Soal Polemik Wadah Organisasi Advokat, Peradi Bahas Sistem Single Bar di Negara Maju
loading...
A
A
A
Otto juga menjelaskan, awal mula dirumuskannya Pasal 30 UU Advokat agar dalam menjalankan tugas yang mulia ini mereka bisa diawasi sehingga harus menjadi anggota organisasi advokat. “Banyak sekarang terjadi kalau advokat melanggar kode etik dipecat pindah ke tempat lain, lalu dipecat dan pindah lagi. Kemudian dia bilang saya bukan member dari organisasi apapun, bisa dibayangkan? Kemana nanti pencari keadilan mengadu? Bisa kebal hukum dia nanti,” tegasnya.
Dia menegaskan, alasan terus berjuang agar organisasi advokat tetap single bar karena bukan untuk kepentingan para advokat semata, tetapi bagi para pencari keadilan. Ia pun menyatakan, telah bertemu dengan sejumlah pimpinan organisasi advokat di luar negeri dan membahas hal ini, ternyata permasalah single atau multi bar sudah ada sejak lama. Namun dia mengaku bingung mengapa hal ini baru dipermasalahkan di Indonesia.
“Jadi single bar itu keharusan. Jika anda ingin merusak pencari keadilan anda berjuang untuk diri anda sendiri, anda tidak berjuang untuk masyarakat. Jangan karena terpecah itu jadi alasan untuk multi bar, harus berjuang bagi kepentingan pencari keadilan,” pungkasnya.
Webinar yang dimoderatori Indah Puspitarini Ketua Bidang Kerja Sama Internasional DPC PERADI Jakarta Barat ini membahas perbandingan di tiga yurisdiksi di luar Indonesia: Amerika Serikat (fokus di negara bagian California), Australia, dan Belanda. Para pembicara menyampaikan bagaimana masing-masing negara mengatur persyaratan pendidikan hukum untuk calon advokat.
Termasuk persyaratan dan prosedur penerimaan advokat, peraturan spesialisasi, praktik hukum dan apakah di negara - negara tersebut menganut sistem multi bar associations atau single bar association serta bagaimana organisasi advokat mengatur hal-hal yang terkait dengan penegakan kode etik dan peningkatan kualitas advokat di negara masing-masing.
Dia menegaskan, alasan terus berjuang agar organisasi advokat tetap single bar karena bukan untuk kepentingan para advokat semata, tetapi bagi para pencari keadilan. Ia pun menyatakan, telah bertemu dengan sejumlah pimpinan organisasi advokat di luar negeri dan membahas hal ini, ternyata permasalah single atau multi bar sudah ada sejak lama. Namun dia mengaku bingung mengapa hal ini baru dipermasalahkan di Indonesia.
“Jadi single bar itu keharusan. Jika anda ingin merusak pencari keadilan anda berjuang untuk diri anda sendiri, anda tidak berjuang untuk masyarakat. Jangan karena terpecah itu jadi alasan untuk multi bar, harus berjuang bagi kepentingan pencari keadilan,” pungkasnya.
Webinar yang dimoderatori Indah Puspitarini Ketua Bidang Kerja Sama Internasional DPC PERADI Jakarta Barat ini membahas perbandingan di tiga yurisdiksi di luar Indonesia: Amerika Serikat (fokus di negara bagian California), Australia, dan Belanda. Para pembicara menyampaikan bagaimana masing-masing negara mengatur persyaratan pendidikan hukum untuk calon advokat.
Termasuk persyaratan dan prosedur penerimaan advokat, peraturan spesialisasi, praktik hukum dan apakah di negara - negara tersebut menganut sistem multi bar associations atau single bar association serta bagaimana organisasi advokat mengatur hal-hal yang terkait dengan penegakan kode etik dan peningkatan kualitas advokat di negara masing-masing.
(cip)