Soal Polemik Wadah Organisasi Advokat, Peradi Bahas Sistem Single Bar di Negara Maju
loading...
A
A
A
JAKARTA - Wadah bagi profesi advokat hingga kini masih memicu polemik. Sebagian advokat menilai sistem single bar merupakan wadah tunggal yang terbaik bagi penegak hukum, sedangkan yang lainnya memilih sistem multi bar.
Terkait perdebatan itu, DPC Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Jakarta Barat menggelar seminar daring bertajuk “An International Comparison of Bar Entry Requirements and Conflicts Handling within Three Jurisdictions: California (USA), Australia dan the Netherlands” pada Sabtu (30/10/2021).
Seminar tersebut membahas soal organisasi advokat single bar atau multi bar yang hangat diperdebatkan di dunia advokat. Apalagi Mahkamah Agung (MA) beberapa tahun lalu mengeluarkan Surat Keputusan Ketua MA Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015 yang intinya Pengadilan Tinggi dapat mengambil sumpah advokat dari organisasi manapun.
Ketua DPC Peradi Jakarta Barat Suhendra Asido Hutabarat mengatakan, webinar digelar sebagai wujud komitmen DPC dalam mendukung visi-misi Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Peradi di bawah kepemimpinan Otto Hasibuan.
“(Peradi) sebagai organisasi yang lahir dari Undang-undang Advokat berkomitmen untuk menjalankan amanah UU Advokat, khususnya dalam hal meningkatkan kualitas advokat di Tanah Air, yang memang sejalan dengan komitmen Otto bersama Peradi," terang Asido.
Asido menambahkan, webinar menjadi sangat penting untuk mendapatkan informasi perbandingan mengenai advokat. Di Indonesia keberadaan advokat telah diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat. Menurut dia, advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas, dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan di mana kemajuan suatu negara tentunya tidak dapat dilepaskan dari pembangunan hukum nasional di negara tersebut.
“Peraturan hukum dan para penegak hukum yang baik dan berkualitas dalam hal ini profesi advokat sebagai salah satu penegak hukum adalah profesi yang mulia dan terhormat (officium nobile),” tuturnya.
Sementara itu, Ketua Umum DPN Peradi Otto Hasibuan sebagai keynote speaker menjelaskan, sejumlah hal yang menjadi alasan mengapa single bar merupakan sistem terbaik untuk organisasi advokat. Pertama menjaga kualitas dari profesionalitas para advokat itu sendiri. Menurut Otto dengan sistem single bar maka ada standardisasi dari para advokat ketika beracara nanti dan membela para klien. “Sistem multi bar yang ada sekarang ini menimbulkan persaingan dari para organisasi advokat untuk merekrut calon advokat, salah satunya dengan mengadakan PKPA,” kata Otto
Sayangnya, tambah dia, ada perbedaan standardisasi PKPA dari sejumlah organisasi advokat yang dimaksud. Misalnya, sambungnya, di organisasi A dengan nilai 5 maka dia sudah bisa lulus menjadi advokat, sementara untuk organisasi B para peserta diharuskan mendapat nilai 7 untuk lulus ujian. “Karena seorang advokat harus punya kualifikasi yang tinggi punya pengetahuan yang baik agar melayani klien yang baik dan tidak ditelantarkan, jika kualitas advokat buruk akan merugikan pencari keadilan, tanpa ada standardisasi maka tidak akan terjaga mutu advokat itu kita ada organisasi advokat untuk mengontrol advokat. Itu alasan pertama kenapa single bar untuk menentukan standarisasi advokat yang baik,” papar Otto.
Alasan kedua yaitu dalam aspek pengawasan. Ada kewajiban dari setiap advokat untuk menjadi anggota dari organisasi advokat untuk menjalankan profesinya, alasannya karena bisa diawasi apabila ada pelanggaran kode etik. Menurut Otto hal ini menjadikan advokat bisa dikontrol dan tidak menjadi liar karena diawasi oleh Dewan Kehormatan organisasi.
Terkait perdebatan itu, DPC Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Jakarta Barat menggelar seminar daring bertajuk “An International Comparison of Bar Entry Requirements and Conflicts Handling within Three Jurisdictions: California (USA), Australia dan the Netherlands” pada Sabtu (30/10/2021).
Seminar tersebut membahas soal organisasi advokat single bar atau multi bar yang hangat diperdebatkan di dunia advokat. Apalagi Mahkamah Agung (MA) beberapa tahun lalu mengeluarkan Surat Keputusan Ketua MA Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015 yang intinya Pengadilan Tinggi dapat mengambil sumpah advokat dari organisasi manapun.
Ketua DPC Peradi Jakarta Barat Suhendra Asido Hutabarat mengatakan, webinar digelar sebagai wujud komitmen DPC dalam mendukung visi-misi Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Peradi di bawah kepemimpinan Otto Hasibuan.
“(Peradi) sebagai organisasi yang lahir dari Undang-undang Advokat berkomitmen untuk menjalankan amanah UU Advokat, khususnya dalam hal meningkatkan kualitas advokat di Tanah Air, yang memang sejalan dengan komitmen Otto bersama Peradi," terang Asido.
Asido menambahkan, webinar menjadi sangat penting untuk mendapatkan informasi perbandingan mengenai advokat. Di Indonesia keberadaan advokat telah diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat. Menurut dia, advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas, dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan di mana kemajuan suatu negara tentunya tidak dapat dilepaskan dari pembangunan hukum nasional di negara tersebut.
“Peraturan hukum dan para penegak hukum yang baik dan berkualitas dalam hal ini profesi advokat sebagai salah satu penegak hukum adalah profesi yang mulia dan terhormat (officium nobile),” tuturnya.
Sementara itu, Ketua Umum DPN Peradi Otto Hasibuan sebagai keynote speaker menjelaskan, sejumlah hal yang menjadi alasan mengapa single bar merupakan sistem terbaik untuk organisasi advokat. Pertama menjaga kualitas dari profesionalitas para advokat itu sendiri. Menurut Otto dengan sistem single bar maka ada standardisasi dari para advokat ketika beracara nanti dan membela para klien. “Sistem multi bar yang ada sekarang ini menimbulkan persaingan dari para organisasi advokat untuk merekrut calon advokat, salah satunya dengan mengadakan PKPA,” kata Otto
Sayangnya, tambah dia, ada perbedaan standardisasi PKPA dari sejumlah organisasi advokat yang dimaksud. Misalnya, sambungnya, di organisasi A dengan nilai 5 maka dia sudah bisa lulus menjadi advokat, sementara untuk organisasi B para peserta diharuskan mendapat nilai 7 untuk lulus ujian. “Karena seorang advokat harus punya kualifikasi yang tinggi punya pengetahuan yang baik agar melayani klien yang baik dan tidak ditelantarkan, jika kualitas advokat buruk akan merugikan pencari keadilan, tanpa ada standardisasi maka tidak akan terjaga mutu advokat itu kita ada organisasi advokat untuk mengontrol advokat. Itu alasan pertama kenapa single bar untuk menentukan standarisasi advokat yang baik,” papar Otto.
Alasan kedua yaitu dalam aspek pengawasan. Ada kewajiban dari setiap advokat untuk menjadi anggota dari organisasi advokat untuk menjalankan profesinya, alasannya karena bisa diawasi apabila ada pelanggaran kode etik. Menurut Otto hal ini menjadikan advokat bisa dikontrol dan tidak menjadi liar karena diawasi oleh Dewan Kehormatan organisasi.