Pakar Hukum Pidana UI Nilai Penetapan Tersangka Tom Lembong Prematur
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pakar hukum pidana Universitas Indonesia (UI) Chairul Huda menilai, penetapan Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong sebagai tersangka kasus dugaan korupsi impor gula periode 2015-2016 sangat prematur.
Menurut Chairul, dasar hukum penetapan tersangka masih belum kuat, mengingat belum ada bukti kerugian negara yang jelas dan terverifikasi. Apalagi klaim kerugian negara baru disampaikan pada 9 November 2024, sedangkan penetapan tersangka sejak 29 Oktober di tahun yang sama.
Chairul menyoroti pernyataan pihak Kejaksaan Agung (Kejagung) yang mengklaim kerugian negara mencapai Rp400 miliar. Angka tersebut dipandang terlalu spekulatif dan belum menunjukkan kerugian yang pasti.
“Ketika menetapkan orang sebagai tersangka itu, bukti, termasuk alat bukti kan dengan kerugian keuangan negara,” ujar Doktor Ilmu Hukum Pidana ini, Kamis (21/11/2024)
“Nah, jadi kalau ekspos kerugian keuangan negara itu lebih kemudian daripada menetapkan tersangka, berarti penetapan tersangkanya kemarin prematur, kan gitu,” paparnya.
Chairul juga menyayangkan, adanya penahanan Tom Lembong. Berdasarkan Pasal 21 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) harus didahului dengan bukti permulaan yang cukup.
“Menetapkan Tom Lembong sebagai tersangka, sementara belum ada alat buktinya. Bahkan melakukan penahanan, padahal penahanan menurut Pasal 21 KUHP harus cukup (bukti). Jadi sekali lagi, tergambar lah kalau memang eksposnya baru-baru kemarin ini tentang ada kerugian keuangan negara, penetapan tersangkanya prematur adalah seperti itu,” sambungnya.
Sikap Kejagung yang menetapkan Tom Lembong sebagai tersangka korupsi impor gula periode 2015-2016 dinilai sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Hal ini mengacu pada sejumlah ketentuan yang menyatakan bahwa penetapan tersangka harus berdasarkan bukti.
Menurut Chairul, dasar hukum penetapan tersangka masih belum kuat, mengingat belum ada bukti kerugian negara yang jelas dan terverifikasi. Apalagi klaim kerugian negara baru disampaikan pada 9 November 2024, sedangkan penetapan tersangka sejak 29 Oktober di tahun yang sama.
Chairul menyoroti pernyataan pihak Kejaksaan Agung (Kejagung) yang mengklaim kerugian negara mencapai Rp400 miliar. Angka tersebut dipandang terlalu spekulatif dan belum menunjukkan kerugian yang pasti.
“Ketika menetapkan orang sebagai tersangka itu, bukti, termasuk alat bukti kan dengan kerugian keuangan negara,” ujar Doktor Ilmu Hukum Pidana ini, Kamis (21/11/2024)
“Nah, jadi kalau ekspos kerugian keuangan negara itu lebih kemudian daripada menetapkan tersangka, berarti penetapan tersangkanya kemarin prematur, kan gitu,” paparnya.
Baca Juga
Chairul juga menyayangkan, adanya penahanan Tom Lembong. Berdasarkan Pasal 21 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) harus didahului dengan bukti permulaan yang cukup.
“Menetapkan Tom Lembong sebagai tersangka, sementara belum ada alat buktinya. Bahkan melakukan penahanan, padahal penahanan menurut Pasal 21 KUHP harus cukup (bukti). Jadi sekali lagi, tergambar lah kalau memang eksposnya baru-baru kemarin ini tentang ada kerugian keuangan negara, penetapan tersangkanya prematur adalah seperti itu,” sambungnya.
Sikap Kejagung yang menetapkan Tom Lembong sebagai tersangka korupsi impor gula periode 2015-2016 dinilai sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Hal ini mengacu pada sejumlah ketentuan yang menyatakan bahwa penetapan tersangka harus berdasarkan bukti.