Partai Garuda Nilai Kebebasan Berpendapat Dikebiri Melalui Revisi UU Pemilu
loading...
A
A
A
JAKARTA - Partai Garuda ikut menanggapi wacana kenaikan ambang batas parlemen atau Parliamentary Threshold menjadi 7% di revisi Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu). Indonesia dinilai sedang berjalan mundur, kembali ke politik masa lalu, dimana saluran kebebasan berpendapat dikebiri melalui UU Pemilu yang saat ini sedang dipersiapkan secara sepihak oleh DPR RI.
Sekjen DPP Partai Garuda, Abdullah Mansuri mengatakan Indonesia berada dalam situasi ‘menyempitnya ruang-ruang demokrasi’. Situasi yang berlawanan dengan semangat Gerakan Reformasi, 22 tahun yang silam. (Baca juga: Perludem Anggap Presidential Threshold Tak Relevan dengan Pemilu Serentak)
"Menyempitnya ruang-ruang demokrasi tersebut ditandai dengan Rezim Parliamentary Threshold yang keblinger dan melupakan sejarah," ujarnya dalam keterangan yang diterima SINDOnews, Rabu (10/6/2020).
Dia menuturkan Indonesia pernah hidup dalam kondisi kebebasan berpendapat yang memprihatinkan. Saluran politik dibatasi hanya kepada tiga partai politik saja.
"Kebuntuan politik tersebut menjadi salah satu faktor utama meletusnya gerakan perubahan sosial dan tumbangnya pemerintahan Orde Baru yang sudah memimpin negeri ini selama 32 tahun," tegasnya.
Abdullah melanjutkan menyempitnya ruang-ruang demokrasi ditandai dengan upaya membunuh politik generasi muda. Menurutnya, politik kebaruan sudah melekat pada diri kaum muda.
"Mereka selalu tampil dengan gagasan-gagasan baru dan tokoh-tokoh baru. Kaum muda selalu hadir dengan keberanian menyampaikan kritik-kritiknya yang tajam. RUU Pemilu sesungguhnya sedang berupaya secara sadar untuk membungkam saluran politik kaum muda melalui partai-partai politik baru," jelasnya. (Baca juga: Parliamentary Threshold Naik, Diprediksi Tak Lebih 3 Parpol Duduk di Parlemen)
Terakhir, Abdullah menambahkan dengan dinaikannya Parliamentary Threshold menjadi 7-10% melalui revisi UU Pemilu berpotensi mengabaikan puluhan juta suara pemilih. "Pada pemilu sebelumnya, kita mendapatkan data bahwa jutaan suara pemilih hangus dan tidak dapat dikonversi menjadi kursi di Parlemen," pungkasnya.
Sekjen DPP Partai Garuda, Abdullah Mansuri mengatakan Indonesia berada dalam situasi ‘menyempitnya ruang-ruang demokrasi’. Situasi yang berlawanan dengan semangat Gerakan Reformasi, 22 tahun yang silam. (Baca juga: Perludem Anggap Presidential Threshold Tak Relevan dengan Pemilu Serentak)
"Menyempitnya ruang-ruang demokrasi tersebut ditandai dengan Rezim Parliamentary Threshold yang keblinger dan melupakan sejarah," ujarnya dalam keterangan yang diterima SINDOnews, Rabu (10/6/2020).
Dia menuturkan Indonesia pernah hidup dalam kondisi kebebasan berpendapat yang memprihatinkan. Saluran politik dibatasi hanya kepada tiga partai politik saja.
"Kebuntuan politik tersebut menjadi salah satu faktor utama meletusnya gerakan perubahan sosial dan tumbangnya pemerintahan Orde Baru yang sudah memimpin negeri ini selama 32 tahun," tegasnya.
Abdullah melanjutkan menyempitnya ruang-ruang demokrasi ditandai dengan upaya membunuh politik generasi muda. Menurutnya, politik kebaruan sudah melekat pada diri kaum muda.
"Mereka selalu tampil dengan gagasan-gagasan baru dan tokoh-tokoh baru. Kaum muda selalu hadir dengan keberanian menyampaikan kritik-kritiknya yang tajam. RUU Pemilu sesungguhnya sedang berupaya secara sadar untuk membungkam saluran politik kaum muda melalui partai-partai politik baru," jelasnya. (Baca juga: Parliamentary Threshold Naik, Diprediksi Tak Lebih 3 Parpol Duduk di Parlemen)
Terakhir, Abdullah menambahkan dengan dinaikannya Parliamentary Threshold menjadi 7-10% melalui revisi UU Pemilu berpotensi mengabaikan puluhan juta suara pemilih. "Pada pemilu sebelumnya, kita mendapatkan data bahwa jutaan suara pemilih hangus dan tidak dapat dikonversi menjadi kursi di Parlemen," pungkasnya.
(kri)