ASN Profetik dan Netralitas Birokrasi
loading...
A
A
A
Firna Novi Anggoro
Pemerhati Isu Hukum dan Kebijakan Publik, Bekerja di Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung
PELANGGARAN netralitas aparatur sipil negara (ASN) di Indonesia masih menjadi penyakit kambuhan yang muncul kala kontestasi elektoral digelar. Tidak sedikit ASN yang melarungkan dirinya pada politik dukung-mendukung di ajang pesta demokrasi Pilkada 2020.
Padahal, regulasi terkait pemilu, pilkada, dan manajemen ASN secara gamblang mewajibkan ASN untuk bersikap netral sekaligus memberi sanksi hukum bagi yang melanggarnya. Medio September 2020, lima kementerian/lembaga, yakni Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Badan Kepegawaian Negara (BKN), Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga telah menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang pedoman pengawasan netralitas ASN selama Pilkada 2020.
Hingga 30 September 2020 KASN mencatat sebanyak 694 ASN yang dilaporkan dan 492 ASN terbukti melanggar netralitas Pilkada 2020 sehingga direkomendasikan untuk dijatuhi hukuman. Pelanggaran didominasi oleh ASN yang memberi dukungan kepada salah satu pasangan calon di media sosial dan media massa. Ditemui juga ASN yang masih nekat menghadiri acara terkait kegiatan kampanye pasangan calon. Bahkan tidak segan-segan ASN menggunakan fasilitas dinas untuk kegiatan kampanye tersebut.
Temuan ini tentunya mengkhawatirkan, mengingat kasus yang terjadi di lapangan bisa saja melebihi jumlah kasus yang dilaporkan ke KASN karena tidak seluruh pelanggaran, masuk dalam laporan baik melalui pengawas pemilu ataupun dari manajemen kepegawaian.
Kondisi Dilematis
Momentum pilkada memang kerap membawa ASN berada dalam kondisi dilematis. Satu sisi, negara menerbitkan bermacam regulasi untuk memagari netralitas ASN dari praktik politisasi birokrasi. Sebab, jika birokrasi dikooptasi sebagai instrumen kekuasaan politik maka peran ASN sebagai abdi negara dan masyarakat (public servant) akan tereduksi dan bahkan berpotensi menimbulkan birokrasi yang korup.
Di sisi lain, kedudukan kepala daerah selaku Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) menjadikan ASN sulit bersikap netral. Tingginya biaya politik memaksa para kepala daerah petahana memainkan kewenangannya sebagai PPK untuk mengintervensi para ASN di bawahnya agar berkontribusi mendongkrak elektabilitas politik. Para ASN juga tersandera harus mengerahkan sumber daya yang melekat dalam jabatannya untuk mengamankan kepentingan politik kepala daerah. Jika bersikap netral atau berpihak pada paslon lain, siap-siap ancaman mutasi atau nonjob pun menanti.
Bagi ASN bermental oportunis, pilkada justru menjadi ajang mempertahankan jabatannya bahkan sebagai medan juang untuk memburu karier. Berbagai upaya dikerahkan untuk mengarahkan preferensi politik birokrasinya kepada sang kepala daerah petahana. Semua demi memenuhi hasrat kuasa dan jabatan.
Menilik sejarah perjalanan birokrasi di Indonesia, seperti yang dinyatakan Miftah Thoha (2011) bahwa netralitas birokrasi pemerintah dari pengaruh dan kekuatan partai politik belum pernah terwujud. Pada masa prakolonial birokrasi dibentuk oleh raja (abdi dalem) untuk melayani kebutuhan raja dan keluarga. Begitu pun pada era kolonial hingga era Reformasi, kemapanan pola hubungan patron-klien masih terus berlangsung sehingga kooptasi birokrasi terhadap kepentingan politik penguasa tidak dapat terhindarkan. Ketidaknetralan ASN memunculkan banyak mudharat. Tidak hanya mendestruksi kualitas legitimasi pilkada yang demokratis, tetapi juga mendistorsi tatanan birokrasi berbasis merit sistem. Semangat ASN untuk melayani masyarakat secara optimal membelot menjadi pelayan kepentingan politik kepala daerah. Pengangkatan dan promosi ASN yang akan menduduki jabatan strategis di birokrasi pun bertendensi pada politik balas jasa sang penguasa daerah ketimbang berdasarkan kompetensi dan profesionalisme kerja.
Visi Profetik
Konsolidasi pengawasan oleh penyelenggara pemilu bersama masyarakat disertai penegakan hukum serta eksekusi hukuman yang tegas menjadi jalan keluar untuk memberangus praktik birokrasi partisan. Namun, upaya tersebut belumlah cukup tanpa motivasi intrinsik ASN untuk bisa keluar dari kondisi dilematis di atas. Seorang ASN semestinya perlu membangun kesadaran profetiknya dalam bekerja. Kesadaran profetik menjadi kesadaran religius untuk memahami realitas dan meresponsnya secara solutif bagi permasalahan yang ada melalui beberapa tindakan konkret berdasarkan cita etik dan profetik tertentu. ASN sebagai manusia harus sepenuhnya sadar bahwa ASN mengemban tugas tidak hanya untuk atasan atau organisasinya, tetapi juga bertanggung jawab kepada Tuhannya. Melalui kesadaran profetik menjadikan ASN senantiasa ingat atas sumpah jabatan pada saat dirinya disumpah/dilantik serta konsekuensi yang harus dihadapi jika amanah tersebut dilanggar. Oleh karenanya, motivasi yang bersifat ketuhanan (ilahiah) sangat diperlukan bagi seorang ASN.
ASN yang bervisi profetik akan menjalankan tugasnya tidak untuk memuaskan libido kuasa atasan atau membabi buta menghalalkan segala cara mengejar jabatan untuk dirinya. Namun, ASN justru mengemban tugas mengampanyekan sifat jujur (shiddiq), profesional dan berkomitmen (amanah), menyampaikan pesan mendidik (tabligh), serta cerdas penuh kebijaksanaan (fathanah).
Meminjam gagasan Kuntowijoyo, ASN dalam menjalankan visi profetiknya harus menerjemahkan tiga perannya, yaitu melakukan pencerahan (humanisasi), pembebasan (liberasi) dan spiritualitas (trasendensi). Dengan demikian, ASN akan lebih resisten dari segala bentuk intimidasi praktik pragmatisme politik. Sebaliknya, ASN dapat berperan sebagai watch dog transendental yang siap menjaga keberlangsungan teologi anti-penyalahgunaan kekuasaan dan praktik korupsi.
Untuk memantik visi profetik ASN terlebih pada tahun politik, negara perlu mengoptimalkan peran penyuluh dari Kementerian Agama. Penyuluh agama harus turun gunung memainkan perannya sebagai tenaga edukatif, konsultatif, dan advokatif untuk meningkatkan kematangan beragama setiap ASN. Konsep-konsep kepemimpinan spiritual atau kepemimpinan profetik perlu dibangun dalam manajemen ASN. Dalam konteks organisasi publik, Bush (2010) menjelaskan kepemimpinan etika atau spiritual muncul akibat respons ketidakpuasan terhadap asumsi rasional-birokrasi yang dominan pada paradigma kekuasaan. Jadi, implementasi puncak etika religius dalam kehidupan ASN mampu memotivasi ASN lebih profesional dan bertanggung jawab dalam bekerja serta mampu menjadi kekuatan pembaru mendobrak keajegan praktik subordinasi politik kepada birokrasi.
Selain itu, ASN Profetik juga akan mengembalikan khitah ASN sebagai pelaksana kebijakan publik, pelayan publik dan perekat dan pemersatu bangsa sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 5/2014 tentang ASN.
Pemerhati Isu Hukum dan Kebijakan Publik, Bekerja di Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung
PELANGGARAN netralitas aparatur sipil negara (ASN) di Indonesia masih menjadi penyakit kambuhan yang muncul kala kontestasi elektoral digelar. Tidak sedikit ASN yang melarungkan dirinya pada politik dukung-mendukung di ajang pesta demokrasi Pilkada 2020.
Padahal, regulasi terkait pemilu, pilkada, dan manajemen ASN secara gamblang mewajibkan ASN untuk bersikap netral sekaligus memberi sanksi hukum bagi yang melanggarnya. Medio September 2020, lima kementerian/lembaga, yakni Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Badan Kepegawaian Negara (BKN), Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga telah menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang pedoman pengawasan netralitas ASN selama Pilkada 2020.
Hingga 30 September 2020 KASN mencatat sebanyak 694 ASN yang dilaporkan dan 492 ASN terbukti melanggar netralitas Pilkada 2020 sehingga direkomendasikan untuk dijatuhi hukuman. Pelanggaran didominasi oleh ASN yang memberi dukungan kepada salah satu pasangan calon di media sosial dan media massa. Ditemui juga ASN yang masih nekat menghadiri acara terkait kegiatan kampanye pasangan calon. Bahkan tidak segan-segan ASN menggunakan fasilitas dinas untuk kegiatan kampanye tersebut.
Temuan ini tentunya mengkhawatirkan, mengingat kasus yang terjadi di lapangan bisa saja melebihi jumlah kasus yang dilaporkan ke KASN karena tidak seluruh pelanggaran, masuk dalam laporan baik melalui pengawas pemilu ataupun dari manajemen kepegawaian.
Kondisi Dilematis
Momentum pilkada memang kerap membawa ASN berada dalam kondisi dilematis. Satu sisi, negara menerbitkan bermacam regulasi untuk memagari netralitas ASN dari praktik politisasi birokrasi. Sebab, jika birokrasi dikooptasi sebagai instrumen kekuasaan politik maka peran ASN sebagai abdi negara dan masyarakat (public servant) akan tereduksi dan bahkan berpotensi menimbulkan birokrasi yang korup.
Di sisi lain, kedudukan kepala daerah selaku Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) menjadikan ASN sulit bersikap netral. Tingginya biaya politik memaksa para kepala daerah petahana memainkan kewenangannya sebagai PPK untuk mengintervensi para ASN di bawahnya agar berkontribusi mendongkrak elektabilitas politik. Para ASN juga tersandera harus mengerahkan sumber daya yang melekat dalam jabatannya untuk mengamankan kepentingan politik kepala daerah. Jika bersikap netral atau berpihak pada paslon lain, siap-siap ancaman mutasi atau nonjob pun menanti.
Bagi ASN bermental oportunis, pilkada justru menjadi ajang mempertahankan jabatannya bahkan sebagai medan juang untuk memburu karier. Berbagai upaya dikerahkan untuk mengarahkan preferensi politik birokrasinya kepada sang kepala daerah petahana. Semua demi memenuhi hasrat kuasa dan jabatan.
Menilik sejarah perjalanan birokrasi di Indonesia, seperti yang dinyatakan Miftah Thoha (2011) bahwa netralitas birokrasi pemerintah dari pengaruh dan kekuatan partai politik belum pernah terwujud. Pada masa prakolonial birokrasi dibentuk oleh raja (abdi dalem) untuk melayani kebutuhan raja dan keluarga. Begitu pun pada era kolonial hingga era Reformasi, kemapanan pola hubungan patron-klien masih terus berlangsung sehingga kooptasi birokrasi terhadap kepentingan politik penguasa tidak dapat terhindarkan. Ketidaknetralan ASN memunculkan banyak mudharat. Tidak hanya mendestruksi kualitas legitimasi pilkada yang demokratis, tetapi juga mendistorsi tatanan birokrasi berbasis merit sistem. Semangat ASN untuk melayani masyarakat secara optimal membelot menjadi pelayan kepentingan politik kepala daerah. Pengangkatan dan promosi ASN yang akan menduduki jabatan strategis di birokrasi pun bertendensi pada politik balas jasa sang penguasa daerah ketimbang berdasarkan kompetensi dan profesionalisme kerja.
Visi Profetik
Konsolidasi pengawasan oleh penyelenggara pemilu bersama masyarakat disertai penegakan hukum serta eksekusi hukuman yang tegas menjadi jalan keluar untuk memberangus praktik birokrasi partisan. Namun, upaya tersebut belumlah cukup tanpa motivasi intrinsik ASN untuk bisa keluar dari kondisi dilematis di atas. Seorang ASN semestinya perlu membangun kesadaran profetiknya dalam bekerja. Kesadaran profetik menjadi kesadaran religius untuk memahami realitas dan meresponsnya secara solutif bagi permasalahan yang ada melalui beberapa tindakan konkret berdasarkan cita etik dan profetik tertentu. ASN sebagai manusia harus sepenuhnya sadar bahwa ASN mengemban tugas tidak hanya untuk atasan atau organisasinya, tetapi juga bertanggung jawab kepada Tuhannya. Melalui kesadaran profetik menjadikan ASN senantiasa ingat atas sumpah jabatan pada saat dirinya disumpah/dilantik serta konsekuensi yang harus dihadapi jika amanah tersebut dilanggar. Oleh karenanya, motivasi yang bersifat ketuhanan (ilahiah) sangat diperlukan bagi seorang ASN.
ASN yang bervisi profetik akan menjalankan tugasnya tidak untuk memuaskan libido kuasa atasan atau membabi buta menghalalkan segala cara mengejar jabatan untuk dirinya. Namun, ASN justru mengemban tugas mengampanyekan sifat jujur (shiddiq), profesional dan berkomitmen (amanah), menyampaikan pesan mendidik (tabligh), serta cerdas penuh kebijaksanaan (fathanah).
Meminjam gagasan Kuntowijoyo, ASN dalam menjalankan visi profetiknya harus menerjemahkan tiga perannya, yaitu melakukan pencerahan (humanisasi), pembebasan (liberasi) dan spiritualitas (trasendensi). Dengan demikian, ASN akan lebih resisten dari segala bentuk intimidasi praktik pragmatisme politik. Sebaliknya, ASN dapat berperan sebagai watch dog transendental yang siap menjaga keberlangsungan teologi anti-penyalahgunaan kekuasaan dan praktik korupsi.
Untuk memantik visi profetik ASN terlebih pada tahun politik, negara perlu mengoptimalkan peran penyuluh dari Kementerian Agama. Penyuluh agama harus turun gunung memainkan perannya sebagai tenaga edukatif, konsultatif, dan advokatif untuk meningkatkan kematangan beragama setiap ASN. Konsep-konsep kepemimpinan spiritual atau kepemimpinan profetik perlu dibangun dalam manajemen ASN. Dalam konteks organisasi publik, Bush (2010) menjelaskan kepemimpinan etika atau spiritual muncul akibat respons ketidakpuasan terhadap asumsi rasional-birokrasi yang dominan pada paradigma kekuasaan. Jadi, implementasi puncak etika religius dalam kehidupan ASN mampu memotivasi ASN lebih profesional dan bertanggung jawab dalam bekerja serta mampu menjadi kekuatan pembaru mendobrak keajegan praktik subordinasi politik kepada birokrasi.
Selain itu, ASN Profetik juga akan mengembalikan khitah ASN sebagai pelaksana kebijakan publik, pelayan publik dan perekat dan pemersatu bangsa sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 5/2014 tentang ASN.
(bmm)