Membangun Kesejatian Diri dan Negeri
loading...
A
A
A
Hasibullah Satrawi
Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir, Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam
SEJATINYA puasa berbeda dengan ibadah lain yang identik dengan amalan-amalan fisik nan tampak terlihat secara kasat mata seperti salat dan zakat. Sejatinya ibadah puasa berbeda dengan ibadah lain yang membutuhkan harta yang cukup banyak seperti haji dan umrah.
Puasa hanya butuh menahan diri, tidak makan, tidak minum, tidak melakukan hubungan badan dan atau melakukan hal-hal yang membatalkan puasa, mulai waktu subuh sampai magrib. Cukup. Inilah pengertian puasa secara hukum Islam atau fikih. Inilah ketentuan minimal dari ibadah puasa. Lebih dari itu adalah amalan-amalan yang bersifat keutamaan dan keagungan.
Baca Juga: koran-sindo.com
Pada tahap tertentu dapat dikatakan puasa adalah ibadah kesejatian. Puasa tidak memerlukan materi atau harta benda secara berlebih, cukup sekadar untuk bisa dimakan dan diminum di waktu buka dan di waktu sahur.
Puasa tidak memerlukan ramai-ramai, terlebih lagi pesta dan selamatan. Puasa hanya cukup dilakukan oleh seseorang dan disaksikan oleh Allah Yang Mahatahu.
Dengan kata lain, seseorang bisa mengaku atau pura-pura berpuasa (dengan mengeringkan bibir dan mulut). Padahal yang bersangkutan, umpama saja, baru makan dan minum.
Sebaliknya, seseorang tampak terlihat segar dan bugar bagaikan orang yang baru makan dan minum, padahal sesungguhnya ia berpuasa dan tidak makan ataupun minum sepanjang hari.
Dalam kondisi seperti ini, hanya Allah yang tahu siapa yang berpuasa dan tidak berpuasa. Orang lain tidak bisa mengetahui secara pasti siapa yang berpuasa ataupun tidak berpuasa.
Inilah semangat kesejatian diri yang terdapat di dalam ibadah puasa. Umat manusia secara umum dan umat Islam khususnya penting untuk senantiasa mengasah dan menjaga kesejatian dirinya hingga mereka tidak larut dalam pernak-pernik duniawi-hartawi, terlebih lagi menghakimi orang lain maupun pihak lain atas nama kedekatan maupun kalkulasi yang bersifat ilahiah.
Di kalangan dunia tasawuf dikenal istilah yang sangat masyhur, man ‘arafa nafsahu ‘afara rabbahu (orang yang mengenal dirinya bisa mengenal Tuhannya). Istilah ini hendak menekankan betapa kesejatian diri seseorang sangat penting hingga kesejatian diri bisa menjadi pintu untuk mengenal dan mengetahui Tuhan secara lebih utuh.
Secara spiritual, manusia memiliki dimensi rohaniyang senantiasa baik dan suci. Namun dimensi ini tak jarang terbelenggu oleh dimensi lain yang juga ada dalam diri manusia, yaitu dimensi jasmani.
Dua dimensi ini senantiasa saling berbisik dan saling berperang untuk menguasai diri manusia. Peperangan ini lebih ganas dan lebih dahsyat daripada sejarah perang apa pun yang pernah ada di muka bumi. Dalam Islam, perang ini disebut dengan istilah perang paling akbar (jihadul akbar), yaitu perang melawan hawa nafsu (mujahadatun nafs).
Pada tahap tertentu, ibadah puasa bisa dikatakan sebagai syariat dan ketetapan Allah untuk melatih manusia agar memenangkan dimensi rohanidalam dirinya.
Setelah satu tahun manusia larut dalam pelbagai macam hedonisme kehidupan, kerlap-kerlip syahwat, dan lemak-lemak makanan yang nyaris tanpa batas, puasa datang untuk membatasi dan menghancurkan belenggu syahwat yang ada. Manusia diwajibkan untuk tidak makan dan tidak minum selama satu hari penuh.
Pertanyaannya adalah, kenapa makan-minum dan syahwat yang diatur? Jawabannya adalah karena makanan dan minuman tak ubahnya infrastruktur dasar bagi kejayaan dimensi jasmani. Makanan dan minuman adalah sumber energi syahwat. Sebagaimana makanan dan minuman menjadi pijakan dasar segala macam bentuk syahwat.
Setelah makanan dan minuman terpenuhi, terlebih secara berlebihan, maka segala macam syahwat pun akan berkembang secara liar. Karena itu, Islam mengajarkan kepada umat Islam berpuasa untuk mengendalikan nafsu, di luar puasa wajib di bulan Ramadan.
Sesungguhnya makanan dan minuman juga dibutuhkan untuk membangun kejayaan rohani. Tapi makanan dan minuman yang dibutuhkan untuk dimensi ini hanyalah secukupnya.
Dan inilah salah satu hikmah yang ada di balik ibadah puasa, memaksa manusia makan dan minum secara cukup saja tanpa melebihi kebutuhan yang ada.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, semangat membangun kembali kesejatian diri menjadi kebutuhan yang sangat mendesak. Sikap pamer harta kekayaan seakan menjadi kebiasaan dan kepuasan “si kaya”di tengah derita tak bertepi kaum miskin.
Sikap pamer harta ini tak hanya dilakukan oleh sebagian mereka yang berprofesi sebagai penghibur ataupun artis, melainkan belakangan juga dilakukan oleh sebagian pejabat negara maupun keluarganya.
Selama harta itu didapatkan secara halal dan legal, tentu seseorang berhak untuk menggunakan harta kekayaan yang ada. Tapi memamerkan kekayaannya kepada publik bisa dipahami sebagai sikap yang tidak berempati terhadap nasib rakyat yang kebanyakan belum sejahtera. Dan, pada tahap tertentu, sikap pamer harta bisa memperuncing pelbagai macam problem sosial akibat ketimpangan yang masih sangat tinggi.
Pada waktu-waktu lampau, sikap pamer harta tentu juga sudah sering terjadi. Tapi pada era media sosial yang sedemikian cepat, bebas, dan terbuka seperti sekarang, sikap pamer harta dengan mudah menyebar ke seluruh lapisan masyarakat sekaligus memperlihatkan jurang pemisah antara si kaya dengan si miskin.
Persoalannya adalah, sikap pamer harta bisa memunculkan atau bahkan melanggengkan semangat memperkaya diri dengan menghalalkan segala macam cara sehingga mendapatkan harta secara haram dianggap sebagai hal biasa. Pada tahap tertentu, inilah yang bisa menjelaskan persoalan korupsi yang semakin ke sini justru semakin menjadi-jadi.
Dalam kondisi seperti di atas, kehidupan berbangsa dan bernegara sungguh berada dalam bahaya. Bahkan bisa dikatakan hal ini lebih berbahaya daripada ancaman dan kekuatan penjajah sekalipun. Sebab bahaya yang ada sekarang datang dari masyarakat itu sendiri, bahkan abdi, penggawa, dan para pemimpin negeri ini.
Di sinilah pentingnya semangat kesejatian diri yang berada di balik ibadah puasa sebagaimana telah disampaikan di atas. Melalui semangat kesejatian diri, puasa bisa membangun pribadi-pribadi yang jujur, tahu batasan, tahu diri, dan tidak menghambakan diri pada hawa nafsu dan kekuasaan.
Hanya di tangan pribadi-pribadi yang tangguh dan unggul seperti inilah kehidupan berbangsa dan bernegara akan berjalan sesuai dengan cita-cita para pendiri, yaitu menjadi negeri yang berketuhanan, berperikemanusiaan, menjaga persatuan, menjalankan permusyawaratan, dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Lihat Juga: Program Berkah Ramadan, BPKH Salurkan Dana Hasil Investasi untuk Umat hingga Rp12,6 Miliar
Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir, Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam
SEJATINYA puasa berbeda dengan ibadah lain yang identik dengan amalan-amalan fisik nan tampak terlihat secara kasat mata seperti salat dan zakat. Sejatinya ibadah puasa berbeda dengan ibadah lain yang membutuhkan harta yang cukup banyak seperti haji dan umrah.
Puasa hanya butuh menahan diri, tidak makan, tidak minum, tidak melakukan hubungan badan dan atau melakukan hal-hal yang membatalkan puasa, mulai waktu subuh sampai magrib. Cukup. Inilah pengertian puasa secara hukum Islam atau fikih. Inilah ketentuan minimal dari ibadah puasa. Lebih dari itu adalah amalan-amalan yang bersifat keutamaan dan keagungan.
Baca Juga: koran-sindo.com
Pada tahap tertentu dapat dikatakan puasa adalah ibadah kesejatian. Puasa tidak memerlukan materi atau harta benda secara berlebih, cukup sekadar untuk bisa dimakan dan diminum di waktu buka dan di waktu sahur.
Puasa tidak memerlukan ramai-ramai, terlebih lagi pesta dan selamatan. Puasa hanya cukup dilakukan oleh seseorang dan disaksikan oleh Allah Yang Mahatahu.
Dengan kata lain, seseorang bisa mengaku atau pura-pura berpuasa (dengan mengeringkan bibir dan mulut). Padahal yang bersangkutan, umpama saja, baru makan dan minum.
Sebaliknya, seseorang tampak terlihat segar dan bugar bagaikan orang yang baru makan dan minum, padahal sesungguhnya ia berpuasa dan tidak makan ataupun minum sepanjang hari.
Dalam kondisi seperti ini, hanya Allah yang tahu siapa yang berpuasa dan tidak berpuasa. Orang lain tidak bisa mengetahui secara pasti siapa yang berpuasa ataupun tidak berpuasa.
Inilah semangat kesejatian diri yang terdapat di dalam ibadah puasa. Umat manusia secara umum dan umat Islam khususnya penting untuk senantiasa mengasah dan menjaga kesejatian dirinya hingga mereka tidak larut dalam pernak-pernik duniawi-hartawi, terlebih lagi menghakimi orang lain maupun pihak lain atas nama kedekatan maupun kalkulasi yang bersifat ilahiah.
Di kalangan dunia tasawuf dikenal istilah yang sangat masyhur, man ‘arafa nafsahu ‘afara rabbahu (orang yang mengenal dirinya bisa mengenal Tuhannya). Istilah ini hendak menekankan betapa kesejatian diri seseorang sangat penting hingga kesejatian diri bisa menjadi pintu untuk mengenal dan mengetahui Tuhan secara lebih utuh.
Secara spiritual, manusia memiliki dimensi rohaniyang senantiasa baik dan suci. Namun dimensi ini tak jarang terbelenggu oleh dimensi lain yang juga ada dalam diri manusia, yaitu dimensi jasmani.
Dua dimensi ini senantiasa saling berbisik dan saling berperang untuk menguasai diri manusia. Peperangan ini lebih ganas dan lebih dahsyat daripada sejarah perang apa pun yang pernah ada di muka bumi. Dalam Islam, perang ini disebut dengan istilah perang paling akbar (jihadul akbar), yaitu perang melawan hawa nafsu (mujahadatun nafs).
Pada tahap tertentu, ibadah puasa bisa dikatakan sebagai syariat dan ketetapan Allah untuk melatih manusia agar memenangkan dimensi rohanidalam dirinya.
Setelah satu tahun manusia larut dalam pelbagai macam hedonisme kehidupan, kerlap-kerlip syahwat, dan lemak-lemak makanan yang nyaris tanpa batas, puasa datang untuk membatasi dan menghancurkan belenggu syahwat yang ada. Manusia diwajibkan untuk tidak makan dan tidak minum selama satu hari penuh.
Pertanyaannya adalah, kenapa makan-minum dan syahwat yang diatur? Jawabannya adalah karena makanan dan minuman tak ubahnya infrastruktur dasar bagi kejayaan dimensi jasmani. Makanan dan minuman adalah sumber energi syahwat. Sebagaimana makanan dan minuman menjadi pijakan dasar segala macam bentuk syahwat.
Setelah makanan dan minuman terpenuhi, terlebih secara berlebihan, maka segala macam syahwat pun akan berkembang secara liar. Karena itu, Islam mengajarkan kepada umat Islam berpuasa untuk mengendalikan nafsu, di luar puasa wajib di bulan Ramadan.
Sesungguhnya makanan dan minuman juga dibutuhkan untuk membangun kejayaan rohani. Tapi makanan dan minuman yang dibutuhkan untuk dimensi ini hanyalah secukupnya.
Dan inilah salah satu hikmah yang ada di balik ibadah puasa, memaksa manusia makan dan minum secara cukup saja tanpa melebihi kebutuhan yang ada.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, semangat membangun kembali kesejatian diri menjadi kebutuhan yang sangat mendesak. Sikap pamer harta kekayaan seakan menjadi kebiasaan dan kepuasan “si kaya”di tengah derita tak bertepi kaum miskin.
Sikap pamer harta ini tak hanya dilakukan oleh sebagian mereka yang berprofesi sebagai penghibur ataupun artis, melainkan belakangan juga dilakukan oleh sebagian pejabat negara maupun keluarganya.
Selama harta itu didapatkan secara halal dan legal, tentu seseorang berhak untuk menggunakan harta kekayaan yang ada. Tapi memamerkan kekayaannya kepada publik bisa dipahami sebagai sikap yang tidak berempati terhadap nasib rakyat yang kebanyakan belum sejahtera. Dan, pada tahap tertentu, sikap pamer harta bisa memperuncing pelbagai macam problem sosial akibat ketimpangan yang masih sangat tinggi.
Pada waktu-waktu lampau, sikap pamer harta tentu juga sudah sering terjadi. Tapi pada era media sosial yang sedemikian cepat, bebas, dan terbuka seperti sekarang, sikap pamer harta dengan mudah menyebar ke seluruh lapisan masyarakat sekaligus memperlihatkan jurang pemisah antara si kaya dengan si miskin.
Persoalannya adalah, sikap pamer harta bisa memunculkan atau bahkan melanggengkan semangat memperkaya diri dengan menghalalkan segala macam cara sehingga mendapatkan harta secara haram dianggap sebagai hal biasa. Pada tahap tertentu, inilah yang bisa menjelaskan persoalan korupsi yang semakin ke sini justru semakin menjadi-jadi.
Dalam kondisi seperti di atas, kehidupan berbangsa dan bernegara sungguh berada dalam bahaya. Bahkan bisa dikatakan hal ini lebih berbahaya daripada ancaman dan kekuatan penjajah sekalipun. Sebab bahaya yang ada sekarang datang dari masyarakat itu sendiri, bahkan abdi, penggawa, dan para pemimpin negeri ini.
Di sinilah pentingnya semangat kesejatian diri yang berada di balik ibadah puasa sebagaimana telah disampaikan di atas. Melalui semangat kesejatian diri, puasa bisa membangun pribadi-pribadi yang jujur, tahu batasan, tahu diri, dan tidak menghambakan diri pada hawa nafsu dan kekuasaan.
Hanya di tangan pribadi-pribadi yang tangguh dan unggul seperti inilah kehidupan berbangsa dan bernegara akan berjalan sesuai dengan cita-cita para pendiri, yaitu menjadi negeri yang berketuhanan, berperikemanusiaan, menjaga persatuan, menjalankan permusyawaratan, dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Lihat Juga: Program Berkah Ramadan, BPKH Salurkan Dana Hasil Investasi untuk Umat hingga Rp12,6 Miliar
(bmm)