Hijrah, Perspektif Sosiologi Ekonomi
loading...
A
A
A
Jika diklasifikasikan, nama-nama ustadz yang dipilih responden tersebut dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok utama. Pertama, kelompok dai atau ustaz yang mewakili dakwah Islam kultural-tradisional seperti K.H. Said Agil Siradj, Gus Miftah dan Cak Nun. Secara umum mereka berlatar belakang NU dan pasar dakwah mereka adalah warga Nahdiyyin di Tanah Air. Kedua, kelompok dai atau ustadz yang mewakili dakwah Islam salaf dengan ciri utama mengusung dakwah Sunnah berbasis gerakan purifikasi Islam seperti Ustaz Khalid Basalamah. Ketiga, kelompok dai atau ustaz yang mewakili dakwah Islam moderat.
Kelompok ini memiliki kemiripan dengan kelompok dai salaf karena sama-sama mengusung gerakan pemurnian Islam berdasarkan Quran dan Hadist. Hanya saja, kelompok Islam moderat ini lebih dulu terlembaga dan familiar dalam pasar dakwah tanah air karena dipelopori oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah, salah satu organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia setelah Nahdhatul Ulama.
Kelompok dakwah Islam moderat ini diwakili misalnya oleh Ustaz Adi Hidayat. Keempat, kelompok dai atau ustadz yang mewakili dakwah “Islam politik”. Penyebutan Islam politik ini hanya untuk menekankan salah satu agenda kelompok ini yang menginginkan perubahan sistem politik melalui model khilafah seperti yang diusung kelompok Hizbut Tahrir. Model kelompok dai ini diwakili oleh Ustadz Felix Saw.
Adapun Ustadz Hanan Attaki dan Abdul Somad, meskipun dalam banyak hal terdapat titik temu baik dengan kelompok Islam kultural-tradisional dan kelompok Islam moderat tetapi keduanya memiliki pangsa pasar yang sangat cair. Ceruk pasar dakwah mereka bersifat multi ideologis. Artinya, baik kelompok NU, Muhammadiyah atau bahkan lainnya sangat mudah menerima gagasan-gagasan dakwah kedua tokoh ini. Dari sisi popularitas, keduanya dapat dikatakan sebagai celebrity peacher sehingga tidak lagi terikat dengan sekat-sekat ideologis yang ketat.
Yang menarik dalam konteks preferensi generasi milenial muslim urban terhadap pilihan ustadz adalah mayoritas responden yang berlatar belakang NU (97%), ternyata tidak seluruhnya memilih ustadz atau dai berlatar belakang NU. Dengan kata lain, identity (ID) organisasi sosial keagamaan yang melekat pada individu pengikut NU, tidak berbanding lurus dengan pilihan ustadz atau konten dakwah Islam yang dipilihnya.
Realitas ini dapat dimaknai bahwa gelombang hijrah yang justru dipopulerkan oleh kelompok-kelompok di luar Islam kultural-tradisional, ternyata juga mendapat sambutan luas dari penganut Islam kultural-tradisional atau NU. Hal ini merefleksikan bahwa identity (ID) organisasi sosial keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah relatif rendah di kalangan generasi milenial muslim perkotaaan.
Meskipun generasi milenial muslim urban tersebut mewarisi identity (ID) organisasi sosial keagamaan baik secara genetik melalui orang tua, atau dipengaruhi (dibesarkan) oleh lingkungan sosial dan pendidikan-nya, tetapi mereka tidak memiliki loyality atau fanatisme tinggi terhadap organisasi sosial keagamaan tersebut. Hal ini sekaligus menjadi warning terutama bagi NU dan Muhammadiyah terkait dengan literasi konten-konten dakwah mereka baik dalam bentuk kurikulum pendidikan, pengajaran dan indoktrinasi akidah, akhlak dan aspek-aspek teologi lainnya yang tidak lagi “mengikat” secara ideologis kepada pengikutnya.
Selain karena rendahnya identity (ID) organisasi sosial keagamaan, generasi muslim milenial urban tampaknya lebih menyukai model dan konten-konten dakwah Islam yang dikemas secara menarik sesuai dengan denyut nadi modernitas baik dalam bentuk kajian-kajian Islam secara langsung (tatap muka) maupun melalui kanal-kanal perangkat teknologi informasi. Dalam bahasa yang sederhana, ekspektasi generasi muslim milenial urban adalah bagaimana bisa “tetap gaul, tetapi Islami” pada saat yang bersamaan.
Gelombang hijrah dapat berjalan sangat akseleratif terutama di kalangan muslim milenial perkotaan karena di dorong oleh para ustadz atau komunikator dakwah yang cukup lihai dalam membaca selera pasar dengan memanfaatkan instrumen-instrumen teknologi informasi seperti youtube dan media-media sosial lainnya. Kondisi ini menyebabkan terjadinya kompetisi tersendiri, bahkan ruang publik virtual telah menjelma menjadi arena kontestasi yang tidak seimbang khususnya antara dai-dai Islam kultural-tradisional dengan Islam non kultural-tradisional dalam berebut pengaruh (influencer).
Hijrah banyak digandrungi oleh kalangan muslim milenial urban Indonesia karena menawarkan totalitas solusi atas krisis identitas muslim yang mereka alami. Krisis identitas ini merupakan akumulasi dari kegersangan spiritualitas yang dialami muslim perkotaan karena efek modernitas yang menyisihkan nilai-nilai agama dari ranah publik sebagaimana lazim terjadi di berbagai kota di dunia.
Kelompok ini memiliki kemiripan dengan kelompok dai salaf karena sama-sama mengusung gerakan pemurnian Islam berdasarkan Quran dan Hadist. Hanya saja, kelompok Islam moderat ini lebih dulu terlembaga dan familiar dalam pasar dakwah tanah air karena dipelopori oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah, salah satu organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia setelah Nahdhatul Ulama.
Kelompok dakwah Islam moderat ini diwakili misalnya oleh Ustaz Adi Hidayat. Keempat, kelompok dai atau ustadz yang mewakili dakwah “Islam politik”. Penyebutan Islam politik ini hanya untuk menekankan salah satu agenda kelompok ini yang menginginkan perubahan sistem politik melalui model khilafah seperti yang diusung kelompok Hizbut Tahrir. Model kelompok dai ini diwakili oleh Ustadz Felix Saw.
Adapun Ustadz Hanan Attaki dan Abdul Somad, meskipun dalam banyak hal terdapat titik temu baik dengan kelompok Islam kultural-tradisional dan kelompok Islam moderat tetapi keduanya memiliki pangsa pasar yang sangat cair. Ceruk pasar dakwah mereka bersifat multi ideologis. Artinya, baik kelompok NU, Muhammadiyah atau bahkan lainnya sangat mudah menerima gagasan-gagasan dakwah kedua tokoh ini. Dari sisi popularitas, keduanya dapat dikatakan sebagai celebrity peacher sehingga tidak lagi terikat dengan sekat-sekat ideologis yang ketat.
Yang menarik dalam konteks preferensi generasi milenial muslim urban terhadap pilihan ustadz adalah mayoritas responden yang berlatar belakang NU (97%), ternyata tidak seluruhnya memilih ustadz atau dai berlatar belakang NU. Dengan kata lain, identity (ID) organisasi sosial keagamaan yang melekat pada individu pengikut NU, tidak berbanding lurus dengan pilihan ustadz atau konten dakwah Islam yang dipilihnya.
Realitas ini dapat dimaknai bahwa gelombang hijrah yang justru dipopulerkan oleh kelompok-kelompok di luar Islam kultural-tradisional, ternyata juga mendapat sambutan luas dari penganut Islam kultural-tradisional atau NU. Hal ini merefleksikan bahwa identity (ID) organisasi sosial keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah relatif rendah di kalangan generasi milenial muslim perkotaaan.
Meskipun generasi milenial muslim urban tersebut mewarisi identity (ID) organisasi sosial keagamaan baik secara genetik melalui orang tua, atau dipengaruhi (dibesarkan) oleh lingkungan sosial dan pendidikan-nya, tetapi mereka tidak memiliki loyality atau fanatisme tinggi terhadap organisasi sosial keagamaan tersebut. Hal ini sekaligus menjadi warning terutama bagi NU dan Muhammadiyah terkait dengan literasi konten-konten dakwah mereka baik dalam bentuk kurikulum pendidikan, pengajaran dan indoktrinasi akidah, akhlak dan aspek-aspek teologi lainnya yang tidak lagi “mengikat” secara ideologis kepada pengikutnya.
Selain karena rendahnya identity (ID) organisasi sosial keagamaan, generasi muslim milenial urban tampaknya lebih menyukai model dan konten-konten dakwah Islam yang dikemas secara menarik sesuai dengan denyut nadi modernitas baik dalam bentuk kajian-kajian Islam secara langsung (tatap muka) maupun melalui kanal-kanal perangkat teknologi informasi. Dalam bahasa yang sederhana, ekspektasi generasi muslim milenial urban adalah bagaimana bisa “tetap gaul, tetapi Islami” pada saat yang bersamaan.
Gelombang hijrah dapat berjalan sangat akseleratif terutama di kalangan muslim milenial perkotaan karena di dorong oleh para ustadz atau komunikator dakwah yang cukup lihai dalam membaca selera pasar dengan memanfaatkan instrumen-instrumen teknologi informasi seperti youtube dan media-media sosial lainnya. Kondisi ini menyebabkan terjadinya kompetisi tersendiri, bahkan ruang publik virtual telah menjelma menjadi arena kontestasi yang tidak seimbang khususnya antara dai-dai Islam kultural-tradisional dengan Islam non kultural-tradisional dalam berebut pengaruh (influencer).
Hijrah banyak digandrungi oleh kalangan muslim milenial urban Indonesia karena menawarkan totalitas solusi atas krisis identitas muslim yang mereka alami. Krisis identitas ini merupakan akumulasi dari kegersangan spiritualitas yang dialami muslim perkotaan karena efek modernitas yang menyisihkan nilai-nilai agama dari ranah publik sebagaimana lazim terjadi di berbagai kota di dunia.