Betulkah Fatwa Tidak Mengikat?

Kamis, 23 November 2023 - 20:26 WIB
loading...
Betulkah Fatwa Tidak Mengikat?
Foto: Istimewa
A A A
Anis Masykhur
Doktor Hukum Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Dosen Fak. Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

PENERBITAN Fatwa MUI No. 83 Tahun 2023 tentang Hukum Dukungan terhadap Pejuang Palestina menuai kontroversi di masyarakat. Point No 3 yang menyatakan bahwa "Mendukung agresi Israel terhadap Palestina atau pihak yang mendukung Israel baik langsung maupun tidak langsung hukumnya haram," dipahami secara beragam.

baca juga: Fatwa MUI tentang Boikot Produk Israel, Ini Tanggapan Buya Yahya

Namun demikian, penjelasan lisan pertama kali yang menyebutkan bahwa membeli produk yang berafiliasi dengan pendukung Israel berarti mendukung secara tidak langsung memiliki dampak yang serius.

Fatwa tersebut memancing polemik tajam di masyarakat, karena jika dijabarkan lebih detail, sebagian besar barang di sekitar masyarakat Indonesia adalah jelas-jelas berafiliasi. Ada yang mencoba "lari" dari fatwa tersebut dengan mengatakan bahwa fatwa itu bersifat tidak mengikat, boleh ditaati dan boleh pula tidak dilaksanakan.

Tulisan ini tidak bermaksud mempertajam perdebatan antara boleh tidaknya membeli produk yang berafiliasi, namun lebih pada pemosisian fatwa dalam hukum Islam. Penerbitan fatwa dari seorang atau kelompok ulama mujtahid harus dilakukan secara cermat dan hati-hati, karena ia akan menjadi dasar hukum dalam pelaksanaan ibadah seorang muslim.

Maka dikatakan jika seorang ulama “boros” dalam berfatwa, sekaligus menunjukkan kecerobohan dan kebodohan. Dalam sejarah produksi hukum Islam, pendapat para mujtahid selalu diawali dari sebuah fatwa dan kemudian dikompilasi para muridnya dan kemudian menjadi "ketetapan hukum" yang selanjutnya dijadikan landasan (jurisprudence) dalam pelaksanaan ibadah.

baca juga: MUI Keluarkan Fatwa Baru: Hukumnya Haram Dukung Agresi Israel ke Palestina

Sebagai contoh para ulama memfatwakan kewajiban melaksanakan salat dengan menggali dari beberapa perintah Allah SWT dalam Al-Quran (di antaranya) QS 2: 43, "Dan dirikanlah salat, dan keluarkanlah zakat, dan tunduklah ruku’ bersama orang-orang yang ruku."

Ulama mujtahid lalu mengeluarkan kaidah "al-ashlu fi al-mri lil wujub", yang artinya pada hakikatnya perintah itu menunjukkan kewajiban. Itulah yang mendasari fatwa kewajiban salat. Lalu, umat belakangan memahami salat menjadi ibadah wajib, karena fatwa yang merupakan produk ijtihad para ulama.

Contoh serupa adalah mengenai fatwa MUI yang pernah dikeluarkan tahun 1978 tentang ketentuan miqat makani bandara King Abdul Aziz bagi jamaah haji yang datang melalui bandara King Abdul Aziz.

Dalam ketentuan dan juga yang tertuang dalam fikih, bahwa jamaah dari Asia Tenggara termasuk Indonesia yang seharusnya melalui Yalamlam. Lalu MUI menerbitkan fatwa bahwa bandara King Abdul Aziz dapat dijadikan miqat makani dalam ibadah haji. Dan fiqih kontemporer sudah menjadikan fatwa tersebut sebagai hukum yang wajib ditaati bagi jamaah haji Indonesia.

Begitu berat konsekuensi dari fatwa, sehingga Imam Ahmad bin Hanbal memberikan ketentuan yang ketat bagi seorang atau beberapa orang yang mengeluarkan fatwa. Pertama, ia harus ikhlas dan tulus. Kedua, memiliki kecukupan harta benda untuk penghidupannya. Jangan sampai fatwa diterbitkan dimaksudkan untuk menambahkan “pundi-pundi” penghasilan.

Ketiga, memiliki kompetensi, kepintaran dan kecermatan. Keempat, ketenangan dan kewibawaan. Kelima, memiliki kapasitas keilmuan. Sementara Imam An Nawawi menambahkan syaratnya yakni memiliki sikap wara', tsiqqah, terpercaya, memiliki ketajaman dalam berpikir dan terhindar dari kefasikan.

Fatwa Tidak Mengikat?

Di antara rujukan pendapat ulama yang menyatakan bahwa fatwa tidak mengikat adalah pendapat Imam As-Syathiby, seorang ulama mazhab Maliki, dan Ar-Ruhaibani, seorang ulama mazhab Hambali. Dalam kitabnya yang berjudul "Mathalib fi Ulinnuha fi Syarhil Ghayatil Muntaha", Ar-Ruhaibani mendefiniskan bahwa fatwa adalah "penjelasan hukum yang diberikan kepada penanya dan bersifat tidak mengikat (bila ilzam)".

baca juga: BPJPH: Fatwa Penetapan Kehalalan Produk Kewenangan MUI

Jika mencermati definisi tersebut, sebenarnya terdapat klausul yang perlu dijadikan pijakan analisis yakni bahwa dalam hal fatwa yang diberikan kepada penanya/peminta fatwa. Jadi fatwa yang demikian itu tidak mengikat bagi orang lain.

Fatwa para mujtahid dan hukum-hukum yang dihasilkan dari istinbath dan ijtihadnya, telah absah sebagai dalil bagi kalangan ahli taqlid. Imam al-Syatibi mengatakan, fatwa-fatwa kaum mujtahidin bagi orang awam adalah seperti beberapa dalil syar'i bagi para mujtahidin.

Itulah sebabnya, maka kita-kitab fiqih di kalangan ulama Syafi'iyah menjadi penting dan berkembang dalam ratusan bahkan mungkin ribuan judul dengan berbagai analisis, penjelasan dan tidak jarang berbagai kritik (intiqad dan radd). Kumpulan pendapat yang dituangkan dalam pelbagai kitab besar telah diringkas menjadi mukhtashor, nazham dan matan.

Sebaliknya, kitab yang kecil diberi syarah dan hasyiyah menjadi berjilid-jilid. Sampai pun tokoh ulama Indonesia, seperti Syeikh Mahfudh al-Tarmasi, dari Termas Jawa Timur, menulis hasyiyah “kitab Mauhibah” empat jilid, bahkan lima jilid (yang terakhir belum dicetak). Kedudukan kitab-kitab tersebut menjadi seperti periwayatan dalam Hadits/al-Sunnah.

Kalau dalam al-Sunnah ada mustanad riwayah (periwayatan yang bersambung); bi al-sama' (mendengarkan pembacaan guru) kemudian bi al-qira'ah (pembacaan apa yang dituliskan di hadapan guru) dan lalu bi al-ijazah (pendelegasian), maka para ulama dalam menerima dan mengajarkan kitab-kitab itu pun menggunakan mustanad tersebut dengan silsilah sanad yang langsung, berturut-turut sampai kepada para penulisnya (mu'allif) bahkan sampai kepada Imam al-Syafi'i (atau panutan mazhabnya).

Jadi—sekali lagi—hal demikian itu harus dipahami secara tepat. Karena sejarah awal produksi dan kodifikasi hukum selalu di awali dari fatwa para ulama mazhab generasi awal. Kumpulan fatwa tersebut selanjutnya dikodifikasi oleh muridnya. Pendapat tersebut dikaji secara mendalam dan selalu dijadikan rujukan. Alhasil, pendapat sampai saat ini dijadikan landasan dasar hukum (jurisprudence) oleh para murid dan pengikutnya.

Keluar dari Fatwa Sebagai Jalan Keluar?

Menjalankan fatwa adalah wajib. Maka, jika tidak menjalankan fatwa akan terkena hukum taklif, yakni haram alias dosa. Jika tidak ingin melaksanakan fatwa, jalan keluarnya adalah keluar dari fatwa dengan mengikuti pendapat lain.

Hemat penulis, hal ini disamakan langkah perpindahan mazhab (intiqal al mazhab), jika mazhab satunya dirasa sulit dilaksanakan. Seperti halnya seorang yang melaksanakan ibadah haji.

baca juga: Fatwa MUI Harus Disikapi Rasional, Hindari Tindakan Intoleransi

Sejak mulai bepergian sampai tanah suci Makkah, akan ditemui kesulitan menjalankan ibadah wajib bagi pemeluk mazhab tertentu, misalkan mazhab Syafii. Mencermati waktu tempuh perjalanan dengan menggunakan pesawat selama 7-8 jam, sudah dipastikan akan ada beberapa kewajiban salat ditinggalkan. Sudah jamak diketahui bahwa dalam mazhab Syafii (misalnya) tidak sah salat di kendaraan yang sedang berjalan.

Tidak hanya itu, bahkan ketika bersuci pun, mazhab Syafii tidak mensahkan bertayammum dengan debu yang ada di dinding pesawat. Menurutnya, bertayamum harus menggunakan debu tanah langsung. Begitu pula sesampainya di tanah suci, ketika melakukan thawaf bersama pasangannya, tentu akan membatalkan thawafnya jika bergandengan terus karena tidak terhindar dari sentuhan kulit dengan lawan jenis.

Tentunya pelaksanaan ibadah menjadi sulit. Sebagian ulama menyelesaikan dengan talfiq, yakni mengambil pendapat yang relevan dan meringankan. Tapi, jumhur berpendapat bahwa talfiq itu haram, karena adanya kecenderungan dominasi hawa nafsu.

Hemat penulis, jalan keluar yang paling cocok adalah meninggalkan mazhabnya dengan berpindah pada mazhab lainnya, misalkan pindah mazhab Maliki yang membolehkan salat di dalam kendaraan dan bertayamum dari dinding (misalkan) pesawat.

Ketentuan ketat dalam “pindah mazhab” ini seyogyanya dilakukan dalam “satu paket” (qadliyyah), misalkan mengambil mazhab Maliki mulai dari thaharah (bersuci), kaifiyah salat dan ketentuan batalnya wudhu.

Dengan demikian, sangat dibutuhkan sebuah “fatwa” alternatif, jika tidak ingin melaksanakan fatwa tersebut. Kita berharap, majelis tarjih Muhammadiyah atau Lembaga Bahsul Masail PBNU dapat menerbitkan fatwa alternatif, agar umat Islam yang tidak mengamalkan fatwa MUI tersebut terhindar dari dosa. Wallahu a'lamu bis shawab.
(hdr)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.8106 seconds (0.1#10.140)