Mampukah UU Ciptaker Dorong Inovasi Farmasi?

Rabu, 11 November 2020 - 05:25 WIB
loading...
A A A
Secara historis, Indonesia kesulitan membangun budaya inovasi dalam negeri. Menurut WIPO, pada 2018 permohonan paten dalam negeri Indonesia 1.000 kali lebih kecil dibandingkan dengan China dan 200 kali lebih kecil dari AS. Bahkan, Singapura yang mungil menerima lebih banyak permohonan paten dari penduduknya dibandingkan Indonesia. Loyonya inovasi ini sebagian besar disebabkan oleh belanja litbang yang sangat sedikit di Indonesia, yaitu kira-kira 0,2% dari PDB dibandingkan dengan di atas 2% di China, Amerika Serikat, dan Singapura. Hebatnya, belanja litbang Singapura 125% dari Indonesia dan sekitar seperlima dari jumlah ini digunakan untuk litbang ilmu kedokteran dan kesehatan, menjadikannya pusat penelitian farmasi yang ternama di dunia.

Perlu juga diingat bahwa ekosistem inovasi yang kuat membutuhkan partisipasi bisnis yang signifikan. Di negara teknologi maju, rata-rata belanja litbangnya lebih dari 50% berasal dari bisnis. Sementara di Indonesia, angka ini hanya 8%. Meskipun belanja litbang BUMN di masa mendatang tentu akan meningkatkan proporsi ini, masih belum jelas apakah penugasan yang notabene tanpa risiko ini akan menciptakan dorongan berinovasi yang sama seperti perusahaan swasta yang harus berinovasi demi kelangsungan bisnisnya.

Regulasi lain, untungnya, akan lebih efektif mendorong inovasi bisnis dibandingkan UU Cipta Kerja. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) baru saja mengeluarkan PMK Nomor 153 Tahun 2020 tentang Super Deductible Tax untuk beberapa kegiatan litbang. Perusahaan dapat mengklaim sampai 300% biaya litbang sebagai pengurangan pajak- 75%-nya terkait dengan paten. Insentif ini akan sangat membantu menyegarkan kembali lanskap litbang Indonesia. Penerapan UU Cipta Kerja dan Super Deductible Tax yang efektif seharusnya bisa meningkatkan permohonan paten yang masuk ke negara ini.

Meski masa depan inovasi di Indonesia terlihat menggembirakan, masih ada tantangan regulasi sektoral di industri farmasi yang berada di luar jangkauan UU Cipta Kerja. Misalnya, Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1010 Tahun 2008 yang mewajibkan semua obat yang terdaftar di Indonesia diproduksi di dalam negeri. Baru-baru ini pun ada Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 16 Tahun 2020 yang menetapkan penghitungan kandungan lokal untuk produk farmasi. Semua pembatasan ini tampaknya tidak belajar dari pengalaman bahwa minimnya investasi farmasi multinasional berdampak negatif terhadap inovasi di industri ini. Selain itu, mereka bertentangan dengan semangat keterbukaan UU Cipta Kerja yang lebih tinggi hierarkinya dan oleh karena itu perlu ditinjau dan disesuaikan kembali.

Sejalan dengan upaya Indonesia untuk membangun budaya inovasi di bawah bayang-bayang Covid-19, diperbaharuinya skema perlindungan HKI dalam UU Cipta Kerja merupakan langkah yang tepat. Walaupun mengandalkan BUMN untuk inovasi adalah strategi yang belum terbukti efektivitasnya, skema pengurangan pajak super untuk litbang akan disambut baik oleh perusahaan farmasi dalam negeri maupun asing. Namun, langkah reformasi kini harus menjangkau regulasi lain yang masih menghalangi realisasi penuh potensi inovasi farmasi Indonesia dalam persiapan menghadapi krisis kesehatan lainnya di masa depan.
(bmm)
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0817 seconds (0.1#10.140)