PT PAL Bangun...
Ilustrasi: Masyudi/SINDOnews
A A A
MENGAPA PT PAL berangan membangun landing helikopter dock (LHD)? Dan apakah pabrikan kapal perang plat merah itu memiliki kompetensi mewujudkan asa tersebut? Pertanyaan ini mengemuka setelah membaca artikel lama (12 Oktober 2022) yang kembali dimunculkan sebuah situs diskusi pertahanan beberapa waktu lalu.

baca juga: Memborong Alutsista, Indonesia dalam Ancaman Perang?

Adalah Direktur Utama PT PAL Indonesia (Persero) Kaharuddin Djenod yang membeber agenda perseroan tersebut. Dia mengakui, dari sisi geografis, Indonesia tidak membutuhkan kapal induk, apalagi pertahanan Indonesia menganut prinsip defensif, bukan ofensif. Namun dia menggariskan, langkah tersebut untuk untuk menunjukkan kemampuan PT PAL.

Selain dua jenis kapal tersebut, diungkap pula PT PAL sudah melakukan persiapan membangun kapal selam. Perhatian layak diberikan karena rencana PT PAL ini terbilang sangat ‘wahhh’. Bukan hanya dari sisi kehadiran dua jenis kapal yang serta-merta menjadi game changer balance of power di kawasan, tapi juga keberanian perusahaan anak bangsa tersebut untuk menggagas ide besar dengan proyek yang tidak tanggung-tanggung, LHD dan kapal induk.

Betapa tidak. Bila ditilik, negara yang mampu memproduksi dua jenis kapal kelas berat tersebut hanya segelintir saja. Untuk kapal induk, negara yang saat ini merencanakan atau tengah membangun jenis kapal tersebut hanya China, India, Korea Selatan, Prancis, Rusia, dan Amerika Serikat.

Di luar negara tersebut, beberapa negara lain pernah mengoperasikan kapal induk, yakni Jerman, Jepang, Australia, Belanda dan Argentina. Karena berbagai kendala, mereka kini tidak lagi menjadikan jenis kapal tersebut sebagai tulang punggung armada lautnya.

Sedangkan untuk LHD -ada yang menyebut kapal induk helikopter atau helicopter carrier, walaupun sudah banyak negara yang mengoperasikannya -yakni Jepang, Prancis, Australia, Mesir, Korea Selatan, Tiongkok, Thailand dan Brazil-, sejatinya negara yang memiliki kapasitas membangun adalah Prancis (Kelas Mistral), China (Kelas Yushen), Jepang (Kelas Izumo), Korea Selatan (Kelas Dokdo), dan Spanyol (Kelas Juan Carlos).

Melihat realitas tersebut, maka harapan PT PAL membangun LHD maupun kapal induk seperti mimpi di siang bolong, karena peliknya rancang bangun dan teknologi alutsista tersebut. Apalagi, pilihan menggunakan alutsista yang berkarakter ofensif itu sering dianggap tidak cocok untuk karakter wilayah Indonesia, dan di sisi lain disebut tidak sesuai dengan doktrin pertahanan yang dianut negeri ini. Benarkah demikian?

Doktrin Pertahanan

Perang yang dimainkan sebuah jenis alutista sudah pasti mencerminkan doktrin yang dianut filosopi pertahanan suatu negara. Kapal induk misalnya, merupakan jenis kapal yang mampu memindahkan pesawat dalam jumlah besar sebagai pendukung operasi laut. Selain itu, kapal induk juga digunakan sebagai pusat komando operasi dan membangun superioritas.

baca juga: Soal Kenaikan Anggaran di Kemhan, Perindo: Pengadaan Harus Sesuai dengan Pembenahan Alutsista

Kapal induk kelas Nimitz milik USS Navy, misalnya. Kapal bertenaga nuklri ini mampu menampung maksimal 130 F/A-18 Hornet atau 85-90 pesawat berbagai jenis untuk mendukung berbagai peran operasi perang, mulai dari peperangan elektronik, peringatan dini (AEW), logistik, hingga helikopter anti-kapal selam.

Merujuk pada peran demikian, jelas kapal induk identik mendukung doktrin pertahanan ofensif, karena kapal induk diarahkan untuk mengarungi wilayah laut yang jauh dari teritori negara (ocean going), demi mendekati wilayah negara yang dianggap sebagai ancaman atau musuh. Lewat kapal induk inilah pengorganisasian serangan maupun peluncuran pesawat tempur dilakukan.

Pun LHD memiliki peran selaras dengan kapal induk. Bedanya, muatan yang diangkut adalah adalah helikopter, pasukan ataupun peralatan tempur untuk mendukung operasi marinir. US Navy mendefinisikan LHD sebagai kapal serbu amfibi modern yang memproyeksikan kekuatan dan mempertahankan kehadiran dengan berfungsi sebagai landasan amphibious readines group (ARG).

Di antara kapal LHD yang paling populer adalah Kelas Mistral milik Angkatan Laut Prancis (Marine Nationale). Produk DCNS ini bisa mengangkut 16 Helikopter NHI NH90 atau Tiger, empat kapal pendarat, 70 kendaraan militer termasuk 13 Tank Leclrec, atau 40 tank Leclrec, dan 450 prajurit.

Berangkat dari pemahaman akan peran kapal induk maupun LHD, tak dapat dimungkiri negara yang mengoperasikannya adalah penganut doktrin ofensif. Contoh kongkret negara yang menerapkan doktrin demikian adalah Amerika Serikat dan sekutunya. Penggunaan kapal selam dan LHD sering ditunjukkan dalam operasi-operasi perang seperti perang teluk, serangan ke Libia dan lainnya.

baca juga: Belajar dari Turki Membangun Kemandirian Alutsista

Selain untuk operasi militer, kapal induk maupun LHD tentu saja bisa dimanfaatkan untuk operasi militer. Usai bencana tsunami Aceh 2004 lalu, misalnya, membantu Indonesia dengan menurunkan kapal induk USS Abraham Lincoln untuk memberikan bantuan kemanusiaan kepada para korban dan mengangkut jenazah korban.

Lantas bagaimana doktrin pertahanan Indonesia? Buku Putih Pertahanan 2015 menjelaskan, pertahanan negara bagi bangsa Indonesia disusun dalam suatu sistem pertahanan semesta, tidak agresif dan tidak ekspansif dalam rangka melindungi kepentingan nasional. Penyelesaian permasalahan yang berkaitan dan memengaruhi pertahanan negara, dilakukan dengan mengedepankan diplomasi yang didukung kekuatan militer modern.

Dijelaskan pula, pembangunan kekuatan pertahanan tidak ditujukan sebagai bentuk perlombaan senjata (arm race), melainkan upaya pencapaian standar profesionalisme angkatan bersenjata, dengan mendasarkan pada visi, misi, nawacita, dan kebijakan Poros Maritim Dunia (PMD). Dalam hal mewujudkan kebijakan PMD, Pemerintah perlu membangun kekuatan pertahanan maritim yang didukung teknologi satelit dan sistem drone.

Buku Putih Pertahanan juga menggariskan bahwa Indonesia mengedepankan prinsip cinta damai, tetapi lebih cinta kemerdekaan. Perang merupakan jalan terakhir apabila usaha-usaha diplomasi mengalami jalan buntu serta dilaksanakan dalam rangka melawan kekuatan negara lain yang secara nyata mengancam kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI, dan keselamatan bangsa Indonesia.

baca juga: Soal Akun X Kemhan Unggah Tagar Prabowo-Gibran, Istana: Evaluasi Internal Kemhan

Buku Putih Pertahanan juga memberi pedoman, pertahanan negara ke luar bersifat defensif aktif, tidak agresif dan tidak ekspansif sejauh kepentingan nasional tidak terancam, Indonesia tidak terikat atau ikut serta dalam suatu pakta pertahanan dengan negara lain.

Sebuah artikel yang dirilis Lemhanas memaparkan, untuk mewujudkan tujuan pertahanan, strategi pertahanan dirancang dalam kerangka politik Indonesia yang bebas aktif disesuaikan dengan karakteristik geografi, demografi, serta kondisi sosial Indonesia yang berada dalam posisi silang yang menjadi pelintasan dunia.

Efektivitas strategi pertahanan ditentukan desain postur pertahanan yang memadukan pertahanan militer dan pertahanan nirmiliter sebagai satu kesatuan pertahanan yang saling memperkuat dan saling menyokong.

Dalam kerangka defensif aktif, pertahanan Indonesia yang berefek keluar tidak agresif dan tidak ekspansif sejauh kedaulatan negara, keutuhan wilayah, serta keselamatan segenap bangsa serta kepentingan nasional tidak terancam. Pertahanan dengan sifat defensif aktif menjadi dasar untuk tidak terikat atau ikut serta dalam suatu pakta pertahanan dengan negara lain.

Selanjutnya, politik pertahanan yang defensif aktif tersebut mendasari pengelolaan pertahanan dengan strategi pertahanan berlapis yang bertumpu pada kemampuan sendiri dari bangsa Indonesia, tanpa menggantungkan pertahanan negara pada negara lain.

Atas dasar sikap dan pandangan tersebut, strategi pertahanan berlapis merupakan pilihan strategi yang tepat yang memadukan lapis pertahanan militer dan lapis pertahanan nirmiliter sebagai satu kesatuan pertahanan yang saling menyokong dalam menangkal dan menghadapi setiap bentuk ancaman.

Lapis pertahanan militer yang berintikan TNI merupakan kekuatan utama pertahanan negara serta diperkuat oleh strategi pertahanan berlapis dengan sifat defensif aktif dikembangkan sedemikian rupa guna mencapai fleksibilitas yang tinggi dalam mencegah dan meniadakan setiap ancaman serta menghindari pendadakan oleh pihak lawan.

baca juga: Wamenhan Ungkap Sulitnya Pengadaan Alutsista Baru

Strategi pertahanan berlapis pada hakikatnya pertahanan total yang diselenggarakan dengan pusat kekuatan melalui dukungan rakyat dengan memadukan komponen pertahanan militer dan nirmiliter baik dalam penangkalan maupun dalam mengatasi ancaman.

Konsep pertahanan negara disusun secara fleksibel dan aktif sehingga apabila terdapat usaha atau niat negara lain yang ingin menyerang Indonesia, sistem pertahanan negara mampu mengambil inisiatif untuk melakukan langkah-langkah atau tindakan sebelum lawan menyerang Indonesia.

Konsepsi pertahanan negara dengan strategi pertahanan berlapis dikembangkan dalam kerangka untuk menjawab tuntutan kebutuhan pertahanan dalam menghadapi tantangan dan dinamika lingkungan strategis yang berimplikasi pada spektrum ancaman terhadap eksistensi negara.

Kerangka strategi pertahanan berlapis tersebut disusun dalam tiga kerangka utama strategi pertahanan, yakni penangkalan, menghadapi dan mengatasi ancaman militer, serta menghadapi dan menanggulangi ancaman nirmiliter yang berimplikasi terhadap eksistensi NKRI.

Terobosan Kompetensi

Gagasan PT PAL untuk membangun LHD maupun kapal induk tentu memicu pertanyaan, apakah hal tersebut sekadar angan atau berangkat dari konsep yang bisa diwujudkan? Jika ditelusuri, ada gagasan yang memang sudah lama dipikirkan oleh PT PAL, yakni membangun LHD. Sedangkan untuk kapal induk, baru muncul di era kepemimpinan Kaharuddin Djenod.

baca juga: Tanggapi Soal Alutsista Bekas, Wamenhan: Hanya Mengisi Kekosongan

Untuk LHD, bahkan sudah menjadi pembicaraan sejak 10 tahun lalu, setelah PT PAL sukses membangun kapal kargo Star 50 yang berkapasitas 50.000 ton dan landing platform dock (LPD). Dalam pemikiran sederhana, LPD bisa diperluas dan diperbesar agar bisa memuat lebih banyak helikopter dengan keberadaan deck untuk hangar helikopter. Dengan demikian, tinggal bagaimana PT PAL menyediakan elevator untuk memindah helikopter.

LHD kembali menjadi pembicaraan karena dia dimasukkan dalam program minimum essential force (MEF) edisi terakhir dengan jumlah direncanakan sebanyak 6 unit, bersama LPD (6 unit), dan landing ship tank (28 unit). Di sisi lain, PT PAL juga telah merilis desain teranyar LHD.

Desain terbaru ini memperlihatkan LHD yang membawa delapan unit rotary wing pad bagian dek. Desan LHD terbaru ini berbeda dari versi sebelumnya dan lebih identik dengan Canberra Class Australia. Di antara perubahannya adalah bentuk haluan kapal dibuat mencuat ke atas (sky jump) untuk menambah daya lontar jet tempur yang lepas landas di sana.

Bila melihat kapabilitas PT PAL membangun kapal kargo Star 50 dan kehandalan memproduksi LPD, termasuk LPD untuk Filipina yang memiliki panjang 123 meter, maka bisa dikatakan ambisi membuat LHD tinggal selangkah lagi. Hal ini tentu berbeda jika PT PAL langsung melompat membangun kapal induk karena secara konstruksi dan teknologinya jauh lebih rumit. Belum lagi persoalan anggaran yang setinggi langit.

Di sisi lain, kesempatan yang diberikan pemerintah untuk PT merupakan teborosan membangun kompetensi anak bangsa melangkah lebih jauh dalam industri maritim Tanah Air. Wacana PT PAL menggagas LHD bukanlah mimpi di siang bolong.

Perkuat Penangkalan

Berangkat dari positioning seperti digariskan Buku Putih Pertahanan, pembangunan kekuatan militer modern merupakan keniscayaan untuk mendukung pertahanan. Kendati demikian, ada batasan yang diberlakukan, yakni tidak ekspansif, semata melindungi kekuatan nasional, dan mengedepankan diplomasi.

baca juga: Galangan Kapal Swasta Terdepan Dorong Kemandirian Alutsista

Selain itu, pembangunan kekuatan pertahanan tidak ditujukan sebagai bentuk perlombaan senjata, melainkan upaya pencapaian standar profesionalisme TNI, selaras dengan kebijakan Poros Maritim Dunia (PMD).

Jika benar Indonesia membangun LHD, maka orientasinya tetap berpegang pada garis kebijakan dimaksud. Pertanyaannya kemudian, apakah saat itu sudah relevan untuk menaikkan derajat kekuatan militer, terutama di matra laut, sehingga keberadaan LHD dibutuhkan?

Bila melihat dinamika di kawasan yang menunjukkan progresivitas China menguasai Laut China Selatan (LCS) dan konsolidasi kekuatan Australia bersama aliansinya yang tergabung dalam AUKUS, maka urgen bagi Indonesia memperkuat otot militernya. Keberaadaan LHD mendorong penguasaan positioning atas doktrin defense aktif, karena mampu mengokohkan kekuatan militer hingga batas terluar wilayah laut.

LHD juga mendukung kerangka strategi pertahanan berlapis, yang tersusun atas tiga kerangka utama strategi pertahanan, yakni penangkalan, menghadapi dan mengatasi ancaman militer, serta menghadapi dan menanggulangi ancaman nirmiliter yang berimplikasi terhadap eksistensi NKRI.

Dengan kapasitas yang dimiliki, LHD mampu melakukan penangkalan terhadap ancaman atau serangan sejak dini, dan bahkan memberi respons dengan melakukan serangan balik lebih cepat. Peran strategis yang bisa diemban LHD didukung kemampuannya membawa pasukan -terutama marinir, lebih besar; dan mampu membawa jaih lebih banyak berbagi varian helikopter seperti untuk fungsi surveillance, anti-kapal selam, hingga serangan.

Bahkan, melihat desain teranyar LHD PT PAL, bentuk haluan kapal dibuat mencuat ke atas (sky jump) bisa diarahkan untuk menerbangkan drone tempur yang belakangan menjadi game changer dalam berbagai medan pertempuran dunia.

Secara konseptual, kehadiran LHD mendorong terwujudnya cita-cita memiliki unit Amphibous Ready Group (ARG). Konsep ini merujuk pada grup penyerang amfibi bukan hanya melulu cocok diterapkan Amerika Serikat seperti saat ini, tapi juga untuk negara maritim seperti Indonesia. Dengan kemampuan membawa pasukan marinir sekaligus wing udara dan tank amfibi, LHD bisa dimanfaatkan untuk menggempur posisi musuh dalam sekali pukul dengan menggunakan kekuatan besar.

baca juga: Kontroversi Lonjakan Utang untuk Belanja Alutsista

Untuk diketahui, Amerika Serikat memiliki kekuatan amfibi terbesar dan paling mampu di dunia. Kapal perang amfibi dirancang untuk mendukung prinsip Operasional Manuver dari Laut (OMFTS) dan Ship to Objective Maneuver (STOM) Korps Marinir. Berdasar keterangan USMC, kekuanm mariner Paman Sam mampu bermanuver dengan cara yang membahayakan dan memfasilitasi penggunaan secara cepat dan mempertahankan kekuatan tempur dalam menghadapi perlawanan.

Dalam konteks inilah, pengoperasian LHD membuat mereka lebih bebas melakukan berbagai serangan amfibi ke wilayah musuh. Dengan bekal dukungan tersedia, marinir AS mampu beroperasi secara ofensif di lingkungan dengan kepadatan tinggi, multi-ancaman dan mendukung ketangkasan strategis, jangkauan operasional dan fleksibilitas taktis yang diperlukan untuk keberhasilan operasi amfibi dan tempo operasional cepat.

Berangkat dari kompetensi yang telah dimiliki PT PAL, dinamika tantangan di kawasan, kebutuhan memodernisasi alutsista dan memperkuat level kekuatan dan profesionalitasTNI -terutama di matra laut- demi mengamankan kedaulatan negara dan kepentingan nasional, kesesuaian dengan negara maritim, serta mewujudkan terwujudnya strategi pertahanan berlapis untuk memperkuat daya tangkal di wilayah perairan terluar, maka sudah waktunya Indonesia memiliki LHD. Apalagi PT PAL sudah menunjukkan kepercayaan diri untuk membangun sendiri. (*)
(hdr)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0860 seconds (0.1#10.140)