Membangun Kesejatian Diri dan Negeri

Kamis, 06 April 2023 - 15:15 WIB
Pada tahap tertentu, ibadah puasa bisa dikatakan sebagai syariat dan ketetapan Allah untuk melatih manusia agar memenangkan dimensi rohanidalam dirinya.

Setelah satu tahun manusia larut dalam pelbagai macam hedonisme kehidupan, kerlap-kerlip syahwat, dan lemak-lemak makanan yang nyaris tanpa batas, puasa datang untuk membatasi dan menghancurkan belenggu syahwat yang ada. Manusia diwajibkan untuk tidak makan dan tidak minum selama satu hari penuh.

Pertanyaannya adalah, kenapa makan-minum dan syahwat yang diatur? Jawabannya adalah karena makanan dan minuman tak ubahnya infrastruktur dasar bagi kejayaan dimensi jasmani. Makanan dan minuman adalah sumber energi syahwat. Sebagaimana makanan dan minuman menjadi pijakan dasar segala macam bentuk syahwat.

Setelah makanan dan minuman terpenuhi, terlebih secara berlebihan, maka segala macam syahwat pun akan berkembang secara liar. Karena itu, Islam mengajarkan kepada umat Islam berpuasa untuk mengendalikan nafsu, di luar puasa wajib di bulan Ramadan.

Sesungguhnya makanan dan minuman juga dibutuhkan untuk membangun kejayaan rohani. Tapi makanan dan minuman yang dibutuhkan untuk dimensi ini hanyalah secukupnya.

Dan inilah salah satu hikmah yang ada di balik ibadah puasa, memaksa manusia makan dan minum secara cukup saja tanpa melebihi kebutuhan yang ada.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, semangat membangun kembali kesejatian diri menjadi kebutuhan yang sangat mendesak. Sikap pamer harta kekayaan seakan menjadi kebiasaan dan kepuasan “si kaya”di tengah derita tak bertepi kaum miskin.

Sikap pamer harta ini tak hanya dilakukan oleh sebagian mereka yang berprofesi sebagai penghibur ataupun artis, melainkan belakangan juga dilakukan oleh sebagian pejabat negara maupun keluarganya.

Selama harta itu didapatkan secara halal dan legal, tentu seseorang berhak untuk menggunakan harta kekayaan yang ada. Tapi memamerkan kekayaannya kepada publik bisa dipahami sebagai sikap yang tidak berempati terhadap nasib rakyat yang kebanyakan belum sejahtera. Dan, pada tahap tertentu, sikap pamer harta bisa memperuncing pelbagai macam problem sosial akibat ketimpangan yang masih sangat tinggi.

Pada waktu-waktu lampau, sikap pamer harta tentu juga sudah sering terjadi. Tapi pada era media sosial yang sedemikian cepat, bebas, dan terbuka seperti sekarang, sikap pamer harta dengan mudah menyebar ke seluruh lapisan masyarakat sekaligus memperlihatkan jurang pemisah antara si kaya dengan si miskin.

Persoalannya adalah, sikap pamer harta bisa memunculkan atau bahkan melanggengkan semangat memperkaya diri dengan menghalalkan segala macam cara sehingga mendapatkan harta secara haram dianggap sebagai hal biasa. Pada tahap tertentu, inilah yang bisa menjelaskan persoalan korupsi yang semakin ke sini justru semakin menjadi-jadi.

Dalam kondisi seperti di atas, kehidupan berbangsa dan bernegara sungguh berada dalam bahaya. Bahkan bisa dikatakan hal ini lebih berbahaya daripada ancaman dan kekuatan penjajah sekalipun. Sebab bahaya yang ada sekarang datang dari masyarakat itu sendiri, bahkan abdi, penggawa, dan para pemimpin negeri ini.

Di sinilah pentingnya semangat kesejatian diri yang berada di balik ibadah puasa sebagaimana telah disampaikan di atas. Melalui semangat kesejatian diri, puasa bisa membangun pribadi-pribadi yang jujur, tahu batasan, tahu diri, dan tidak menghambakan diri pada hawa nafsu dan kekuasaan.

Hanya di tangan pribadi-pribadi yang tangguh dan unggul seperti inilah kehidupan berbangsa dan bernegara akan berjalan sesuai dengan cita-cita para pendiri, yaitu menjadi negeri yang berketuhanan, berperikemanusiaan, menjaga persatuan, menjalankan permusyawaratan, dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More