Parliamentary Threshold Naik, Diprediksi Tak Lebih 3 Parpol Duduk di Parlemen
loading...
A
A
A
JAKARTA - Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti menyatakan wacana kenaikan ambang batas parlemen ( Parliamentary Threshold ) tak hanya dikeluhkan oleh partai politik kecil dan menengah atau partai yang gagal lolos ke Senayan melainkan oleh organisasi pemantau pemilu.
"Jelas kenaikan PT ini menuju desain pengekalan oligarki partai. Dan sekarang menuju oligarki antar partai. Skenario ini dibuat secara sistematik. Dengan begitu, jika tak dirunut maka skenario ini tak akan terlihat dengan jelas," ujar Ray saat dihubungi SINDOnews, Rabu (10/6/2020). (Baca juga: Dokter Reisa Sarankan Ganti Masker Setelah Empat Jam Pemakaian)
Padahal menurut Ray, sejak dari undang-undang, pendirian partai politik, skenario 'pengentalan' oligarki partai ini sudah jelas tercipta. Hal ini dimulai dari syarat pendirian parpol yang dibedakan dengan sarat keikutsertaan
Padahal menurut Ray, sejak dari undang-undang, pendirian partai politik, skenario 'pengentalan' oligarki partai ini sudah jelas tercipta. Hal ini dimulai dari syarat pendirian parpol yang dibedakan dengan sarat keikutsertaan partai politik dalam pemilu.
Keberadaan 100% partai di seluruh provinsi dengan 75% berada di kabupaten/kota dari seluruh Indonesia menunjukkan ketakutan partai lama akan munculnya kekuatan baru sebagai pesaing.
Kemudian, lanjut Ray, daerah pemilhan dibuat dengan jumlah kursi yang menguntungkan partai-partai lama. Menurutnya, skenario 3-8 kursi per dapil akan berimplikasi pada perolehan kursi untuk partai-partai besar.
Ujungnya ada pada persyaratan Parliamentary Threshold ini. Jika pilihannya Parliamentary Threshold sampai 7% misalnya, kemungkinan besar partai politik di Parlemen tidak akan lebih dari 3 partai politik.
"Strategi ini sebenarnya karena parpol-parpol lama yang terlanjur besar takut kehilangan suara dan beralihnya pemilih ke parpol baru," tutur dia.
Lebih lanjut Ray menambahkan, fenomena PSI dan partai yang tak lolos ke DPR lainnya jelas membuat partai besar agak khawatir nasib suara mereka di masa depan. Tanpa prestasi dan kepedulian pada aspirasi publik, tak mustahil mereka akan ditinggalkan pemilih. (Baca juga: Perludem Anggap Presidential Threshold Tak Relevan dengan Pemilu Serentak)
"Dan sebelum itu terjadi, maka dihadanglah kekuatan baru, dan pada saat yang sama mereka tetap bisa eksis tanpa saingan berarti," tandas mantan Aktivis 98 asal UIN Jakarta ini.
"Jelas kenaikan PT ini menuju desain pengekalan oligarki partai. Dan sekarang menuju oligarki antar partai. Skenario ini dibuat secara sistematik. Dengan begitu, jika tak dirunut maka skenario ini tak akan terlihat dengan jelas," ujar Ray saat dihubungi SINDOnews, Rabu (10/6/2020). (Baca juga: Dokter Reisa Sarankan Ganti Masker Setelah Empat Jam Pemakaian)
Padahal menurut Ray, sejak dari undang-undang, pendirian partai politik, skenario 'pengentalan' oligarki partai ini sudah jelas tercipta. Hal ini dimulai dari syarat pendirian parpol yang dibedakan dengan sarat keikutsertaan
Padahal menurut Ray, sejak dari undang-undang, pendirian partai politik, skenario 'pengentalan' oligarki partai ini sudah jelas tercipta. Hal ini dimulai dari syarat pendirian parpol yang dibedakan dengan sarat keikutsertaan partai politik dalam pemilu.
Keberadaan 100% partai di seluruh provinsi dengan 75% berada di kabupaten/kota dari seluruh Indonesia menunjukkan ketakutan partai lama akan munculnya kekuatan baru sebagai pesaing.
Kemudian, lanjut Ray, daerah pemilhan dibuat dengan jumlah kursi yang menguntungkan partai-partai lama. Menurutnya, skenario 3-8 kursi per dapil akan berimplikasi pada perolehan kursi untuk partai-partai besar.
Ujungnya ada pada persyaratan Parliamentary Threshold ini. Jika pilihannya Parliamentary Threshold sampai 7% misalnya, kemungkinan besar partai politik di Parlemen tidak akan lebih dari 3 partai politik.
"Strategi ini sebenarnya karena parpol-parpol lama yang terlanjur besar takut kehilangan suara dan beralihnya pemilih ke parpol baru," tutur dia.
Lebih lanjut Ray menambahkan, fenomena PSI dan partai yang tak lolos ke DPR lainnya jelas membuat partai besar agak khawatir nasib suara mereka di masa depan. Tanpa prestasi dan kepedulian pada aspirasi publik, tak mustahil mereka akan ditinggalkan pemilih. (Baca juga: Perludem Anggap Presidential Threshold Tak Relevan dengan Pemilu Serentak)
"Dan sebelum itu terjadi, maka dihadanglah kekuatan baru, dan pada saat yang sama mereka tetap bisa eksis tanpa saingan berarti," tandas mantan Aktivis 98 asal UIN Jakarta ini.
(kri)