Antisipasi Kebijakan Kampus Merdeka

Jum'at, 02 Oktober 2020 - 06:55 WIB
loading...
A A A
Dulu ketika saya mengambil kuliah di AS 1988-1991, ada mata kuliah yang mewajibkan mahasiswanya membaca satu buku tiap semester dan mahasiswa harus menulis resumenya. Suatu cara pembelajaran yang menarik karena mahasiswa berlatih untuk tekun membaca. Buku yang dibaca bukanlah buku teks yang berat, tetapi buku yang menunjang perkuliahan tersebut. Misalnya ketika mengambil mata kuliah Community Nutrition saya membaca buku kecil berjudul Diet for A Small Planet.

Kritik Prof Watson lainnya adalah skripsi atau tugas akhir mahasiswa S-1 di Indonesia perlu dikaji ulang. Mengapa? Di Inggris ternyata skripsi (disebut proyek) hanya dilaksanakan oleh sekitar 10% mahasiswa, yaitu mereka yang ingin berkarier sebagai dosen atau peneliti. Tiadanya skripsi akan mempercepat proses kelulusan karena di Indonesia mahasiswa sering kelamaan mengerjakan skripsi sehingga kelulusan tepat waktu (4 tahun) tidak terlaksana. Alasan lama menyusun skripsi karena faktor mahasiswa, faktor dosen, atau faktor ketersediaan laboratorium di kampus.

Kritik terakhir Prof Watson adalah kewajiban menulis artikel di jurnal ilmiah bagi mahasiswa S-2 dan S-3 di Indonesia. Konon kewajiban ini untuk mendongkrak peringkat universitas di World Class University (WCU). Ini keliru katanya, karena bukan jumlah yang dipentingkan, tapi mutu publikasi yang lebih utama dalam penilaian WCU.

Memublikasikan artikel di jurnal ilmiah prestisius level Q1-Q2 relatif sulit, mungkin lebih banyak mahasiswa pascasarjana yang akhirnya menulis publikasi ilmiah di jurnal level Q3-Q4. Pilihan menulis di jurnal level Q3-Q4 bisa karena terkait mutu tulisan, juga karena biaya publikasinya lebih murah dibandingkan Q1-Q2. Publikasi ilmiah mahasiswa pascsarjana harus diakui turut mengatrol nama dosen sebagai penulis kedua dan seterusnya. Di samping itu, mahasiswa S-3 kebanyakan berprofesi sebagai dosen atau peneliti dan oleh karenanya syarat publikasi ilmiah bagi mahasiswa pascasarjana hendaknya tetap dipertahankan.

Kembali pada wacana mengurangi beban SKS sarjana dari 144 menjadi 120 SKS, ini perlu digodok dan ditimbang plus-minusnya. Kalau di luar negeri mahasiswa bisa lulus 4 tahun dengan 120 SKS, mengapa kita harus 144 SKS dan akhirnya kelulusan mahasiswa menjadi molor? Adalah suatu pemborosan sumber daya dan sumber dana bila mahasiswa yang seharusnya kuliah 4 tahun, namun harus menjadi 4,5-5 tahun.

Saking beratnya beban SKS mahasiswa Indonesia, ada kalanya di suatu kampus pada semester tertentu nilai IPK mahasiswa justru turun karena setiap mata kuliah yang ditempuh pada semester tersebut mewajibkan ada praktikumnya. Mata kuliah yang bersifat teori dan praktikum dapat merupakan satu paket bila learning outcomes yang disusun memang mensyaratkan perlunya keterampilan praktik. Namun bila tidak, maka kuliah harusnya dapat dilaksanakan tanpa praktikum yang justru dianggap memberatkan mahasiswa.

Sejalan dengan Program Kampus Merdeka, kegiatan kuliah kerja nyata (KKN) ataupun magang adalah hal baik yang harus dilanjutkan dengan pemberian bobot SKS yang setara dengan beban kegiatannya. Dalam kegiatan-kegiatan tersebut mahasiswa KKN berada di desa atau magang di suatu industri selama dua bulan. Ini akan memberi pengalaman yang baik untuk menunjang pemahaman teoritis yang selama ini diperolehnya di kampus.

(bmm)
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1669 seconds (0.1#10.140)