Ekonomi Indonesia Masuk Zona Merah

Rabu, 28 Oktober 2020 - 06:15 WIB
loading...
A A A
Masalah terbesar dalam konstruksi DIPA berasal dari tidak terciptanya “keseimbangan” dari keempat elemen yang dimaksud di atas. Padahal pelaku pasar keuangan menaruh ekspektasi yang sangat tinggi akan bisa dimulainya penyaluran dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) pada awal Juli 2020, yaitu saat dimulainya kuartal ketiga. Namun realitanya. SKB2 (antara Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan terkait bagi-beban untuk pembiayaan “public goods”) baru mencapai kesepakatan pada Juli, sedangkan penyaluran dana PEN baru dimulai pada awal September, yaitu saat hampir berakhirnya kuartal ketiga. Akibatnya, dengan besaran stok utang terhadap PDB (debt-to-GDP ratio) yang mencapai kisaran 41% pada 2021, maka beban pembayaran bunga di dalam APBN diperkirakan akan mencapai sekitar 12,5% dari total APBN. Hal ini membuat komposisi APBN pasca-2020 menjadi sangat concentrated, karena sekitar 85% dari anggaran belanja akan didominasi oleh hanya empat komponen, yakni total belanja pendidikan, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus, gaji pegawai (ASN/TNI/Polri), dan cicilan utang.

Mengais Untung Kala Pandemi
Meski kondisi ekonomi di atas kertas jauh dari harapan, beberapa sektor bisnis mengalami dinamika yang positif. Sebut saja seperti bisnis packaging berbahan plastik, e-commerce, penjualan peralatan DIY (do it yourself), gadgets/gaming console, telekomunikasi, bisnis pengantaran (delivery), alat kesehatan, digital banking, utilities, cyber security, digital marketing, frozen food, dan bisnis sejenis lainnya mengalami peningkatan volume bisnis yang sangat tajam. Artinya, masih ada sektor yang masih dapat membuat roda perputaran ekonomi di Indonesia bergerak, meskipun laju perputarannya tidak dapat mengimbangi bisnis lain yang mulai berguguran.

Angka-angka ini membuktikan, pada semester II/2020 bisnis packaging berbahan plastik mengalami kenaikan hingga 3,5%. Beberapa perusahaan packaging berbahan plastik kuartal III/2020 membukukan laba bersih hingga Rp400,99 miliar atau naik 3,5% secara tahunan.

Bisnis e-commerce sebenarnya sudah mampu menarik banyak konsumen di Indonesia bahkan sebelum terjadinya wabah Covid-19. E-commerce salah satu pendorong utama Indonesia sebagai negara dengan nilai ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara mencapai USD40 miliar pada 2019. Gross merchandise value (GMV) atau nilai total transaksi e-commerce terus meningkat. Pada 2019, GMV e-commerce Indonesia mencapai USD21 miliar atau Rp294 triliun. “Diperkirakan pada 2025 mencapai USD82 miliar atau Rp1,1 kuadriliun," tuturnya.

Pabrikan penjualan video game secara digital pada kuartal III/2020 melonjak sampai dengan 36% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Penjualan tersebut dilakukan melalui layanan PlayStation Plus yang jumlah pelanggannya mendekati 45 juta.

Industri telekomunikasi juga mengalami peningkatan pendapatan di kuartal III/2020. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) melaporkan adanya kenaikan traffic internet sebesar 20% selama pandemi seolah membawa berkah bagi PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel).

Operator telekomunikasi terbesar di Indonesia ini menghasilkan Rp58,24 triliun atau 43% dari seluruh pendapatan induknya, yakni PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) sepanjang 2019.

Sektor yang paling berjaya yakni produsen alat kesehatan. Asosiasi Produsen Alat Kesehatan (Aspaki) mencatat pasar alat kesehatan di Indonesia sangat menjanjikan dengan nilai mencapai 2,2 juta dolar AS per tahun. Namun, Indonesia masih bergantung pada produk impor, padahal di Indonesia, terdapat di sekitar 3.000 rumah sakit, 9.000 puskesmas, dan klinik swasta.

Industri digital banking pun tidak kalah atraktifnya. Menurut data Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), penjualan atau transaksi daring naik 320% pada kuartal III/2020. Transaksi melalui layanan digital bank juga tumbuh pesat. Transaksi layanan digital perbankan di bank BUMN naik 31% dengan nilai transaksi mencapai Rp482 triliun.

Nah, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana beberapa bisnis tersebut tetap bertahan dan industri lainnya dapat mengikuti jejak langkah dalam kondisi seperti ini? Bagaimana pemerintah memberikan insentif-insentif kepada para pelaku industri agar dapat kreatif sehingga memungkinkan terjadinya bisnis dan lapangan pekerjaan dapat tercipta sehingga ekonomi Indonesia dapat bertumbuh? Mungkinkah melalui Omnibus Law Cipta Kerja?
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1949 seconds (0.1#10.140)