Kritik dan Buzzer Politik
Rabu, 24 Juni 2020 - 11:03 WIB
Oleh karenanya, penting bagi kita untuk menempatkan kasus sejenis ini dalam dimensi publik yang kritis dan melek agar pihak-pihak yang kerap menggunakan modus intimidasi sejenis ini tidak menularkan virusnya ke banyak orang atau jangan sampai fenomena ini dianggap hal biasa saja.
Jelas dan eksplisit di konstitusi kita terutama Pasal 28 E ayat 3 UUD 1945 bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Hal ini juga diperkuat dengan Pasal 28F yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Jadi, tidak ada alasan secara konstitusional seseorang dilarang menyampaikan pendapat dan kritiknya. Kembali ke substansi kritik Bintang Emon, tidak ada aspek hukum yang dilanggarnya. Pernyataan dia sesungguhnya hanya kritik umum atau kulit permukaan dan ini khas menggambarkan kritik masyarakat awam. Jadi, sungguh keterlaluan jika hal ini dianggap mengganggu sekelompok orang.
Para Pendengung
Mark Poster dalam bukunya Cyberdemocracy: Internet and the Public Sphere (1995) memberi optimisme bahwa media daring telah menjelma menjadi harapan ketersediaan ruang publik baru yang dapat menyediakan suatu situasi komunikasi tanpa dominasi. Tentu saja tak semua kritik di media daring itu positif, banyak “tawuran” opini bahkan informasi menyesatkan yang begitu deras mengalir dari media daring, termasuk media sosial. Tentu saja, publik juga harus memilah dan memilih mana kritik yang konstruktif dan mana kritik yang destruktif.
Kritik terhadap penguasa, institusi hukum, dan lembaga-lembaga publik lainnya akan selalu dibutuhkan. Oleh karenanya, jangan sampai orang takut dan terintimidasi saat menyampaikan kritiknya, terutama saat ini semakin menguatnya realitas pasukan buzzer dan fenomena kill the messenger! Kata buzzer memiliki makna bel atau alarm.
Di media massa, buzzer kerap diartikan pendengung. Biasanya adalah orang atau sekelompok orang yang melakukan penggiringan opini bersifat masif. Tipologi para pendengung ini kita bisa bedakan dari sisi motif dan model kerjanya.
Pertama, dari sisi motif para pendengung terbagi menjadi dua, yakni para pencari kepuasan (thrill seeker buzzer) dan pendengung spesialis (buzzer specialist). Pendengung thrill seekers sering muncul saat terjadinya letupan-letupan opini yang berkembang di masyarakat.
Pendengung ini tidak terlalu peduli dengan order atau proyek mobilisasi dan masifikasi isu. Jika tertarik, dia akan ikut berkerumun dalam pusaran opini yang menjadi trending topic di jagat maya.
Para pendengung jenis ini sangat jarang yang sedari awal menginisiasi dan mengamplifikasi isu, meskipun bisa juga satu-dua kasus ada tipe pendengung thrill seekers yang tampil menjadi pencipta isu dan meramaikannya di kalangan netizen. Terutama jika isu dan kepentingannya benar-benar relevan dengan mereka.
Jelas dan eksplisit di konstitusi kita terutama Pasal 28 E ayat 3 UUD 1945 bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Hal ini juga diperkuat dengan Pasal 28F yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Jadi, tidak ada alasan secara konstitusional seseorang dilarang menyampaikan pendapat dan kritiknya. Kembali ke substansi kritik Bintang Emon, tidak ada aspek hukum yang dilanggarnya. Pernyataan dia sesungguhnya hanya kritik umum atau kulit permukaan dan ini khas menggambarkan kritik masyarakat awam. Jadi, sungguh keterlaluan jika hal ini dianggap mengganggu sekelompok orang.
Para Pendengung
Mark Poster dalam bukunya Cyberdemocracy: Internet and the Public Sphere (1995) memberi optimisme bahwa media daring telah menjelma menjadi harapan ketersediaan ruang publik baru yang dapat menyediakan suatu situasi komunikasi tanpa dominasi. Tentu saja tak semua kritik di media daring itu positif, banyak “tawuran” opini bahkan informasi menyesatkan yang begitu deras mengalir dari media daring, termasuk media sosial. Tentu saja, publik juga harus memilah dan memilih mana kritik yang konstruktif dan mana kritik yang destruktif.
Kritik terhadap penguasa, institusi hukum, dan lembaga-lembaga publik lainnya akan selalu dibutuhkan. Oleh karenanya, jangan sampai orang takut dan terintimidasi saat menyampaikan kritiknya, terutama saat ini semakin menguatnya realitas pasukan buzzer dan fenomena kill the messenger! Kata buzzer memiliki makna bel atau alarm.
Di media massa, buzzer kerap diartikan pendengung. Biasanya adalah orang atau sekelompok orang yang melakukan penggiringan opini bersifat masif. Tipologi para pendengung ini kita bisa bedakan dari sisi motif dan model kerjanya.
Pertama, dari sisi motif para pendengung terbagi menjadi dua, yakni para pencari kepuasan (thrill seeker buzzer) dan pendengung spesialis (buzzer specialist). Pendengung thrill seekers sering muncul saat terjadinya letupan-letupan opini yang berkembang di masyarakat.
Pendengung ini tidak terlalu peduli dengan order atau proyek mobilisasi dan masifikasi isu. Jika tertarik, dia akan ikut berkerumun dalam pusaran opini yang menjadi trending topic di jagat maya.
Para pendengung jenis ini sangat jarang yang sedari awal menginisiasi dan mengamplifikasi isu, meskipun bisa juga satu-dua kasus ada tipe pendengung thrill seekers yang tampil menjadi pencipta isu dan meramaikannya di kalangan netizen. Terutama jika isu dan kepentingannya benar-benar relevan dengan mereka.
tulis komentar anda