Hijrah, Perspektif Sosiologi Ekonomi

Kamis, 16 Juli 2020 - 11:45 WIB
loading...
A A A
Sementara itu, dalam konteks konsumsi sebagai identitas, konsumsi suatu produk atau jasa menandakan identitas tertentu. Identitas dalam konteks ini adalah suatu pernyataan tentang diri, terkait dengan ruang dan waktu. Seseorang yang memakai lipstik misalnya, tentu ingin menunjukkan identitasnya sebagai perempuan. Ia ingin diakui eksistensinya oleh publik sebagai makhluk perempuan, bukan laki-laki.

Begitu juga dalam konteks hijrah, seseorang yang memutuskan menggunakan simbol-simbol keagamaan seperti hijab, gamis, memelihara jenggot, dan lain-lain, tentu ingin diakui sebagai “muslim taat” oleh lingkungan sosialnya.

Dengan menggunakan perspektif teori Don Slater (1997), konsumsi, di manapun selalu dipandang sebagai budaya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kegiatan konsumsi pada masyarakat atau komunitas pelaku hijrah juga merupakan bagian dari proses budaya. Hijrah dalam kehidupan masyarakat urban kontemporer bahkan telah menjadi kebudayaan populer yang menjadi ciri dari muslim milenial di perkotaan.

Konsumsi, dalam ranah ilmu ekonomi konvensional, merupakan suatu aktifitas ekonomi yang dapat bermakna memakai, menggunakan, atau memanfaatkan suatu barang atau jasa. Konsumsi atas suatu produk atau jasa akan merepresentasikan identitas tertentu. Identitas dalam konteks ini adalah suatu pernyataan tentang diri, terkait dengan ruang dan waktu.

Apa yang dikonsumsi (digunakan, dipakai) para pelaku hijrah, mulai dari fashion, makanan dan minuman, layanan perbankan, wisata, edukasi, film, hingga literasi dakwah juga menjadi bagian dari identitas tersendiri yang dikonstruksi sedemikian rupa menjadi identitas kelompok.

Dalam konteks konsumsi atau pemakaian busana (fashion) misalnya, hijrah tidak bisa dilepaskan dari penggunaan fashion tertentu sebagai bagian dari identitas yang ingin ditonjolkan. Yang lazim terjadi di kalangan muslim perkotaan adalah bahwa memulai hijrah dapat diawali dengan bagaimana menggunakan pakaian sesuai dengan nilai-nilai Islam atau menutup aurat.

Bagi perempuan misalnya, style berbusana yang menandai hijrahnya seseorang adalah dengan memakai hijab berupa kerudung (jilbab) serta baju longgar penutup aurat seperti gamis, abaya dan kaftan. Sementara bagi laki-laki, untuk menandai bahwa seseorang telah melaksanakan hijrah adalah dengan memakai baju muslim seperti Galabiyya, jubbas, koko, kurta, Tawb dan sejenisnya; model celana cingkrang (di atas mata kaki); dan juga peci atau penutup kepala.

Terdapat perubahan signifikan terhadap cara berpakaian dari komunitas pelaku hijrah. Bagi perempuan, jika sebelumnya mereka terbiasa menggunakan pakaian-pakaian ketat dan membentuk aurat, maka setelah hijrah, mereka memakai busana yang lebih syar’i dengan ciri pakaian longgar agar tidak membentuk aurat. Tidak sedikit di antara mereka yang memakai cadar. Adapun kaum laki-laki, tren umum yang populer adalah dengan memanjangkan (memelihara) jenggot dan memendekkan celananya di atas mata kaki sesuai tuntunan Sunnah.

Dalam konteks konsumsi (pemanfaatan jasa) perbankan, para pelaku hijrah lebih memilih bank-bank syariah dalam aktivitas ekonomi mereka untuk menghindari praktik-praktik riba yang diharamkan menurut ajaran agama Islam. Pertumbuhan perbankan syariah yang sangat pesat dalam kurun sepuluh tahun terakhir menandai tumbuhnya ceruk pasar dari kalangan muslim secara signifikan.

Namun demikian, tidak sedikit dari pelaku hijrah yang memutus total (menghentikan) akses terhadap berbagai layanan perbankan dan institusi keuangan lainnya baik konvensional maupun syariah seperti rekening bank, dan berbagai jenis pinjaman (loan), seperti kartu kredit, KPR, KTA, leasing, dll. Hal ini dilakukan untuk menghindari praktik-praktik ribawi sebagai bentuk ketaatan terhadap ajaran agama.
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1427 seconds (0.1#10.140)