Antisipasi Kebijakan Kampus Merdeka

Jum'at, 02 Oktober 2020 - 06:55 WIB
loading...
Antisipasi Kebijakan Kampus Merdeka
Ali Khomsan
A A A

Ali Khomsan

Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) IPB

KAMPUS Merdeka yang diusung Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim mencakup empat aspek perubahan penting. Implementasi Kampus Merdeka diharapkan dapat meningkatkan kualitas lulusan dan membuat sistem belajar-mengajar di kampus menjadi lebih nyaman.

Pertama, program re-akreditasi bersifat otomatis untuk seluruh peringkat dan bersifat sukarela bagi perguruan tinggi serta prodi yang sudah siap naik peringkat. Akreditasi yang sudah ditetapkan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) tetap berlaku selama 5 tahun, namun akan diperbaharui secara otomatis.

Sebagaimana diketahui bahwa penyiapan dokumen akreditasi merupakan pekerjaan yang banyak menyita waktu. Tim dosen dan tenaga administrasi yang diberi tugas harus bekerja ekstrakeras karena harus menelaah kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat selama lima tahun. Oleh sebab itu, bila pembaharuan akreditasi ini bersifat otomatis sungguh akan mengurangi beban dosen dan sivitas akademika di suatu prodi (program studi). Akreditasi prodi juga selalu melibatkan fakultas, dan ini menjadi beban bagi fakultas yang mempunyai prodi banyak.

Kedua, Kampus Merdeka memberikan hak kepada mahasiswa untuk mengambil mata kuliah di luar prodi dan melakukan perubahan definisi satuan kredit semester (SKS). Perguruan tinggi wajib memberikan hak bagi mahasiswa untuk boleh mengambil ataupun tidak SKS di luar kampusnya sebanyak dua semester atau setara dengan 40 SKS. Selain itu, mahasiswa juga dapat mengambil SKS di prodi lain di dalam kampusnya sebanyak satu semester.

Selama ini, amat sangat jarang mahasiswa yang mengambil mata kuliah di luar kampus, semisal mahasiswa UI mengambil mata kuliah di ITB, UGM, atau IPB atau sebaliknya. Beberapa mahasiswa ada yang mendaftar kegiatan student exchange di kampus luar negeri, namun mereka justru kehilangan masa belajar satu semester karena tidak diberlakukan penyetaraan SKS yang diambil ketika berada di luar negeri. Jadi, student exchange di luar negeri hanya menguntungkan dari aspek pengalaman, tetapi dipandang dari ketepatan waktu kuliah justru merugikan. Ini yang kemudian dikoreksi oleh konsep Kampus Merdeka.

Ketiga, perguruan tinggi negeri (PTN) dan swasta (PTS) diberi otonomi untuk melakukan pembukaan atau pendirian program studi baru. Otonomi diberikan jika PTN dan PTS tersebut sudah memiliki akreditasi A dan B, serta telah melakukan kerja sama dengan organisasi dan/atau universitas yang masuk dalam QS Top 100 World Universities. Terakhir, bagi PTN Badan Layanan Umum (BLU) dan satuan kerja (Satker) dapat menjadi PTN Badan Hukum (PTN BH).

Kebijakan Kampus Merdeka tentu membuat perguruan tinggi sibuk untuk menata ulang kurikulumnya. Mungkin diperlukan waktu 1-2 tahun untuk menyiapkan dan menyempurnakan kurikulum agar senapas dengan Kampus Merdeka. Mahasiswa S-1 di Indonesia selama ini harus mengambil 144 satuan kredit semester (SKS) hingga lulus sarjana. Sewaktu perguruan tinggi berada di bawah Kemenristekdikti (2018) ada wacana untuk mengurangi syarat lulus sarjana dari 144 SKS menjadi hanya 120 SKS. Konon di Inggris mahasiswa level sarjana juga hanya dibebani kuliah 120 SKS. Sayangnya ketika wacana ini belum diimplementasikan, perguruan tinggi kemudian berpindah di bawah Kemendikbud yang meluncurkan Program Kampus Merdeka.

Tulisan CW Watson, Profesor Emeritus University of Kent UK, berjudul Pendidikan Tinggi Indonesia dalam Masa Pancaroba mengkritisi banyak hal tentang proses belajar-mengajar di universitas di Indonesia. Antara lain, mahasiswa S-1 setiap semester harus mengambil 6 mata kuliah atau lebih untuk mengejar beban 144 SKS hingga lulus sarjana. Akibatnya, mahasiswa tidak bisa belajar secara mendalam, tetapi merasa cukup dengan hanya mempelajari materi kuliah yang diberikan dosen di kelas.

Dulu ketika saya mengambil kuliah di AS 1988-1991, ada mata kuliah yang mewajibkan mahasiswanya membaca satu buku tiap semester dan mahasiswa harus menulis resumenya. Suatu cara pembelajaran yang menarik karena mahasiswa berlatih untuk tekun membaca. Buku yang dibaca bukanlah buku teks yang berat, tetapi buku yang menunjang perkuliahan tersebut. Misalnya ketika mengambil mata kuliah Community Nutrition saya membaca buku kecil berjudul Diet for A Small Planet.

Kritik Prof Watson lainnya adalah skripsi atau tugas akhir mahasiswa S-1 di Indonesia perlu dikaji ulang. Mengapa? Di Inggris ternyata skripsi (disebut proyek) hanya dilaksanakan oleh sekitar 10% mahasiswa, yaitu mereka yang ingin berkarier sebagai dosen atau peneliti. Tiadanya skripsi akan mempercepat proses kelulusan karena di Indonesia mahasiswa sering kelamaan mengerjakan skripsi sehingga kelulusan tepat waktu (4 tahun) tidak terlaksana. Alasan lama menyusun skripsi karena faktor mahasiswa, faktor dosen, atau faktor ketersediaan laboratorium di kampus.

Kritik terakhir Prof Watson adalah kewajiban menulis artikel di jurnal ilmiah bagi mahasiswa S-2 dan S-3 di Indonesia. Konon kewajiban ini untuk mendongkrak peringkat universitas di World Class University (WCU). Ini keliru katanya, karena bukan jumlah yang dipentingkan, tapi mutu publikasi yang lebih utama dalam penilaian WCU.

Memublikasikan artikel di jurnal ilmiah prestisius level Q1-Q2 relatif sulit, mungkin lebih banyak mahasiswa pascasarjana yang akhirnya menulis publikasi ilmiah di jurnal level Q3-Q4. Pilihan menulis di jurnal level Q3-Q4 bisa karena terkait mutu tulisan, juga karena biaya publikasinya lebih murah dibandingkan Q1-Q2. Publikasi ilmiah mahasiswa pascsarjana harus diakui turut mengatrol nama dosen sebagai penulis kedua dan seterusnya. Di samping itu, mahasiswa S-3 kebanyakan berprofesi sebagai dosen atau peneliti dan oleh karenanya syarat publikasi ilmiah bagi mahasiswa pascasarjana hendaknya tetap dipertahankan.

Kembali pada wacana mengurangi beban SKS sarjana dari 144 menjadi 120 SKS, ini perlu digodok dan ditimbang plus-minusnya. Kalau di luar negeri mahasiswa bisa lulus 4 tahun dengan 120 SKS, mengapa kita harus 144 SKS dan akhirnya kelulusan mahasiswa menjadi molor? Adalah suatu pemborosan sumber daya dan sumber dana bila mahasiswa yang seharusnya kuliah 4 tahun, namun harus menjadi 4,5-5 tahun.

Saking beratnya beban SKS mahasiswa Indonesia, ada kalanya di suatu kampus pada semester tertentu nilai IPK mahasiswa justru turun karena setiap mata kuliah yang ditempuh pada semester tersebut mewajibkan ada praktikumnya. Mata kuliah yang bersifat teori dan praktikum dapat merupakan satu paket bila learning outcomes yang disusun memang mensyaratkan perlunya keterampilan praktik. Namun bila tidak, maka kuliah harusnya dapat dilaksanakan tanpa praktikum yang justru dianggap memberatkan mahasiswa.

Sejalan dengan Program Kampus Merdeka, kegiatan kuliah kerja nyata (KKN) ataupun magang adalah hal baik yang harus dilanjutkan dengan pemberian bobot SKS yang setara dengan beban kegiatannya. Dalam kegiatan-kegiatan tersebut mahasiswa KKN berada di desa atau magang di suatu industri selama dua bulan. Ini akan memberi pengalaman yang baik untuk menunjang pemahaman teoritis yang selama ini diperolehnya di kampus.

(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1372 seconds (0.1#10.140)