Mampukah UU Ciptaker Dorong Inovasi Farmasi?
loading...
A
A
A
Andree Surianta
Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Ph.D. Candidate Australian National University (ANU)
DARI sekian banyak kerentanan yang dikuak pandemi Covid-19 di Indonesia, kurangnya kapasitas industri produk kesehatan mungkin yang paling memprihatinkan. Di awal pandemi, isu tentang kekurangan alat pelindung diri (APD) dan perangkat medis banyak diberitakan. Gangguan pasokan bahan baku di China juga menimbulkan kekhawatiran atas ketersediaan obat dalam menghadapi krisis kesehatan ini. Terlepas dari keterbatasan tersebut, patut dipuji bahwa Pemerintah Indonesia telah mengambil peran aktif dalam beberapa upaya pengembangan vaksin Covid-19.
Data Property Rights Alliance menunjukkan bahwa Indonesia telah berperan penting dalam perjuangan melawan pandemi ini dengan menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang menjadi tuan rumah program Uji Coba Solidaritas WHO untuk perawatan Covid-19. Tak kalah penting adalah kemitraan China-Indonesia dalam uji klinis fase III yang melibatkan lebih dari 1.600 sukarelawan untuk menguji vaksin yang dikembangkan oleh Sinovac Biotech. Uji coba ini dilakukan di Indonesia oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) farmasi, Bio Farma, yang berencana memproduksi 40 juta dosis setiap tahun setelah vaksin ini diizinkan untuk digunakan manusia.
Namun, seiring dengan kabar baik ini, perdebatan tentang transfer teknologi mulai bermunculan. Menteri BUMN Erick Tohir menegaskan bahwa Bio Farma bukan sekadar “penjahit vaksin”. Komentar ini sepertinya ditujukan kepada keprihatinan mendalam atas kemarau inovasi yang telah lama melanda Indonesia. Di masa lalu, Pemerintah Indonesia berusaha mengatasi kekurangan ini dengan mengundang perusahaan asing berinvestasi di Indonesia sambil mensyaratkan transfer teknologi. Namun, mengingat bahwa teknologi sarat hak kekayaan intelektual (HKI), pemaksaan seperti ini malah membuat Indonesia menjadi tidak menarik bagi bisnis yang produknya padat HKI, terutama farmasi. Undang-Undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) yang baru-baru ini ditandatangani kelihatannya menyadari masalah ini.
Sejak disusun pada awal 2020, UU ini ditujukan untuk menghilangkan hambatan regulasi yang menghalangi penanaman modal asing atau foreign direct investment (FDI) ke Indonesia. Menariknya, regulasi yang berfokus pada FDI ini juga menyentuh UU Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (UU Paten 2016) di antara berbagai UU yang direvisi. Sekali lagi, ini mencerminkan keyakinan bahwa perusahaan multinasional asing memiliki HKI penting yang dibawa serta ketika berinvestasi di negara ini yang akan berkontribusi dalam membangun kapasitas inovasi Indonesia.
Hal ini terlihat cukup jelas di sektor farmasi, di mana kebijakan industri farmasi yang prolokal selama lebih dari satu dekade telah berhasil membantu produsen dalam negeri mendominasi pasar, tetapi malah mengorbankan inovasi. Produsen dalam negeri menguasai 95% pangsa pasar, tetapi kebanyakan berfokus pada obat-obatan generik yang murah dan sudah habis patennya. Obat-obatan inovatif yang patennya masih berlaku biasanya dipasok oleh perusahaan farmasi multinasional yang kegiatannya sangat dibatasi di sini. Karena obat-obatan inovatif ini merupakan hasil dari proses penelitian dan pengembangan (litbang) yang panjang dan sangat mahal, perusahaan farmasi multinasional sangat bergantung pada rezim perlindungan HKI yang kuat dan skala ekonomi yang masif untuk mengembalikan investasi mereka. Oleh karena itu, setiap upaya untuk menarik FDI ke sektor ini harus memperhatikan kedua dinamika industri tersebut.
Bagi perusahaan farmasi, pasal 20 ayat 1 UU Paten 2016 adalah penghalang terbesar. Pasal ini mewajibkan pemegang paten Indonesia untuk memproduksi produknya di dalam negeri dan jika tidak dilakukan dapat menyebabkan pembatalan paten atau kewajiban lisensi ke pihak lain. Tentu saja peraturan ini bertabrakan dengan kedua dinamika industri di atas. Pertama-tama, pasal ini melemahkan perlindungan HKI karena pemegang paten asing berisiko kehilangan patennya jika diajukan di Indonesia. Faktanya, data World Intellectual Property Organization (WIPO) menunjukkan bahwa Indonesia menerima lebih sedikit permohonan paten nonresiden (pihak asing) pada 2017-2018, setelah UU Paten 2016 diterbitkan.
Berikutnya, perusahaan farmasi multinasional kemungkinan besar sudah memiliki pabrik besar di tempat lain. Keharusan membangun pabrik yang baru, jika tidak perlu, hanya akan membengkakkan struktur biaya mereka. Sia-sianya skala ekonomi yang sudah dibangun dan risiko kehilangan HKI membuat perusahaan-perusahaan ini malah tidak melirik Indonesia, sebagaimana terlihat pada penurunan FDI sektor farmasi di sini sejak 2017. Lebih buruk daripada kehilangan FDI adalah kenyataan bahwa konsumen Indonesia kehilangan obat-obatan temuan terbaru yang seharusnya lebih manjur. Kegagalan dalam memahami dinamika tersebut telah menghasilkan kebijakan yang menghalangi inovasi farmasi masuk ke Indonesia.
Hal ini membuat revisi UU Paten 2016 yang tertuang dalam UU Cipta Kerja menjadi sangat menonjol untuk sektor ini. Pasal 20 ayat 1 yang telah direvisi masih menetapkan bahwa paten wajib dilaksanakan di Indonesia, namun sekarang ini artinya adalah produksi, lisensi, atau impor produk yang dipatenkan. Pengakuan impor sebagai pelaksanaan paten yang sah perlu disambut baik karena menambah alternatif selain investasi atau lisensi paksa yang sedikit banyak gagal mendongkrak FDI dan inovasi farmasi sejauh ini. Konsumen Indonesia juga diuntungkan karena obat-obatan berpaten yang sebelumnya tidak ada di pasaran, sekarang diizinkan masuk.
Selain pendekatan baru dalam perlindungan HKI, UU Cipta Kerja juga memuat ketentuan baru tentang dukungan riset dan inovasi. Ini dilakukan melalui perubahan UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN yang menugaskan penelitian dan inovasi kepada perusahaan pelat merah. BUMN yang ditugaskan dapat mencari mitra untuk berkolaborasi dan juga berhak mendapatkan kompensasi dari Pemerintah Indonesia jika penugasan ini ternyata “secara finansial tidak fisibel”. Model ini sebenarnya sudah dimulai dalam kolaborasi Bio Farma-Sinovac Biotech yang sedang berjalan. Namun demikian, menugaskan litbang kepada BUMN adalah pendekatan yang baru di sini dan oleh karena itu masih belum jelas apakah model ini benar-benar dapat mengatalisasi lanskap inovasi di Indonesia.
Secara historis, Indonesia kesulitan membangun budaya inovasi dalam negeri. Menurut WIPO, pada 2018 permohonan paten dalam negeri Indonesia 1.000 kali lebih kecil dibandingkan dengan China dan 200 kali lebih kecil dari AS. Bahkan, Singapura yang mungil menerima lebih banyak permohonan paten dari penduduknya dibandingkan Indonesia. Loyonya inovasi ini sebagian besar disebabkan oleh belanja litbang yang sangat sedikit di Indonesia, yaitu kira-kira 0,2% dari PDB dibandingkan dengan di atas 2% di China, Amerika Serikat, dan Singapura. Hebatnya, belanja litbang Singapura 125% dari Indonesia dan sekitar seperlima dari jumlah ini digunakan untuk litbang ilmu kedokteran dan kesehatan, menjadikannya pusat penelitian farmasi yang ternama di dunia.
Perlu juga diingat bahwa ekosistem inovasi yang kuat membutuhkan partisipasi bisnis yang signifikan. Di negara teknologi maju, rata-rata belanja litbangnya lebih dari 50% berasal dari bisnis. Sementara di Indonesia, angka ini hanya 8%. Meskipun belanja litbang BUMN di masa mendatang tentu akan meningkatkan proporsi ini, masih belum jelas apakah penugasan yang notabene tanpa risiko ini akan menciptakan dorongan berinovasi yang sama seperti perusahaan swasta yang harus berinovasi demi kelangsungan bisnisnya.
Regulasi lain, untungnya, akan lebih efektif mendorong inovasi bisnis dibandingkan UU Cipta Kerja. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) baru saja mengeluarkan PMK Nomor 153 Tahun 2020 tentang Super Deductible Tax untuk beberapa kegiatan litbang. Perusahaan dapat mengklaim sampai 300% biaya litbang sebagai pengurangan pajak- 75%-nya terkait dengan paten. Insentif ini akan sangat membantu menyegarkan kembali lanskap litbang Indonesia. Penerapan UU Cipta Kerja dan Super Deductible Tax yang efektif seharusnya bisa meningkatkan permohonan paten yang masuk ke negara ini.
Meski masa depan inovasi di Indonesia terlihat menggembirakan, masih ada tantangan regulasi sektoral di industri farmasi yang berada di luar jangkauan UU Cipta Kerja. Misalnya, Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1010 Tahun 2008 yang mewajibkan semua obat yang terdaftar di Indonesia diproduksi di dalam negeri. Baru-baru ini pun ada Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 16 Tahun 2020 yang menetapkan penghitungan kandungan lokal untuk produk farmasi. Semua pembatasan ini tampaknya tidak belajar dari pengalaman bahwa minimnya investasi farmasi multinasional berdampak negatif terhadap inovasi di industri ini. Selain itu, mereka bertentangan dengan semangat keterbukaan UU Cipta Kerja yang lebih tinggi hierarkinya dan oleh karena itu perlu ditinjau dan disesuaikan kembali.
Sejalan dengan upaya Indonesia untuk membangun budaya inovasi di bawah bayang-bayang Covid-19, diperbaharuinya skema perlindungan HKI dalam UU Cipta Kerja merupakan langkah yang tepat. Walaupun mengandalkan BUMN untuk inovasi adalah strategi yang belum terbukti efektivitasnya, skema pengurangan pajak super untuk litbang akan disambut baik oleh perusahaan farmasi dalam negeri maupun asing. Namun, langkah reformasi kini harus menjangkau regulasi lain yang masih menghalangi realisasi penuh potensi inovasi farmasi Indonesia dalam persiapan menghadapi krisis kesehatan lainnya di masa depan.
Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Ph.D. Candidate Australian National University (ANU)
DARI sekian banyak kerentanan yang dikuak pandemi Covid-19 di Indonesia, kurangnya kapasitas industri produk kesehatan mungkin yang paling memprihatinkan. Di awal pandemi, isu tentang kekurangan alat pelindung diri (APD) dan perangkat medis banyak diberitakan. Gangguan pasokan bahan baku di China juga menimbulkan kekhawatiran atas ketersediaan obat dalam menghadapi krisis kesehatan ini. Terlepas dari keterbatasan tersebut, patut dipuji bahwa Pemerintah Indonesia telah mengambil peran aktif dalam beberapa upaya pengembangan vaksin Covid-19.
Data Property Rights Alliance menunjukkan bahwa Indonesia telah berperan penting dalam perjuangan melawan pandemi ini dengan menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang menjadi tuan rumah program Uji Coba Solidaritas WHO untuk perawatan Covid-19. Tak kalah penting adalah kemitraan China-Indonesia dalam uji klinis fase III yang melibatkan lebih dari 1.600 sukarelawan untuk menguji vaksin yang dikembangkan oleh Sinovac Biotech. Uji coba ini dilakukan di Indonesia oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) farmasi, Bio Farma, yang berencana memproduksi 40 juta dosis setiap tahun setelah vaksin ini diizinkan untuk digunakan manusia.
Namun, seiring dengan kabar baik ini, perdebatan tentang transfer teknologi mulai bermunculan. Menteri BUMN Erick Tohir menegaskan bahwa Bio Farma bukan sekadar “penjahit vaksin”. Komentar ini sepertinya ditujukan kepada keprihatinan mendalam atas kemarau inovasi yang telah lama melanda Indonesia. Di masa lalu, Pemerintah Indonesia berusaha mengatasi kekurangan ini dengan mengundang perusahaan asing berinvestasi di Indonesia sambil mensyaratkan transfer teknologi. Namun, mengingat bahwa teknologi sarat hak kekayaan intelektual (HKI), pemaksaan seperti ini malah membuat Indonesia menjadi tidak menarik bagi bisnis yang produknya padat HKI, terutama farmasi. Undang-Undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) yang baru-baru ini ditandatangani kelihatannya menyadari masalah ini.
Sejak disusun pada awal 2020, UU ini ditujukan untuk menghilangkan hambatan regulasi yang menghalangi penanaman modal asing atau foreign direct investment (FDI) ke Indonesia. Menariknya, regulasi yang berfokus pada FDI ini juga menyentuh UU Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (UU Paten 2016) di antara berbagai UU yang direvisi. Sekali lagi, ini mencerminkan keyakinan bahwa perusahaan multinasional asing memiliki HKI penting yang dibawa serta ketika berinvestasi di negara ini yang akan berkontribusi dalam membangun kapasitas inovasi Indonesia.
Hal ini terlihat cukup jelas di sektor farmasi, di mana kebijakan industri farmasi yang prolokal selama lebih dari satu dekade telah berhasil membantu produsen dalam negeri mendominasi pasar, tetapi malah mengorbankan inovasi. Produsen dalam negeri menguasai 95% pangsa pasar, tetapi kebanyakan berfokus pada obat-obatan generik yang murah dan sudah habis patennya. Obat-obatan inovatif yang patennya masih berlaku biasanya dipasok oleh perusahaan farmasi multinasional yang kegiatannya sangat dibatasi di sini. Karena obat-obatan inovatif ini merupakan hasil dari proses penelitian dan pengembangan (litbang) yang panjang dan sangat mahal, perusahaan farmasi multinasional sangat bergantung pada rezim perlindungan HKI yang kuat dan skala ekonomi yang masif untuk mengembalikan investasi mereka. Oleh karena itu, setiap upaya untuk menarik FDI ke sektor ini harus memperhatikan kedua dinamika industri tersebut.
Bagi perusahaan farmasi, pasal 20 ayat 1 UU Paten 2016 adalah penghalang terbesar. Pasal ini mewajibkan pemegang paten Indonesia untuk memproduksi produknya di dalam negeri dan jika tidak dilakukan dapat menyebabkan pembatalan paten atau kewajiban lisensi ke pihak lain. Tentu saja peraturan ini bertabrakan dengan kedua dinamika industri di atas. Pertama-tama, pasal ini melemahkan perlindungan HKI karena pemegang paten asing berisiko kehilangan patennya jika diajukan di Indonesia. Faktanya, data World Intellectual Property Organization (WIPO) menunjukkan bahwa Indonesia menerima lebih sedikit permohonan paten nonresiden (pihak asing) pada 2017-2018, setelah UU Paten 2016 diterbitkan.
Berikutnya, perusahaan farmasi multinasional kemungkinan besar sudah memiliki pabrik besar di tempat lain. Keharusan membangun pabrik yang baru, jika tidak perlu, hanya akan membengkakkan struktur biaya mereka. Sia-sianya skala ekonomi yang sudah dibangun dan risiko kehilangan HKI membuat perusahaan-perusahaan ini malah tidak melirik Indonesia, sebagaimana terlihat pada penurunan FDI sektor farmasi di sini sejak 2017. Lebih buruk daripada kehilangan FDI adalah kenyataan bahwa konsumen Indonesia kehilangan obat-obatan temuan terbaru yang seharusnya lebih manjur. Kegagalan dalam memahami dinamika tersebut telah menghasilkan kebijakan yang menghalangi inovasi farmasi masuk ke Indonesia.
Hal ini membuat revisi UU Paten 2016 yang tertuang dalam UU Cipta Kerja menjadi sangat menonjol untuk sektor ini. Pasal 20 ayat 1 yang telah direvisi masih menetapkan bahwa paten wajib dilaksanakan di Indonesia, namun sekarang ini artinya adalah produksi, lisensi, atau impor produk yang dipatenkan. Pengakuan impor sebagai pelaksanaan paten yang sah perlu disambut baik karena menambah alternatif selain investasi atau lisensi paksa yang sedikit banyak gagal mendongkrak FDI dan inovasi farmasi sejauh ini. Konsumen Indonesia juga diuntungkan karena obat-obatan berpaten yang sebelumnya tidak ada di pasaran, sekarang diizinkan masuk.
Selain pendekatan baru dalam perlindungan HKI, UU Cipta Kerja juga memuat ketentuan baru tentang dukungan riset dan inovasi. Ini dilakukan melalui perubahan UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN yang menugaskan penelitian dan inovasi kepada perusahaan pelat merah. BUMN yang ditugaskan dapat mencari mitra untuk berkolaborasi dan juga berhak mendapatkan kompensasi dari Pemerintah Indonesia jika penugasan ini ternyata “secara finansial tidak fisibel”. Model ini sebenarnya sudah dimulai dalam kolaborasi Bio Farma-Sinovac Biotech yang sedang berjalan. Namun demikian, menugaskan litbang kepada BUMN adalah pendekatan yang baru di sini dan oleh karena itu masih belum jelas apakah model ini benar-benar dapat mengatalisasi lanskap inovasi di Indonesia.
Secara historis, Indonesia kesulitan membangun budaya inovasi dalam negeri. Menurut WIPO, pada 2018 permohonan paten dalam negeri Indonesia 1.000 kali lebih kecil dibandingkan dengan China dan 200 kali lebih kecil dari AS. Bahkan, Singapura yang mungil menerima lebih banyak permohonan paten dari penduduknya dibandingkan Indonesia. Loyonya inovasi ini sebagian besar disebabkan oleh belanja litbang yang sangat sedikit di Indonesia, yaitu kira-kira 0,2% dari PDB dibandingkan dengan di atas 2% di China, Amerika Serikat, dan Singapura. Hebatnya, belanja litbang Singapura 125% dari Indonesia dan sekitar seperlima dari jumlah ini digunakan untuk litbang ilmu kedokteran dan kesehatan, menjadikannya pusat penelitian farmasi yang ternama di dunia.
Perlu juga diingat bahwa ekosistem inovasi yang kuat membutuhkan partisipasi bisnis yang signifikan. Di negara teknologi maju, rata-rata belanja litbangnya lebih dari 50% berasal dari bisnis. Sementara di Indonesia, angka ini hanya 8%. Meskipun belanja litbang BUMN di masa mendatang tentu akan meningkatkan proporsi ini, masih belum jelas apakah penugasan yang notabene tanpa risiko ini akan menciptakan dorongan berinovasi yang sama seperti perusahaan swasta yang harus berinovasi demi kelangsungan bisnisnya.
Regulasi lain, untungnya, akan lebih efektif mendorong inovasi bisnis dibandingkan UU Cipta Kerja. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) baru saja mengeluarkan PMK Nomor 153 Tahun 2020 tentang Super Deductible Tax untuk beberapa kegiatan litbang. Perusahaan dapat mengklaim sampai 300% biaya litbang sebagai pengurangan pajak- 75%-nya terkait dengan paten. Insentif ini akan sangat membantu menyegarkan kembali lanskap litbang Indonesia. Penerapan UU Cipta Kerja dan Super Deductible Tax yang efektif seharusnya bisa meningkatkan permohonan paten yang masuk ke negara ini.
Meski masa depan inovasi di Indonesia terlihat menggembirakan, masih ada tantangan regulasi sektoral di industri farmasi yang berada di luar jangkauan UU Cipta Kerja. Misalnya, Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1010 Tahun 2008 yang mewajibkan semua obat yang terdaftar di Indonesia diproduksi di dalam negeri. Baru-baru ini pun ada Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 16 Tahun 2020 yang menetapkan penghitungan kandungan lokal untuk produk farmasi. Semua pembatasan ini tampaknya tidak belajar dari pengalaman bahwa minimnya investasi farmasi multinasional berdampak negatif terhadap inovasi di industri ini. Selain itu, mereka bertentangan dengan semangat keterbukaan UU Cipta Kerja yang lebih tinggi hierarkinya dan oleh karena itu perlu ditinjau dan disesuaikan kembali.
Sejalan dengan upaya Indonesia untuk membangun budaya inovasi di bawah bayang-bayang Covid-19, diperbaharuinya skema perlindungan HKI dalam UU Cipta Kerja merupakan langkah yang tepat. Walaupun mengandalkan BUMN untuk inovasi adalah strategi yang belum terbukti efektivitasnya, skema pengurangan pajak super untuk litbang akan disambut baik oleh perusahaan farmasi dalam negeri maupun asing. Namun, langkah reformasi kini harus menjangkau regulasi lain yang masih menghalangi realisasi penuh potensi inovasi farmasi Indonesia dalam persiapan menghadapi krisis kesehatan lainnya di masa depan.
(bmm)