Kritik dan Buzzer Politik
Rabu, 24 Juni 2020 - 11:03 WIB
Gun Gun Heryanto
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute, Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
SALAH satu hal fundamental dalam berdemokrasi adalah dilindunginya kebebasan sebagai hak yang melekat pada setiap warga negara merdeka. Oleh karenanya, setiap bentuk intimidasi, pengekangan, persekusi, doxing atau membuka informasi pribadi sebagai bentuk balas dendam kepada orang yang menyatakan berbeda sikap dan pendapat adalah ancaman terhadap kehakikian prinsip dasar demokrasi.
Kebebasan diri untuk menyatakan pendapat memang tidak bisa semena-mena, karena harus menghormati hukum dan keadaban berpolitik. Kritik publik yang didasari dengan argumen, data, dan tanggung jawab penyampainya tentu saja sangat diperlukan bahkan menjadi nutrisi sangat penting bagi penguatan hak-hak sipil politik.
Ironi Komunikasi
Kasus kritik stand-up komedi Bintang Emon merupakan puncak gunung es dari banyak dan beragamnya kasus antikritik yang ada di sekitar kita. Dalam video yang diunggah ke Instagram-nya, Bintang menyindir secara komedi alasan ketidaksengajaan di balik tuntutan satu tahun penjara kepada terdakwa penyiram Novel Baswedan.
Jelas, ini merupakan kritik yang dibalut satire tentang realitas yang dianggapnya juga dirasakan oleh banyak masyarakat lainnya. Kritik berbalut komedi ini menemukan momentumnya di tengah arus opini publik yang memang sedang menyoroti kasus hukum yang sedang ramai dipergunjingkan terutama menyangkut rasa keadilan.
Salah satu dampak yang dialami Bintang adalah serangan di medsos pada Senin (15/6) berupa meme berisi keterangan Bintang menggunakan narkotika jenis sabu. Meme diramaikan sejumlah akun anonim dengan narasi yang seragam yang tendensinya melakukan pembunuhan karakter terhadap komika tersebut.
Mengapa kasus sejenis ini menarik kita tarik ke hal lebih fundamental soal kebebasan? Karena, ironi komunikasi ini bukan hanya terjadi pada Bintang dan sangat mungkin juga akan terus terjadi di masa mendatang.
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute, Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
SALAH satu hal fundamental dalam berdemokrasi adalah dilindunginya kebebasan sebagai hak yang melekat pada setiap warga negara merdeka. Oleh karenanya, setiap bentuk intimidasi, pengekangan, persekusi, doxing atau membuka informasi pribadi sebagai bentuk balas dendam kepada orang yang menyatakan berbeda sikap dan pendapat adalah ancaman terhadap kehakikian prinsip dasar demokrasi.
Kebebasan diri untuk menyatakan pendapat memang tidak bisa semena-mena, karena harus menghormati hukum dan keadaban berpolitik. Kritik publik yang didasari dengan argumen, data, dan tanggung jawab penyampainya tentu saja sangat diperlukan bahkan menjadi nutrisi sangat penting bagi penguatan hak-hak sipil politik.
Ironi Komunikasi
Kasus kritik stand-up komedi Bintang Emon merupakan puncak gunung es dari banyak dan beragamnya kasus antikritik yang ada di sekitar kita. Dalam video yang diunggah ke Instagram-nya, Bintang menyindir secara komedi alasan ketidaksengajaan di balik tuntutan satu tahun penjara kepada terdakwa penyiram Novel Baswedan.
Jelas, ini merupakan kritik yang dibalut satire tentang realitas yang dianggapnya juga dirasakan oleh banyak masyarakat lainnya. Kritik berbalut komedi ini menemukan momentumnya di tengah arus opini publik yang memang sedang menyoroti kasus hukum yang sedang ramai dipergunjingkan terutama menyangkut rasa keadilan.
Salah satu dampak yang dialami Bintang adalah serangan di medsos pada Senin (15/6) berupa meme berisi keterangan Bintang menggunakan narkotika jenis sabu. Meme diramaikan sejumlah akun anonim dengan narasi yang seragam yang tendensinya melakukan pembunuhan karakter terhadap komika tersebut.
Mengapa kasus sejenis ini menarik kita tarik ke hal lebih fundamental soal kebebasan? Karena, ironi komunikasi ini bukan hanya terjadi pada Bintang dan sangat mungkin juga akan terus terjadi di masa mendatang.
Lihat Juga :
tulis komentar anda