Kritik dan Buzzer Politik
loading...
A
A
A
Gun Gun Heryanto
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute, Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
SALAH satu hal fundamental dalam berdemokrasi adalah dilindunginya kebebasan sebagai hak yang melekat pada setiap warga negara merdeka. Oleh karenanya, setiap bentuk intimidasi, pengekangan, persekusi, doxing atau membuka informasi pribadi sebagai bentuk balas dendam kepada orang yang menyatakan berbeda sikap dan pendapat adalah ancaman terhadap kehakikian prinsip dasar demokrasi.
Kebebasan diri untuk menyatakan pendapat memang tidak bisa semena-mena, karena harus menghormati hukum dan keadaban berpolitik. Kritik publik yang didasari dengan argumen, data, dan tanggung jawab penyampainya tentu saja sangat diperlukan bahkan menjadi nutrisi sangat penting bagi penguatan hak-hak sipil politik.
Ironi Komunikasi
Kasus kritik stand-up komedi Bintang Emon merupakan puncak gunung es dari banyak dan beragamnya kasus antikritik yang ada di sekitar kita. Dalam video yang diunggah ke Instagram-nya, Bintang menyindir secara komedi alasan ketidaksengajaan di balik tuntutan satu tahun penjara kepada terdakwa penyiram Novel Baswedan.
Jelas, ini merupakan kritik yang dibalut satire tentang realitas yang dianggapnya juga dirasakan oleh banyak masyarakat lainnya. Kritik berbalut komedi ini menemukan momentumnya di tengah arus opini publik yang memang sedang menyoroti kasus hukum yang sedang ramai dipergunjingkan terutama menyangkut rasa keadilan.
Salah satu dampak yang dialami Bintang adalah serangan di medsos pada Senin (15/6) berupa meme berisi keterangan Bintang menggunakan narkotika jenis sabu. Meme diramaikan sejumlah akun anonim dengan narasi yang seragam yang tendensinya melakukan pembunuhan karakter terhadap komika tersebut.
Mengapa kasus sejenis ini menarik kita tarik ke hal lebih fundamental soal kebebasan? Karena, ironi komunikasi ini bukan hanya terjadi pada Bintang dan sangat mungkin juga akan terus terjadi di masa mendatang.
Oleh karenanya, penting bagi kita untuk menempatkan kasus sejenis ini dalam dimensi publik yang kritis dan melek agar pihak-pihak yang kerap menggunakan modus intimidasi sejenis ini tidak menularkan virusnya ke banyak orang atau jangan sampai fenomena ini dianggap hal biasa saja.
Jelas dan eksplisit di konstitusi kita terutama Pasal 28 E ayat 3 UUD 1945 bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Hal ini juga diperkuat dengan Pasal 28F yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Jadi, tidak ada alasan secara konstitusional seseorang dilarang menyampaikan pendapat dan kritiknya. Kembali ke substansi kritik Bintang Emon, tidak ada aspek hukum yang dilanggarnya. Pernyataan dia sesungguhnya hanya kritik umum atau kulit permukaan dan ini khas menggambarkan kritik masyarakat awam. Jadi, sungguh keterlaluan jika hal ini dianggap mengganggu sekelompok orang.
Para Pendengung
Mark Poster dalam bukunya Cyberdemocracy: Internet and the Public Sphere (1995) memberi optimisme bahwa media daring telah menjelma menjadi harapan ketersediaan ruang publik baru yang dapat menyediakan suatu situasi komunikasi tanpa dominasi. Tentu saja tak semua kritik di media daring itu positif, banyak “tawuran” opini bahkan informasi menyesatkan yang begitu deras mengalir dari media daring, termasuk media sosial. Tentu saja, publik juga harus memilah dan memilih mana kritik yang konstruktif dan mana kritik yang destruktif.
Kritik terhadap penguasa, institusi hukum, dan lembaga-lembaga publik lainnya akan selalu dibutuhkan. Oleh karenanya, jangan sampai orang takut dan terintimidasi saat menyampaikan kritiknya, terutama saat ini semakin menguatnya realitas pasukan buzzer dan fenomena kill the messenger! Kata buzzer memiliki makna bel atau alarm.
Di media massa, buzzer kerap diartikan pendengung. Biasanya adalah orang atau sekelompok orang yang melakukan penggiringan opini bersifat masif. Tipologi para pendengung ini kita bisa bedakan dari sisi motif dan model kerjanya.
Pertama, dari sisi motif para pendengung terbagi menjadi dua, yakni para pencari kepuasan (thrill seeker buzzer) dan pendengung spesialis (buzzer specialist). Pendengung thrill seekers sering muncul saat terjadinya letupan-letupan opini yang berkembang di masyarakat.
Pendengung ini tidak terlalu peduli dengan order atau proyek mobilisasi dan masifikasi isu. Jika tertarik, dia akan ikut berkerumun dalam pusaran opini yang menjadi trending topic di jagat maya.
Para pendengung jenis ini sangat jarang yang sedari awal menginisiasi dan mengamplifikasi isu, meskipun bisa juga satu-dua kasus ada tipe pendengung thrill seekers yang tampil menjadi pencipta isu dan meramaikannya di kalangan netizen. Terutama jika isu dan kepentingannya benar-benar relevan dengan mereka.
Di musim kontestasi elektoral atau saat terjadinya polarisasi opini yang tajam seperti di musim pandemi Covid-19, selalu ada netizen yang berpolah seperti buzzer, tetapi sesungguhnya dia tidak berkelompok dan lebih merepresentasikan sikap partisan dirinya semata. Dia akan puas jika pikiran, perasaan, dan pandangannya terakomodasi dalam arus pusaran opini yang berkembang.
Ada juga buzzer specialist yang memang biasanya dia meramaikan dan memalingkan perhatian orang pada isu tertentu karena menerima proyek atau order. Sistem kerjanya berkelompok dengan dukungan teknologi informasi dan komunikasi lebih memadai mereka “bertarung” untuk memenangkan pengaruh.
Pengordernya bisa korporasi bisnis, figur politik, partai, atau pun pemerintah. Jadi, kerangka referensi evaluatif tindakannya adalah kepentingan, yakni keuntungan bisnis.
Sementara jika dilihat dari model bekerjanya ada pendengung yang sifatnya individual, ada juga yang kolektif. Yang individual misalnya sekadar menjadi buzzer coba-coba tanpa peta pertarungan.
Sementara yang kolektif mirip pasukan siber (cyber troops) yang jelas objek atau sasarannya, pembagian timnya, serta peta jalan pemenangannya. Realitas ini secara faktual kerap membuat dunia maya bahkan dunia nyata gegap gempita dengan serbuan masif informasi yang dilancarkan para pendengung.
Yang harus diberi catatan khusus adalah jika para pendengung mulai melakukan serangan pembunuhan karakter, mengintimidasi kritik publik hingga menyebar teror melalui persekusi dan doxing di dunia maya. Dalam istilah lain melakukan praktik kill the messenger.
Mirip kisah nyata jurnalis investigasi Garry Webb dari surat kabar lokal San Jose Mercury News yang diangkat menjadi film dengan judul Kill the Messenger. Webb menulis tiga artikel bersambung yang menghebohkan dunia dengan judul Dark Alliance di Mercury News pada tahun 1996.
Dia menulis laporan investigasi bahwa CIA bertanggung jawab atas sebagian besar pengiriman kokain ke Amerika Serikat pada tahun 1980-an. Niat baik Webb memantik serangan balik dari kelompok yang tidak suka dan terusik dengan laporannya.
Singkat kata, serangan atas pribadinya yang begitu masif membuat dia harus mengundurkan diri dari Mercury News dan akhir hidupnya tragis meninggal di usia 49 tahun dengan luka tembak di kepala. Polisi menyebut dia bunuh diri, meskipun banyak orang meyakini dia dibunuh.
Mungkin kill the messenger versi daring saat ini bentuknya bisa berupa pembunuhan karakter melalui aib, fitnah, rumor yang membuat orang yang menjadi objek intimidasi dan teror tak lagi bisa berbuat apa-apa. Dalam hal Bintang Emon, misalnya, disebar fitnah bahwa dia pengguna narkoba.
Modus seperti ini sangat mungkin juga dialami banyak orang. Realitas seperti ini tak cukup hanya dengan membangun literasi, melainkan juga diperlukan langkah-langkah penegakan hukum agar demokrasi bisa tetap terlindungi.
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute, Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
SALAH satu hal fundamental dalam berdemokrasi adalah dilindunginya kebebasan sebagai hak yang melekat pada setiap warga negara merdeka. Oleh karenanya, setiap bentuk intimidasi, pengekangan, persekusi, doxing atau membuka informasi pribadi sebagai bentuk balas dendam kepada orang yang menyatakan berbeda sikap dan pendapat adalah ancaman terhadap kehakikian prinsip dasar demokrasi.
Kebebasan diri untuk menyatakan pendapat memang tidak bisa semena-mena, karena harus menghormati hukum dan keadaban berpolitik. Kritik publik yang didasari dengan argumen, data, dan tanggung jawab penyampainya tentu saja sangat diperlukan bahkan menjadi nutrisi sangat penting bagi penguatan hak-hak sipil politik.
Ironi Komunikasi
Kasus kritik stand-up komedi Bintang Emon merupakan puncak gunung es dari banyak dan beragamnya kasus antikritik yang ada di sekitar kita. Dalam video yang diunggah ke Instagram-nya, Bintang menyindir secara komedi alasan ketidaksengajaan di balik tuntutan satu tahun penjara kepada terdakwa penyiram Novel Baswedan.
Jelas, ini merupakan kritik yang dibalut satire tentang realitas yang dianggapnya juga dirasakan oleh banyak masyarakat lainnya. Kritik berbalut komedi ini menemukan momentumnya di tengah arus opini publik yang memang sedang menyoroti kasus hukum yang sedang ramai dipergunjingkan terutama menyangkut rasa keadilan.
Salah satu dampak yang dialami Bintang adalah serangan di medsos pada Senin (15/6) berupa meme berisi keterangan Bintang menggunakan narkotika jenis sabu. Meme diramaikan sejumlah akun anonim dengan narasi yang seragam yang tendensinya melakukan pembunuhan karakter terhadap komika tersebut.
Mengapa kasus sejenis ini menarik kita tarik ke hal lebih fundamental soal kebebasan? Karena, ironi komunikasi ini bukan hanya terjadi pada Bintang dan sangat mungkin juga akan terus terjadi di masa mendatang.
Oleh karenanya, penting bagi kita untuk menempatkan kasus sejenis ini dalam dimensi publik yang kritis dan melek agar pihak-pihak yang kerap menggunakan modus intimidasi sejenis ini tidak menularkan virusnya ke banyak orang atau jangan sampai fenomena ini dianggap hal biasa saja.
Jelas dan eksplisit di konstitusi kita terutama Pasal 28 E ayat 3 UUD 1945 bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Hal ini juga diperkuat dengan Pasal 28F yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Jadi, tidak ada alasan secara konstitusional seseorang dilarang menyampaikan pendapat dan kritiknya. Kembali ke substansi kritik Bintang Emon, tidak ada aspek hukum yang dilanggarnya. Pernyataan dia sesungguhnya hanya kritik umum atau kulit permukaan dan ini khas menggambarkan kritik masyarakat awam. Jadi, sungguh keterlaluan jika hal ini dianggap mengganggu sekelompok orang.
Para Pendengung
Mark Poster dalam bukunya Cyberdemocracy: Internet and the Public Sphere (1995) memberi optimisme bahwa media daring telah menjelma menjadi harapan ketersediaan ruang publik baru yang dapat menyediakan suatu situasi komunikasi tanpa dominasi. Tentu saja tak semua kritik di media daring itu positif, banyak “tawuran” opini bahkan informasi menyesatkan yang begitu deras mengalir dari media daring, termasuk media sosial. Tentu saja, publik juga harus memilah dan memilih mana kritik yang konstruktif dan mana kritik yang destruktif.
Kritik terhadap penguasa, institusi hukum, dan lembaga-lembaga publik lainnya akan selalu dibutuhkan. Oleh karenanya, jangan sampai orang takut dan terintimidasi saat menyampaikan kritiknya, terutama saat ini semakin menguatnya realitas pasukan buzzer dan fenomena kill the messenger! Kata buzzer memiliki makna bel atau alarm.
Di media massa, buzzer kerap diartikan pendengung. Biasanya adalah orang atau sekelompok orang yang melakukan penggiringan opini bersifat masif. Tipologi para pendengung ini kita bisa bedakan dari sisi motif dan model kerjanya.
Pertama, dari sisi motif para pendengung terbagi menjadi dua, yakni para pencari kepuasan (thrill seeker buzzer) dan pendengung spesialis (buzzer specialist). Pendengung thrill seekers sering muncul saat terjadinya letupan-letupan opini yang berkembang di masyarakat.
Pendengung ini tidak terlalu peduli dengan order atau proyek mobilisasi dan masifikasi isu. Jika tertarik, dia akan ikut berkerumun dalam pusaran opini yang menjadi trending topic di jagat maya.
Para pendengung jenis ini sangat jarang yang sedari awal menginisiasi dan mengamplifikasi isu, meskipun bisa juga satu-dua kasus ada tipe pendengung thrill seekers yang tampil menjadi pencipta isu dan meramaikannya di kalangan netizen. Terutama jika isu dan kepentingannya benar-benar relevan dengan mereka.
Di musim kontestasi elektoral atau saat terjadinya polarisasi opini yang tajam seperti di musim pandemi Covid-19, selalu ada netizen yang berpolah seperti buzzer, tetapi sesungguhnya dia tidak berkelompok dan lebih merepresentasikan sikap partisan dirinya semata. Dia akan puas jika pikiran, perasaan, dan pandangannya terakomodasi dalam arus pusaran opini yang berkembang.
Ada juga buzzer specialist yang memang biasanya dia meramaikan dan memalingkan perhatian orang pada isu tertentu karena menerima proyek atau order. Sistem kerjanya berkelompok dengan dukungan teknologi informasi dan komunikasi lebih memadai mereka “bertarung” untuk memenangkan pengaruh.
Pengordernya bisa korporasi bisnis, figur politik, partai, atau pun pemerintah. Jadi, kerangka referensi evaluatif tindakannya adalah kepentingan, yakni keuntungan bisnis.
Sementara jika dilihat dari model bekerjanya ada pendengung yang sifatnya individual, ada juga yang kolektif. Yang individual misalnya sekadar menjadi buzzer coba-coba tanpa peta pertarungan.
Sementara yang kolektif mirip pasukan siber (cyber troops) yang jelas objek atau sasarannya, pembagian timnya, serta peta jalan pemenangannya. Realitas ini secara faktual kerap membuat dunia maya bahkan dunia nyata gegap gempita dengan serbuan masif informasi yang dilancarkan para pendengung.
Yang harus diberi catatan khusus adalah jika para pendengung mulai melakukan serangan pembunuhan karakter, mengintimidasi kritik publik hingga menyebar teror melalui persekusi dan doxing di dunia maya. Dalam istilah lain melakukan praktik kill the messenger.
Mirip kisah nyata jurnalis investigasi Garry Webb dari surat kabar lokal San Jose Mercury News yang diangkat menjadi film dengan judul Kill the Messenger. Webb menulis tiga artikel bersambung yang menghebohkan dunia dengan judul Dark Alliance di Mercury News pada tahun 1996.
Dia menulis laporan investigasi bahwa CIA bertanggung jawab atas sebagian besar pengiriman kokain ke Amerika Serikat pada tahun 1980-an. Niat baik Webb memantik serangan balik dari kelompok yang tidak suka dan terusik dengan laporannya.
Singkat kata, serangan atas pribadinya yang begitu masif membuat dia harus mengundurkan diri dari Mercury News dan akhir hidupnya tragis meninggal di usia 49 tahun dengan luka tembak di kepala. Polisi menyebut dia bunuh diri, meskipun banyak orang meyakini dia dibunuh.
Mungkin kill the messenger versi daring saat ini bentuknya bisa berupa pembunuhan karakter melalui aib, fitnah, rumor yang membuat orang yang menjadi objek intimidasi dan teror tak lagi bisa berbuat apa-apa. Dalam hal Bintang Emon, misalnya, disebar fitnah bahwa dia pengguna narkoba.
Modus seperti ini sangat mungkin juga dialami banyak orang. Realitas seperti ini tak cukup hanya dengan membangun literasi, melainkan juga diperlukan langkah-langkah penegakan hukum agar demokrasi bisa tetap terlindungi.
(poe)