Hijrah, Perspektif Sosiologi Ekonomi
loading...
A
A
A
Yusa’ Farchan
Dosen Prodi Akuntansi S1 Universitas Pamulang
MELUASNYA gelombang hijrah di kalangan komunitas muslim milenial urban menandai bangkitnya kembali spirit Islam di ruang-ruang publik. Fenomena ini sekaligus menandai ekspresi keagamaan yang sangat dinamis di tanah air pasca Reformasi 1998.
Hijrah bukan hanya sebatas moral campaign yang menuntun perilaku berdasarkan spirit dan nilai-nilai Islam, tetapi menjadi bagian dari lifestyle bahkan menjadi budaya populer (pop culture) di kalangan komunitas muslim perkotaan. Dalam perspektif budaya populer, modernisasi, globalisasi, dan re-islamisasi yang saling berkelit-berkelindan, membentuk pola baru beragama di mana seorang Muslim bisa menjadi “modern dan takwa” pada saat yang bersamaan.
Dalam memahami tren hijrah, pendekatan sosiologi ekonomi relevan digunakan mengingat hijrah bukanlah fenomena spiritualitas an sich melainkan berkaitan dengan perilaku dan gaya hidup masyarakat muslim kontemporer. Dari perspektif sosiologi ekonomi, hijrah berkaitan dengan pola konsumsi dan produksi yang menjadi bagian dari aktifitas dasar ekonomi masyarakat.
Ekonomi Konsumsi Dalam Aktifitas Hijrah
Dari perspektif teori konsumsi, Don Slater (1997) menjelaskan bahwa konsumsi adalah bagaimana manusia dan aktor sosial dengan kebutuhan yang dimilikinya berhubungan dengan sesuatu (dalam hal ini material, barang simbol, jasa, pengalaman) yang dapat memuaskan mereka. Berhubungan dengan sesuatu yang dapat memuaskan mereka dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti menikmati, menonton, melihat, menghabiskan, mendengar, memperhatikan dan lain sebagainya.
Jadi, pengertian konsumsi menurut Slater tersebut sesuai dengan istilah mengkonsumsi, seperti yang dikutip Featherstone (2001) dari Raymond Williams, sebagai; merusak (to destroy), memakai (to use), membuang (to waste), dan menghabiskan (to exhaust).
Konsumsi benda-benda tidak hanya sekadar memenuhi kebutuhan fisik biologis semata, tetapi juga berkait dengan manfaat benda-benda atau objek-objek secara sosial budaya (Lury,1998; dan Featherson, 2001).
Menurut Lury, kehidupan sosial memerlukan benda-benda; karena melalui perolehan, penggunaan, dan pertukaran benda-benda, individu-individu kemudian memiliki kehidupan sosial (Lury,1998;16). Dalam kaitannya dengan pendapat Lury tersebut, terdapat beberapa pemaknaan atas konsumsi benda-benda tersebut dalam masyarakat modern atau kapitalisme, yaitu; konsumsi sebagai pembeda antara kehidupan yang profan dan sakral; dan konsumsi sebagai identitas.
Dalam konteks konsumsi sebagai pembeda antara kehidupan yang profan dan sakral, kita dapat mengambil contoh seperti keranjang kecil berisi buah yang diletakkan di atas meja versus diletakkan di bawah pohon beringin yang angker. Keranjang buah yang diletakkan di atas meja makan di suatu rumah tentu memiliki makna bahwa buah tersebut ditujukan untuk dikonsumsi (dimakan) manusia. Tetapi, keranjang buah yang diletakkan di kuburan, memiliki makna berbeda karena mengandung nilai-nilai sakral. Buah-buahan tersebut tidak untuk dikonsumsi melainkan untuk prosesi sesajen berdasarkan keyakinan yang dimiliki, meskipun faktanya, banyak yang pada akhirnya mengambil buah tersebut untuk dikonsumsi (dimakan).
Dosen Prodi Akuntansi S1 Universitas Pamulang
MELUASNYA gelombang hijrah di kalangan komunitas muslim milenial urban menandai bangkitnya kembali spirit Islam di ruang-ruang publik. Fenomena ini sekaligus menandai ekspresi keagamaan yang sangat dinamis di tanah air pasca Reformasi 1998.
Hijrah bukan hanya sebatas moral campaign yang menuntun perilaku berdasarkan spirit dan nilai-nilai Islam, tetapi menjadi bagian dari lifestyle bahkan menjadi budaya populer (pop culture) di kalangan komunitas muslim perkotaan. Dalam perspektif budaya populer, modernisasi, globalisasi, dan re-islamisasi yang saling berkelit-berkelindan, membentuk pola baru beragama di mana seorang Muslim bisa menjadi “modern dan takwa” pada saat yang bersamaan.
Dalam memahami tren hijrah, pendekatan sosiologi ekonomi relevan digunakan mengingat hijrah bukanlah fenomena spiritualitas an sich melainkan berkaitan dengan perilaku dan gaya hidup masyarakat muslim kontemporer. Dari perspektif sosiologi ekonomi, hijrah berkaitan dengan pola konsumsi dan produksi yang menjadi bagian dari aktifitas dasar ekonomi masyarakat.
Ekonomi Konsumsi Dalam Aktifitas Hijrah
Dari perspektif teori konsumsi, Don Slater (1997) menjelaskan bahwa konsumsi adalah bagaimana manusia dan aktor sosial dengan kebutuhan yang dimilikinya berhubungan dengan sesuatu (dalam hal ini material, barang simbol, jasa, pengalaman) yang dapat memuaskan mereka. Berhubungan dengan sesuatu yang dapat memuaskan mereka dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti menikmati, menonton, melihat, menghabiskan, mendengar, memperhatikan dan lain sebagainya.
Jadi, pengertian konsumsi menurut Slater tersebut sesuai dengan istilah mengkonsumsi, seperti yang dikutip Featherstone (2001) dari Raymond Williams, sebagai; merusak (to destroy), memakai (to use), membuang (to waste), dan menghabiskan (to exhaust).
Konsumsi benda-benda tidak hanya sekadar memenuhi kebutuhan fisik biologis semata, tetapi juga berkait dengan manfaat benda-benda atau objek-objek secara sosial budaya (Lury,1998; dan Featherson, 2001).
Menurut Lury, kehidupan sosial memerlukan benda-benda; karena melalui perolehan, penggunaan, dan pertukaran benda-benda, individu-individu kemudian memiliki kehidupan sosial (Lury,1998;16). Dalam kaitannya dengan pendapat Lury tersebut, terdapat beberapa pemaknaan atas konsumsi benda-benda tersebut dalam masyarakat modern atau kapitalisme, yaitu; konsumsi sebagai pembeda antara kehidupan yang profan dan sakral; dan konsumsi sebagai identitas.
Dalam konteks konsumsi sebagai pembeda antara kehidupan yang profan dan sakral, kita dapat mengambil contoh seperti keranjang kecil berisi buah yang diletakkan di atas meja versus diletakkan di bawah pohon beringin yang angker. Keranjang buah yang diletakkan di atas meja makan di suatu rumah tentu memiliki makna bahwa buah tersebut ditujukan untuk dikonsumsi (dimakan) manusia. Tetapi, keranjang buah yang diletakkan di kuburan, memiliki makna berbeda karena mengandung nilai-nilai sakral. Buah-buahan tersebut tidak untuk dikonsumsi melainkan untuk prosesi sesajen berdasarkan keyakinan yang dimiliki, meskipun faktanya, banyak yang pada akhirnya mengambil buah tersebut untuk dikonsumsi (dimakan).