Era Pembuktian Unsur Merugikan Perekonomian Negara Dalam Delik Korupsi
loading...
A
A
A
Muh Asri Irwan, SH MH
Praktisi Hukum di Jakarta
PENULIS tertarik membahas topik ini didorong karena berdasarkan pengamatan dalam praktik penuntutan maupun persidangan terhadap pelaku tindak pidana korupsi, sangat minim ditemukan perkara korupsi yang diputus oleh pengadilan terbukti bersalah karena merugikan perekonomian negara. Yang lazim adalah putusan bersalah karena tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara. Kerugian negara pada tindak pidana korupsi pada umumnya hanya dimaknai sebagai kerugian keuangan negara saja sedangkan kerugian perekonomian negara seperti diabaikan.
Semenjak diberlakukannya UU Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terlihat bahwa redaksi unsur “Perekonomian negara” sudah terlegalisasi didalamnya. Hal ini dapat dilihat dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 yakni “dihukum karena tindak pidana korupsi ialah: (1) a. barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu badan, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.
Lalu kemudian terjadi pembaharuan hukum sehingga lahirlah UU Nomor 31 Tahun 1999 dan disusul lagi dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor. Meski terdapat pembaharuan beberapa kali tetapi tampak bahwa elemen “merugikan perekenomian negara” tidak terdegradasi dari rumusan pasal. Elemen tersebut tertuang dalam Pasal 2 dan Pasal 3 yang tetap menduetkan kerugian keuangan negara atau kerugian perekonomian negara.
Jadi seolah pasangan elemen ini adalah pasangan sejati dan abadi. Menurut pembentuk undang undang dalam penjelasannya menentukan bahwa keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apa pun yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:
a. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat negara baik di tingkat pusat maupun daerah dan
b. Berada dalam pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum ,dan perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.
Dari konteks tersebut di atas, maka perbuatan “merugikan” secara sederhana dapat disebutkan sebagai perbuatan yang mengakibatkan menjadi rugi atau menjadi berkurang sehingga unsur “merugikan keuangan negara” diartikan sebagai menjadi ruginya keuangan negara atau berkurangnya keuangan negara.
Perekonomian negara dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijaksanaan pemerintah baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan masyarakat. Perekonomian negara termasuk pula usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peranan pemerintah dalam perekonomian digolongkan empat kegiatan yakni alokasi sektor produksi serta barang dan jasa untuk pemenuhan kepuasan masyarakat, distribusi pendapatan/transfer penghasilan (income distribution), stabilisasi perekonomian melalui upaya penggabungan kebijakan moneter dan kebijakan fiskal dan lainnya, percepatan pertumbuhan ekonomi.
Dalam praktik peradilan memang relatif sulit untuk membuktikan unsur merugikan perekonomian negara. Sepanjang pengetahuan penulis, putusan terkait unsur merugikan perekonomian negara terdapat referensi sebagaimana pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1164K/Pid/1985 tanggal 31 Oktober 1986 dalam perkara Toni Gozal alias Go Tiong Kien dimana Majelis Hakim menyimpulkan bahwa perbuatan terdakwa yang membangun tanpa hak/tanpa izin yang berwajib di wilayah perairan milik negara sehingga akibat dari perbuatannya negara tidak dapat memanfaatkan dan mempergunakan sebagian wilayah perairan Ujung Pandang (saat ini Makassar) untuk kepentingan umum adalah perbuatan yang merugikan perekonomian negara. Adapun pertimbangan Hukum Mahkamah Agung a quo menyebutkan bahwa:
“perbuatan terdakwa tersebut adalah melawan hukum, karena ia membangun diatasnya tanpa hak/tanpa izin yang berwajib sebagai akibat dari perbuatannya tersebut sebagian dari wilayah perairan Pelabuhan Ujung Pandang tidak dapat digunakan lagi untuk kepentingan umum. Bahwa wilayah perairan tersebut adalah milik negara, sehingga penggunaan daripadanya oleh terdakwa jelas merugikan perekonomian negara”.
Pada awal tahun 2018, jaksa pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendakwa Nur Alam (NA), mantan Gubernur Sulawesi Tenggara yang telah melakukan penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Nikel kepada PT Anugrah Harisma Barakah (PT AHB) di Pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara. Dalam tuntutannya, Jaksa Penuntut Umum KPK mengakumulasi kerugian yang diderita oleh negara akibat perbuatan NA dengan total Rp4,2 triliun yang terdiri atas kerugian keuangan negara secara materiil yang telah dibuktikan dengan audit investigatif dari BPKP sebesar Rp1,5 triliun diakumulasi dengan kerugian non-materiil yaitu kerugian ekonomi lingkungan yang terdiri dari aspek ekologis, ekonomis, dan biaya rehabilitasi lingkungan dengan total Rp2,7 Triliun.
Beranjak dari kasus ini, seakan kita diingatkan bahwa unsur kerugian negara dalam tindak pidana korupsi tidak hanya sebatas kerugian keuangan saja, tetapi juga kerugian perekonomian negara yang pada kasus ini jaksa penuntut umum memasukkan perhitungan kerugian lingkungan bahkan hingga biaya pemulihan kerusakan tersebut. Penghitungan kerugian ekonomi lingkungan ini dilakukan oleh ahli kerusakan lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB). Mengingat dampak yang juga luar biasa dari kerugian perekonomian negara, penegak hukum haruslah mulai memaknai kerugian negara tidak sekedar sebagai kerugian keuangan negara saja tapi juga kerugian perekonomian negara sebagai perwujudan semangat negara untuk memberantas korupsi.
Praktisi Hukum di Jakarta
PENULIS tertarik membahas topik ini didorong karena berdasarkan pengamatan dalam praktik penuntutan maupun persidangan terhadap pelaku tindak pidana korupsi, sangat minim ditemukan perkara korupsi yang diputus oleh pengadilan terbukti bersalah karena merugikan perekonomian negara. Yang lazim adalah putusan bersalah karena tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara. Kerugian negara pada tindak pidana korupsi pada umumnya hanya dimaknai sebagai kerugian keuangan negara saja sedangkan kerugian perekonomian negara seperti diabaikan.
Semenjak diberlakukannya UU Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terlihat bahwa redaksi unsur “Perekonomian negara” sudah terlegalisasi didalamnya. Hal ini dapat dilihat dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 yakni “dihukum karena tindak pidana korupsi ialah: (1) a. barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu badan, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.
Lalu kemudian terjadi pembaharuan hukum sehingga lahirlah UU Nomor 31 Tahun 1999 dan disusul lagi dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor. Meski terdapat pembaharuan beberapa kali tetapi tampak bahwa elemen “merugikan perekenomian negara” tidak terdegradasi dari rumusan pasal. Elemen tersebut tertuang dalam Pasal 2 dan Pasal 3 yang tetap menduetkan kerugian keuangan negara atau kerugian perekonomian negara.
Jadi seolah pasangan elemen ini adalah pasangan sejati dan abadi. Menurut pembentuk undang undang dalam penjelasannya menentukan bahwa keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apa pun yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:
a. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat negara baik di tingkat pusat maupun daerah dan
b. Berada dalam pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum ,dan perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.
Dari konteks tersebut di atas, maka perbuatan “merugikan” secara sederhana dapat disebutkan sebagai perbuatan yang mengakibatkan menjadi rugi atau menjadi berkurang sehingga unsur “merugikan keuangan negara” diartikan sebagai menjadi ruginya keuangan negara atau berkurangnya keuangan negara.
Perekonomian negara dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijaksanaan pemerintah baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan masyarakat. Perekonomian negara termasuk pula usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peranan pemerintah dalam perekonomian digolongkan empat kegiatan yakni alokasi sektor produksi serta barang dan jasa untuk pemenuhan kepuasan masyarakat, distribusi pendapatan/transfer penghasilan (income distribution), stabilisasi perekonomian melalui upaya penggabungan kebijakan moneter dan kebijakan fiskal dan lainnya, percepatan pertumbuhan ekonomi.
Dalam praktik peradilan memang relatif sulit untuk membuktikan unsur merugikan perekonomian negara. Sepanjang pengetahuan penulis, putusan terkait unsur merugikan perekonomian negara terdapat referensi sebagaimana pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1164K/Pid/1985 tanggal 31 Oktober 1986 dalam perkara Toni Gozal alias Go Tiong Kien dimana Majelis Hakim menyimpulkan bahwa perbuatan terdakwa yang membangun tanpa hak/tanpa izin yang berwajib di wilayah perairan milik negara sehingga akibat dari perbuatannya negara tidak dapat memanfaatkan dan mempergunakan sebagian wilayah perairan Ujung Pandang (saat ini Makassar) untuk kepentingan umum adalah perbuatan yang merugikan perekonomian negara. Adapun pertimbangan Hukum Mahkamah Agung a quo menyebutkan bahwa:
“perbuatan terdakwa tersebut adalah melawan hukum, karena ia membangun diatasnya tanpa hak/tanpa izin yang berwajib sebagai akibat dari perbuatannya tersebut sebagian dari wilayah perairan Pelabuhan Ujung Pandang tidak dapat digunakan lagi untuk kepentingan umum. Bahwa wilayah perairan tersebut adalah milik negara, sehingga penggunaan daripadanya oleh terdakwa jelas merugikan perekonomian negara”.
Pada awal tahun 2018, jaksa pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendakwa Nur Alam (NA), mantan Gubernur Sulawesi Tenggara yang telah melakukan penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Nikel kepada PT Anugrah Harisma Barakah (PT AHB) di Pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara. Dalam tuntutannya, Jaksa Penuntut Umum KPK mengakumulasi kerugian yang diderita oleh negara akibat perbuatan NA dengan total Rp4,2 triliun yang terdiri atas kerugian keuangan negara secara materiil yang telah dibuktikan dengan audit investigatif dari BPKP sebesar Rp1,5 triliun diakumulasi dengan kerugian non-materiil yaitu kerugian ekonomi lingkungan yang terdiri dari aspek ekologis, ekonomis, dan biaya rehabilitasi lingkungan dengan total Rp2,7 Triliun.
Beranjak dari kasus ini, seakan kita diingatkan bahwa unsur kerugian negara dalam tindak pidana korupsi tidak hanya sebatas kerugian keuangan saja, tetapi juga kerugian perekonomian negara yang pada kasus ini jaksa penuntut umum memasukkan perhitungan kerugian lingkungan bahkan hingga biaya pemulihan kerusakan tersebut. Penghitungan kerugian ekonomi lingkungan ini dilakukan oleh ahli kerusakan lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB). Mengingat dampak yang juga luar biasa dari kerugian perekonomian negara, penegak hukum haruslah mulai memaknai kerugian negara tidak sekedar sebagai kerugian keuangan negara saja tapi juga kerugian perekonomian negara sebagai perwujudan semangat negara untuk memberantas korupsi.