Membangun Kesejatian Diri dan Negeri

Kamis, 06 April 2023 - 15:15 WIB
Hasibullah Satrawi (Foto: Ist)
Hasibullah Satrawi

Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir, Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam

SEJATINYA puasa berbeda dengan ibadah lain yang identik dengan amalan-amalan fisik nan tampak terlihat secara kasat mata seperti salat dan zakat. Sejatinya ibadah puasa berbeda dengan ibadah lain yang membutuhkan harta yang cukup banyak seperti haji dan umrah.

Puasa hanya butuh menahan diri, tidak makan, tidak minum, tidak melakukan hubungan badan dan atau melakukan hal-hal yang membatalkan puasa, mulai waktu subuh sampai magrib. Cukup. Inilah pengertian puasa secara hukum Islam atau fikih. Inilah ketentuan minimal dari ibadah puasa. Lebih dari itu adalah amalan-amalan yang bersifat keutamaan dan keagungan.

Baca Juga: koran-sindo.com



Pada tahap tertentu dapat dikatakan puasa adalah ibadah kesejatian. Puasa tidak memerlukan materi atau harta benda secara berlebih, cukup sekadar untuk bisa dimakan dan diminum di waktu buka dan di waktu sahur.

Puasa tidak memerlukan ramai-ramai, terlebih lagi pesta dan selamatan. Puasa hanya cukup dilakukan oleh seseorang dan disaksikan oleh Allah Yang Mahatahu.

Dengan kata lain, seseorang bisa mengaku atau pura-pura berpuasa (dengan mengeringkan bibir dan mulut). Padahal yang bersangkutan, umpama saja, baru makan dan minum.

Sebaliknya, seseorang tampak terlihat segar dan bugar bagaikan orang yang baru makan dan minum, padahal sesungguhnya ia berpuasa dan tidak makan ataupun minum sepanjang hari.

Dalam kondisi seperti ini, hanya Allah yang tahu siapa yang berpuasa dan tidak berpuasa. Orang lain tidak bisa mengetahui secara pasti siapa yang berpuasa ataupun tidak berpuasa.

Inilah semangat kesejatian diri yang terdapat di dalam ibadah puasa. Umat manusia secara umum dan umat Islam khususnya penting untuk senantiasa mengasah dan menjaga kesejatian dirinya hingga mereka tidak larut dalam pernak-pernik duniawi-hartawi, terlebih lagi menghakimi orang lain maupun pihak lain atas nama kedekatan maupun kalkulasi yang bersifat ilahiah.

Di kalangan dunia tasawuf dikenal istilah yang sangat masyhur, man ‘arafa nafsahu ‘afara rabbahu (orang yang mengenal dirinya bisa mengenal Tuhannya). Istilah ini hendak menekankan betapa kesejatian diri seseorang sangat penting hingga kesejatian diri bisa menjadi pintu untuk mengenal dan mengetahui Tuhan secara lebih utuh.

Secara spiritual, manusia memiliki dimensi rohaniyang senantiasa baik dan suci. Namun dimensi ini tak jarang terbelenggu oleh dimensi lain yang juga ada dalam diri manusia, yaitu dimensi jasmani.

Dua dimensi ini senantiasa saling berbisik dan saling berperang untuk menguasai diri manusia. Peperangan ini lebih ganas dan lebih dahsyat daripada sejarah perang apa pun yang pernah ada di muka bumi. Dalam Islam, perang ini disebut dengan istilah perang paling akbar (jihadul akbar), yaitu perang melawan hawa nafsu (mujahadatun nafs).
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More