Ekonomi Indonesia Masuk Zona Merah

Rabu, 28 Oktober 2020 - 06:15 WIB
loading...
Ekonomi Indonesia Masuk Zona Merah
Eddy Suprapto
A A A
Eddy Suprapto
Presidium Masyarakat Profesional untuk Demokrasi

SUDAH 10 bulan virus korona menjangkiti dunia, sejak dilaporkan pada akhir Januari 2020, virus ini telah menginfeksi 38 juta jiwa penduduk dunia dan telah menyebabkan kematian sekitar 1,1 juta jiwa. Data dari WHO memperlihatkan persebaran virus telah menyebar ke 180 negara. Per 14 Oktober 2020, ada empat negara yang kasus infeksi Covid-19 mencapai angka jutaan orang: AS (7,9 juta), Brasil (5,1 juta), India (7,2 juta), dan Rusia (1,3 juta). Keempatnya menyumbang sekitar 56,6% dari total kasus dunia.

Kondisi pandemi Covid-19 ini telah mengakibatkan berbagai dampak aspek kehidupan manusia. Salah satu yang berkaitan langsung adalah dampak ekonomi. Banyak negara di dunia telah memberlakukan pembatasan terhadap pelintas negara, sebagai salah satu tindakan pencegahan serta memutus mata rantai dari dunia luar, yang ujung-ujungnya berimbas pada turunnya aktivitas perekonomian global.

Dunia sedang berjuang dan saat ini dapat dikatakan sedang mengalami kontraksi yang berkepanjangan akibat pandemi Covid-19, terlebih dalam aspek ekonomi. Sebut saja dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi global hanya berada di kisaran minus (-) 5% sampai (-) 4% pada 2020, tercatat sebagai proyeksi terburuk dalam kurun waktu delapan dasawarsa terakhir. Sementara perkiraan ekonomi global hanya akan berbalik arah alias rebound secara parsial, kira-kira berada di kisaran plus (+) 3% sampai (+) 4% pada 2021.

Jika diperhatikan, krisis akibat Covid-19 ini memiliki perbedaan dengan dua krisis sebelumnya. Pertama, pada 1998 dan 2008 krisisnya hanya berdimensi wilayah. Pada 1998 berdampak pada wilayah Asia, sedangkan 2008 berdampak pada wilayah trans-Atlantik sehingga wilayah dunia yang saat itu tidak terkena krisis masih bisa berperan sebagai “penyeimbang pertumbuhan global”. Krisis yang terjadi pada 2020 ini, dunia sudah tidak memiliki lagi elemen penyeimbang karena seluruh dunia, tanpa terkecuali, terkena krisis.

Kedua, krisis yang terjadi pada 1998 dan 2008 bersifat finansial dan ekonomi, dan hanya berbias ke arah kejutan permintaan. Sementara 2020 ini krisis dipicu oleh faktor kesehatan yang kemudian menyebabkan terhentinya mobilitas manusia dan guncangan ekonomi sebagai akibat kejutan di sisi penawaran dan permintaan secara simultan.

Bagaimana dengan perekonomian Indonesia? Beberapa waktu lalu Menteri Keuangan Sri Mulyani telah menyatakan bahwa Indonesia akan masuk dalam kondisi resesi ekonomi. Hal ini bukan tanpa alasan, prediksi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 dan 2021 memperlihatkan bahwa lemahnya momentum ekonomi akan masih terus berlanjut sampai dengan kuartal I/2021. Artinya, pertumbuhan ekonomi yang negatif masih akan berlanjut pada kuartal keempat 2020, perkiraannya (-) 2,3% year on year, dan untuk pertumbuhan ekonomi akumulatif 2020 dengan demikian mencapai (-) 2,0% year on year. Bergesernya garis trend-growth Indonesia sebagai akibat dari resesi yang berkepanjangan akan membuat momentum pemulihan ekonomi pada 2021 menjadi terbatas (alias partial rebound) sehingga diperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2021 hanya akan mencapai 3,8% year on year.

Di sisi lain, belanja APBN yang dibiayai oleh defisit tahun ini lebih mengutamakan untuk program pemulihan dan dukungan subsidi konsumsi rumah tangga, bukan belanja modal. Belanja pembangunan atau modal yang ada pun mengalami pemotongan tajam sejalan dengan merosotnya penerimaan pajak dan rendahnya aktivitas ekonomi dan bisnis. Realisasi defisit APBN sampai Agustus 2020 hanya mencapai 3% dari produk domestik bruto (PDB). Artinya, realisasi defisit fiskal (APBN) pada 2020 diperkirakan hanya akan mencapai 5% dari PDB, alias jauh di bawah target defisit 6,3% dari PDB yang disampaikan dalam Perppu revisi APBN. Sri Mulyani memaparkan, defisit anggaran hingga akhir September 2020 mencapai Rp682,1 triliun. Angka tersebut setara dengan 4,16% terhadap PDB.

Persoalan muncul karena rendahnya penyaluran belanja inilah yang antara lain menyebabkan tetap rendahnya penyerapan saat lelang obligasi, yang pada gilirannya telah menyebabkan turunnya animo investor domestik di pasar obligasi.

Dinamika kebijakan fiskal, masih berputar dengan mekanisme Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA). Dari praktik dan teori keuangan negara, sebuah proses atau mekanisme DIPA seyogianya mampu menyeimbangkan kepentingan dari empat elemen penting, yakni government financial accountability, implementasi dari strategi dan kebijakan ekonomi, keputusan politik, dan pengelolaan treasury, yaitu proses “funding and refunding of liquidity into the economic system”.

Masalah terbesar dalam konstruksi DIPA berasal dari tidak terciptanya “keseimbangan” dari keempat elemen yang dimaksud di atas. Padahal pelaku pasar keuangan menaruh ekspektasi yang sangat tinggi akan bisa dimulainya penyaluran dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) pada awal Juli 2020, yaitu saat dimulainya kuartal ketiga. Namun realitanya. SKB2 (antara Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan terkait bagi-beban untuk pembiayaan “public goods”) baru mencapai kesepakatan pada Juli, sedangkan penyaluran dana PEN baru dimulai pada awal September, yaitu saat hampir berakhirnya kuartal ketiga. Akibatnya, dengan besaran stok utang terhadap PDB (debt-to-GDP ratio) yang mencapai kisaran 41% pada 2021, maka beban pembayaran bunga di dalam APBN diperkirakan akan mencapai sekitar 12,5% dari total APBN. Hal ini membuat komposisi APBN pasca-2020 menjadi sangat concentrated, karena sekitar 85% dari anggaran belanja akan didominasi oleh hanya empat komponen, yakni total belanja pendidikan, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus, gaji pegawai (ASN/TNI/Polri), dan cicilan utang.

Mengais Untung Kala Pandemi
Meski kondisi ekonomi di atas kertas jauh dari harapan, beberapa sektor bisnis mengalami dinamika yang positif. Sebut saja seperti bisnis packaging berbahan plastik, e-commerce, penjualan peralatan DIY (do it yourself), gadgets/gaming console, telekomunikasi, bisnis pengantaran (delivery), alat kesehatan, digital banking, utilities, cyber security, digital marketing, frozen food, dan bisnis sejenis lainnya mengalami peningkatan volume bisnis yang sangat tajam. Artinya, masih ada sektor yang masih dapat membuat roda perputaran ekonomi di Indonesia bergerak, meskipun laju perputarannya tidak dapat mengimbangi bisnis lain yang mulai berguguran.

Angka-angka ini membuktikan, pada semester II/2020 bisnis packaging berbahan plastik mengalami kenaikan hingga 3,5%. Beberapa perusahaan packaging berbahan plastik kuartal III/2020 membukukan laba bersih hingga Rp400,99 miliar atau naik 3,5% secara tahunan.

Bisnis e-commerce sebenarnya sudah mampu menarik banyak konsumen di Indonesia bahkan sebelum terjadinya wabah Covid-19. E-commerce salah satu pendorong utama Indonesia sebagai negara dengan nilai ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara mencapai USD40 miliar pada 2019. Gross merchandise value (GMV) atau nilai total transaksi e-commerce terus meningkat. Pada 2019, GMV e-commerce Indonesia mencapai USD21 miliar atau Rp294 triliun. “Diperkirakan pada 2025 mencapai USD82 miliar atau Rp1,1 kuadriliun," tuturnya.

Pabrikan penjualan video game secara digital pada kuartal III/2020 melonjak sampai dengan 36% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Penjualan tersebut dilakukan melalui layanan PlayStation Plus yang jumlah pelanggannya mendekati 45 juta.

Industri telekomunikasi juga mengalami peningkatan pendapatan di kuartal III/2020. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) melaporkan adanya kenaikan traffic internet sebesar 20% selama pandemi seolah membawa berkah bagi PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel).

Operator telekomunikasi terbesar di Indonesia ini menghasilkan Rp58,24 triliun atau 43% dari seluruh pendapatan induknya, yakni PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) sepanjang 2019.

Sektor yang paling berjaya yakni produsen alat kesehatan. Asosiasi Produsen Alat Kesehatan (Aspaki) mencatat pasar alat kesehatan di Indonesia sangat menjanjikan dengan nilai mencapai 2,2 juta dolar AS per tahun. Namun, Indonesia masih bergantung pada produk impor, padahal di Indonesia, terdapat di sekitar 3.000 rumah sakit, 9.000 puskesmas, dan klinik swasta.

Industri digital banking pun tidak kalah atraktifnya. Menurut data Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), penjualan atau transaksi daring naik 320% pada kuartal III/2020. Transaksi melalui layanan digital bank juga tumbuh pesat. Transaksi layanan digital perbankan di bank BUMN naik 31% dengan nilai transaksi mencapai Rp482 triliun.

Nah, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana beberapa bisnis tersebut tetap bertahan dan industri lainnya dapat mengikuti jejak langkah dalam kondisi seperti ini? Bagaimana pemerintah memberikan insentif-insentif kepada para pelaku industri agar dapat kreatif sehingga memungkinkan terjadinya bisnis dan lapangan pekerjaan dapat tercipta sehingga ekonomi Indonesia dapat bertumbuh? Mungkinkah melalui Omnibus Law Cipta Kerja?
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2174 seconds (0.1#10.140)