Maknai Hari Bumi dengan Memulai Gaya Hidup Berkelanjutan di Perkotaan

Sabtu, 20 April 2024 - 18:47 WIB
loading...
Maknai Hari Bumi dengan Memulai Gaya Hidup Berkelanjutan di Perkotaan
Dolly Priatna, Direktur Eksekutif Yayasan Belantara dan Pengajar pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan. Foto/Dok
A A A
Dolly Priatna
Direktur Eksekutif Yayasan Belantara dan Pengajar pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan

SEJAK tahun 1970, setiap tanggal 22 April masyarakat dunia selalu memperingati Earth Day atau Hari Bumi. Awalnya, peringatan ini diprakarsai oleh aktivis perdamaian John McConnell dan Senator Amerika Serikat Gaylord Nelson. Peringatan Hari Bumi pertama pada tahun 1970 yang diikuti sekitar 20 juta peserta, dilakukan guna meningkatkan kesadaran akan isu-isu lingkungan dan mendorong tindakan untuk melindungi planet Bumi.

Empat dasawarsa kemudian, di tahun 2009, Pemerintah Indonesia secara resmi mulai memprakarsai peringatan Hari Bumi sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pelestarian lingkungan hidup dan perlindungan alam. Keputusan ini diambil dalam rangka menyelaraskan perayaan Hari Bumi nasional dengan gerakan global untuk memperhatikan isu-isu lingkungan.

Inisiatif ini merupakan upaya kolektif dari banyak tokoh seperti Emil Salim dan Sarwono Kusumaatmadja, serta para aktivis lingkungan hidup di Indonesia yang aktif memperjuangkan keberlanjutan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.

Peringatan Hari Bumi sangat erat kaitannya dengan perubahan iklim. Upaya global dalam menghadapi perubahan iklim selama dekade terakhir berfokus terutama pada penanganan emisi dari negara-negara berkembang dengan emisi tinggi, yang jumlahnya meningkat secara tidak terduga, sehingga berpotensi membahayakan target mitigasi yang ada saat ini.

Komunitas internasional telah berupaya untuk meningkatkan upaya mitigasi di negara-negara yang sebelumnya terabaikan, dengan menekankan pentingnya kerja sama global dalam memerangi perubahan iklim. Negara-negara penghasil emisi terbesar seperti India, telah menerapkan langkah-langkah seperti Rencana Aksi Nasional Perubahan Iklim untuk meningkatkan efisiensi energi dan pembangunan berkelanjutan, yang ditunjukkan sebagai upaya nasional untuk memerangi perubahan iklim di negara tersebut.

Pada dekade terakhir, Indonesia juga telah menerapkan berbagai kebijakan untuk memitigasi dampak perubahan iklim. Negara kita berfokus pada struktur pemerintahan yang terdesentralisasi, sehingga memungkinkan entitas pada level sub-nasional untuk terlibat dalam inisiatif iklim. Strategi pengurangan emisi antara lain penggunaan varietas padi rendah emisi dan perbaikan pengelolaan air dalam budidaya padi.

Pemerintah Indonesia juga memperkenalkan pajak karbon untuk mengurangi gas rumah kaca dan menargetkan emisi net-zero pada tahun 2060. Kolaborasi antara pemerintah daerah, masyarakat sipil, dan sektor swasta sangat penting dalam mengurangi dampak perubahan iklim melalui berbagai program seperti inisiatif Siak Hijau di Provinsi Riau.

Selain itu, Indonesia telah menerapkan kebijakan REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation - Plus) untuk memerangi deforestasi dan mengurangi efek gas rumah kaca. Upaya gabungan ini menunjukkan pendekatan multi aspek yang dilakukan Indonesia dalam mengatasi tantangan perubahan iklim.

Namun, dalam perjalannya tidak selalu berjalan mulus. Indonesia menghadapi berbagai tantangan dalam mengatasi permasalahan perubahan iklim. Tantangan tersebut berasal dari faktor-faktor seperti dampak deforestasi dan degradasi hutan, laju pertumbuhan industri yang kurang ramah lingkungan, serta moda transportasi berbahan bakar fosil.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0833 seconds (0.1#10.140)