Layakkah Prancis Menjadi Sahabat Sejati Indonesia?
loading...
A
A
A
Kerja sama dimaksud meliputi kontrak pembelian pesawat tempur Rafale dari perusahaan penerbangan Dassault Aviation, MoU kerja sama di bidang riset dan pengembangan kapal selam antara PT PAL Indonesia (Persero) dan Naval Group, MoU kerja sama program offset dan ToT antara Dassault dan PT Dirgantara Indonesia (Persero), MoU kerja sama PT Len Industri (Persero) dengan Thales Group untuk menyediakan radar canggih Ground Master 400 yang berdaya jangkau 515 km, serta kerja sama pembuatan munisi kaliber besar antara PT Pindad (Persero) dan Nexter Munition.
Tidak cukup dengan level kerja sama yang telah ada, kedua negara menaikkan kerja sama pertahanan pada status tertinggi, yang ditandai dengan penandatanganan Persetujuan Kerja Sama Pertahanan atau Defence Cooperation Agreement (DCA) pada 28 Juni 2021, oleh Prabowo dengan Florence Parly. Kesepakatan itu diiringi dengan penguatan kerja sama pertahanan, khususnya untuk pembuatan alutsista.
Menteri Parly menegaskan kesepakatan sebagai bentuk tekad negaranya mendukung secara aktif program-program strategis besar Indonesia, seperti untuk mengembangkan industri pertahanan Indonesia. Ia menganggap kontrak pembelian pesawat Rafale sebagai bukti kuatnya level kemitraan strategis kedua negara, termasuk memajukan industri pertahanan Indonesia.
Pilihan Strategis
Dalam politik, termasuk politik luar negeri, adagium threre is no permanent friend but only permanent interest tetap menjadi pegangan. Kendati demikian, negara-negara -termasuk Indonesia- harus tetap mengedepankan pilihan rasional dengan mempertimbangkan aspek internal-internal tanpa menanggalkan prinsip politik luar negeri. Termasuk, untuk mencari sahabat dalam mengembangkan bidang pertahanan, khususnya dalam memperkuat alutsista yang dibutuhkan untuk pertahanan negara dan membangun kemandirian alutsista.
Keputusan yang harus diambil Indonesia tidaklah mudah, karena masing-masing memiliki konsekuensi. Negeri ini tidak mungkin bergantung pada AS dan sekutu baratnya yang telah mencatatkan noda hitam dalam sejarah pertahanan dan militer Indonesia melalui kebijakan yang diskriminatif, sanksi militer, embargo, serta mental kolonialisme mereka yang selalu mau menangnya sendiri. Di sisi lain, walaupun memiliki komitmen sangat tinggi, Indonesia sangat sulit merangkul Rusia karena ganjalan instrument hukum AS yang disebut CAATSA. Apalagi pasca-pecahnya perang dengan Ukraina.
baca juga: MUI Heran Media Prancis Kok Permasalahkan Suara Azan di Indonesia
Sementara Prancis merupakan negara dengan kemampuan advance di bidang militer dan negara produsen senjata terbesar ketiga di dunia. Kapasitasnya tidak lah kalah dengan negara-negara maju lain seperti AS, Rusia, Inggris, hingga China. Tak kalah pentingnya adalah Prancis memiliki kemandirian yang kuat untuk memproduksi alutsista. Hal ini dibuktikan dengan penolakan Prancis bergabung dengan konsorsium Inggris, Jerman, Spanyol membuat pesawat Eurofighter Typhoon dan memilih mengembangkan Rafale sendiri.
Selain Rafale, alutsista made Prancis yang diakui kapabilitasnya adalah kapal serbu amfibhi kelas Mistral, Tank Lecrelc, helikopter EC 665 Tiger, meriam Caesar, kapal selam Scorpene, berbagai jenis kapal perang, hingga rudal Exocet yang sangat melegenda dan battle proven dalam sejumlah medan laga dunia.
Karena itulah, bekerja sama dengan Prancis merupakan pilihan rasional ekaligus pilihan strategis. Selain karena penguasaan state of the art teknologi militer, watak politik Gaullisme lebih menjamin keamanan dan kenyamaaan kerja sama partahanan. Dukungan Prancis terhadap Saudi Arabia dan UEA terkait konflik Yaman menjadi bukti kesetiaan Prancis terhadap negara sahabatnya. Tak kalah pentingnya, dengan ego sebagai negara besar dan orientasi politik luar negeri yang mengedepankan kepentingan nasional membuat Prancis relatif independen dalam menghadapi tekanan AS dan sekutu baratnya.
Tidak cukup dengan level kerja sama yang telah ada, kedua negara menaikkan kerja sama pertahanan pada status tertinggi, yang ditandai dengan penandatanganan Persetujuan Kerja Sama Pertahanan atau Defence Cooperation Agreement (DCA) pada 28 Juni 2021, oleh Prabowo dengan Florence Parly. Kesepakatan itu diiringi dengan penguatan kerja sama pertahanan, khususnya untuk pembuatan alutsista.
Menteri Parly menegaskan kesepakatan sebagai bentuk tekad negaranya mendukung secara aktif program-program strategis besar Indonesia, seperti untuk mengembangkan industri pertahanan Indonesia. Ia menganggap kontrak pembelian pesawat Rafale sebagai bukti kuatnya level kemitraan strategis kedua negara, termasuk memajukan industri pertahanan Indonesia.
Pilihan Strategis
Dalam politik, termasuk politik luar negeri, adagium threre is no permanent friend but only permanent interest tetap menjadi pegangan. Kendati demikian, negara-negara -termasuk Indonesia- harus tetap mengedepankan pilihan rasional dengan mempertimbangkan aspek internal-internal tanpa menanggalkan prinsip politik luar negeri. Termasuk, untuk mencari sahabat dalam mengembangkan bidang pertahanan, khususnya dalam memperkuat alutsista yang dibutuhkan untuk pertahanan negara dan membangun kemandirian alutsista.
Keputusan yang harus diambil Indonesia tidaklah mudah, karena masing-masing memiliki konsekuensi. Negeri ini tidak mungkin bergantung pada AS dan sekutu baratnya yang telah mencatatkan noda hitam dalam sejarah pertahanan dan militer Indonesia melalui kebijakan yang diskriminatif, sanksi militer, embargo, serta mental kolonialisme mereka yang selalu mau menangnya sendiri. Di sisi lain, walaupun memiliki komitmen sangat tinggi, Indonesia sangat sulit merangkul Rusia karena ganjalan instrument hukum AS yang disebut CAATSA. Apalagi pasca-pecahnya perang dengan Ukraina.
baca juga: MUI Heran Media Prancis Kok Permasalahkan Suara Azan di Indonesia
Sementara Prancis merupakan negara dengan kemampuan advance di bidang militer dan negara produsen senjata terbesar ketiga di dunia. Kapasitasnya tidak lah kalah dengan negara-negara maju lain seperti AS, Rusia, Inggris, hingga China. Tak kalah pentingnya adalah Prancis memiliki kemandirian yang kuat untuk memproduksi alutsista. Hal ini dibuktikan dengan penolakan Prancis bergabung dengan konsorsium Inggris, Jerman, Spanyol membuat pesawat Eurofighter Typhoon dan memilih mengembangkan Rafale sendiri.
Selain Rafale, alutsista made Prancis yang diakui kapabilitasnya adalah kapal serbu amfibhi kelas Mistral, Tank Lecrelc, helikopter EC 665 Tiger, meriam Caesar, kapal selam Scorpene, berbagai jenis kapal perang, hingga rudal Exocet yang sangat melegenda dan battle proven dalam sejumlah medan laga dunia.
Karena itulah, bekerja sama dengan Prancis merupakan pilihan rasional ekaligus pilihan strategis. Selain karena penguasaan state of the art teknologi militer, watak politik Gaullisme lebih menjamin keamanan dan kenyamaaan kerja sama partahanan. Dukungan Prancis terhadap Saudi Arabia dan UEA terkait konflik Yaman menjadi bukti kesetiaan Prancis terhadap negara sahabatnya. Tak kalah pentingnya, dengan ego sebagai negara besar dan orientasi politik luar negeri yang mengedepankan kepentingan nasional membuat Prancis relatif independen dalam menghadapi tekanan AS dan sekutu baratnya.