Layakkah Prancis Menjadi Sahabat Sejati Indonesia?

Senin, 31 Juli 2023 - 05:12 WIB
loading...
Layakkah Prancis Menjadi...
Ilustrasi: Win Cahyono/SINDONews
A A A
ADA misteri apakah di balik kedatangan enam unit jet tempur Dassault Rafale di Indonesia? Pertanyaan ini menarik ditelisik mengingat rombongan alutsista beserta kru yang dibawa Angkatan Udara dan Dirgantara Prancis (AAE) terbilang besar. Selain Rafale, turut dibawa 5 tanker A330 MRTT, 4 pesawat Airbus A400M, dengan total awak yang menyertai 320 orang.

baca juga: Indonesia - Prancis Tingkatkan Kerja Sama Pertahanan

Secara formal, kehadiran alutsista AAE ke Indonesia adalah untuk mampir setelah mengikuti serangkaian latihan di Pasifik, yakni partisipasi dalam latihan bersama Northern Edge yang dipimpin Komando Amerika Serikat di Pasifik (Guam, Palau, Hawaii), dan penerbangan bersama para mitra Amerika, Inggris, Kanada, Australia, dan Jepang. Sebelum kembali ke negerinya itulah mereka singgah di Indonesia dan melakukan show of force, dari 24 Juli hingga 1 Agustus.

Bisa jadi, AAE sengaja datang untuk mempertontonkan langsung Rafale kedatangannya sangat ditunggu publik Tanah Air. Seperti diketahui, Kementerian Pertahanan (Kemenhan) memborong 42 pesawat canggih tersebut. Hanya saja, 6 pesawat multirole pesanan batch pertama baru bisa bergabung TNI AU untuk memperkuat pertahanan dirgantara pada 2026 nanti.

Selain dua alasan di atas, bila dilihat dalam konteks dinamika geopolitik yang berkembang saat ini, kehadiran rombongan besar AAE tersebut menyampaikan pesan politik yang sangat kuat, bahwa Indonesia adalah sahabat Prancis. Indonesia merupakan negeri penting untuk menatap dan membangun masa depan bersama, termasuk dalam bidang pertahanan dan alutsista.

Hubungan Indonesia-Prancis memang tengah menapak level tertinggi. Kemesraan diplomatik ini ditunjukkan pada pertemuan two plus two yang melibatkan Menlu Retno Marsudi-Menhan Prabowo Subianto dengan Menlu Prancis Catherine Colonna-Menhan Prancis Sébastien Lecornu di Prancis pada pekan kemarin. Pertemuan two plus two dengan Prancis disebut sebagai kali pertama dilakukan dengan negara Eropa dan yang pertama pula dengan negara B5.

Berdasar keterangan Menlu Retno Marsudi, pertemuan digelar untuk memperkokoh kemitraan strategis yang telah dibangun kedua negara, dengan landasan prinsip saling menghormati dan saling menguntungkan. Penguatan kemitraan strategis juga dilakukan untuk memberi kontribusi positif pada terciptanya dunia yang lebih stabil, aman, dan damai.

Selain kerja sama ekonomi, terutama menyelesaikan perundingan Indonesia-Europe Union Comprehensive Economic Partnership Agreement, kerja sama transisi energi dan sejumlah bidang lain, kedua negara juga menjadikan kerja sama pertahanan sebagai poin utama pembahasan. Kerja sama yang dibangun bukan sebatas jual beli alutsista, namun juga transfer of technology (ToT), serta pengembangan dan produksi bersama alutsista.

baca juga: Shopee Indonesia Membawa Produk-Produk UMKM Menembus Prancis

Walaupun sudah ada perjanjian hitam di atas putih, tak dapat dimungkiri skeptisme tentang sejauh mana kekokohan hubungan Indonesia-Prancis masih muncul. Pertanyaan ini muncul berdasar sejumlah alasan logis. Pertama, menganggap Prancis menoleh ke Indonesia untuk meluapkan kekecewaannya setelah Australia mendepaknya dari proyek pembangunan kapal selam Scorpene, dan kemudian negeri kanguru itu membentuk aliansi AUKUS bersama Amerika Serikat (AS) dan Inggris, pada 2021.

Kedua, Prancis mendekati Indonesia dengan orientasi sebagai stepping stone mengamankan kepentingan mereka di Indo Pasifik untuk mengantisipasi ekskalasi konflik akibat langkah invansif China. Ketiga, sangat mungkin Prancis hadir di Indonesia untuk menunjukkan posisinya sebagai kekuatan dunia seperti dipertunjukkan pada kehadirannya di banyak negara Afrika, sejumlah negara Timur Tengah -seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar.

Keempat, pendekatan Prancis terhadap Indonesia berorientasi pragmatisme bisnis semata, yakni untuk jual beli Rafale, Airbus A400M, dan mengegolkan rencana pembelian Scorpene. Kelima, Prancis merupakan bagian dari Uni Eropa (UE). Dengan demikian, perilaku politik kolonial yang selalu mau menang sendiri seperti terjadi pada kasus gugatan minyak kelapa sawit dan kebijakan hilirisasi nikel akan tetap mewarnai bangunan kemitraan dengan Indonesia.

Ujung dari skeptisme ini adalah, apakah benar Prancis tepat dijadikan mitra strategis Indonesia? Apakah negeri Napoleon itu layak menjadi sahabat sejati yang konsisten saling dukung-mendukung dalam segala dinamika konflik, termasuk saat harus berhadapan dengan AS dan blok barat yang notabene merupakan teman aliansinya di UE ataupun NATO? Jangan-jangan kemitraan yang dibangun hanya sebatas pragmatisme semata, sehingga Prancis sangat rawan berubah sikap dan mencampakkan Indonesia?

baca juga: Indonesia Sepakat Borong 42 Jet Tempur Rafale Prancis

Jawaban atas pertanyaan tergantung sejumlah variabel, yakni bagaimana kebijakan politik luar negeri Prancis, termasuk vis a vis sekutunya di Nato maupun UE; bagaimana kebijakan penjualan alat utama sistem senjata (alutsista) Prancis ke negara lain, dalam hal ini terkait adanya pemberlakuan embargo militer; dan sejauh mana track record hubungan yang terjalin dengan Indonesia selama ini, khususnya dalam bidang pertahanan.

Gaullisme

Hubungan diplomatik antar-negara tentu berangkat dari prinsip-prinsip politik luar negeri masing-masing negara. Berdasar Encyclopaedia Britannica (2015), dinamika politik luar negeri dipengaruhi pertimbangan domestik, kebijakan, perilaku negara lain, atau rencana memajukan desain geopolitik tertentu.

Bagi Indonesia, politik luar negeri ditujukan untuk melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian abadi seperti tertuang dalam Alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945. Implementasinya dilakukan dengan prinsip politik luar negeri bebas dan aktif yang diabdikan untuk kepentingan nasional.

baca juga: Spesifikasi Mirage 2000-5, Pesawat Tempur Prancis yang Dibeli Indonesia

Sedangkan dari pihak Prancis, bangunan hubungan politik luar negerinya tak terlepas dari watak nasionalisme yang kuat, kebanggaan nasional, kecintaan pada sejarah, dan naluri untuk melestarikan budayanya. Karakter demikian misalnya diwujudkan dalam keanggotaannya dalam UE. Di komunitas yang menaungi negara-negara Eropa ini, Prancis menarasikan diri sebagai negara besar yang berposisi sebagai pendiri, memimpin UE bersama Jerman, dan menjadikannya sebagai wadah mengaltikurasikan kepentingan nasional.

Watak politik Prancis yang mengedepankan kebanggaan dan kepentingan nasional tergambar jelas di era kepemimpinan Charles De Gaulle. Sebagai pendiri PBB dan pemegang mandat anggota tetap Dewan Keamanan (DK) PBB, pendiri Komunitas Batubara dan Baja Eropa (pendahulu Uni Eropa), Prancis menunjukkan jati dirinya dengan mencoba memblokade pengaruh Amerika Serikat (AS) dan Inggris di komunitas Eropa.

Selama kepemimpinannya, De Gaulle mereorientasi kebijakan politik luar negeri Prancis dari pengikut AS menjadi lebih dekat dengan negara-negara non-blok dan berupaya menempatkan dirinya di posisi leader, terutama di kawasan Afrika. Langkah tersebut belakangan menarik minat negara-negar Timur Tengah karena para pemimpin di wilayah itu merasa bisa secara bebas menjalankan kepentingan nasionalnya tanpa terikat pada salah satu blok aliansi. De Gaulle berkeinginan kebijakan yang diusung menjadi landasan bersama membangun hubungan antarbangsa.

Kebijakan luar negeri yang tidak lagi sejalan dengan AS atau sekutu barat lainnya dimanifestasikan De Gaulle dalam momen krusial seperti menentang langkah ekspansif Israel pada Palestina dan menggunakan hak veto-nya di DK PBB, serta memihak negara-negara Arab dalam hampir semua masalah yang dibawa ke badan internasional. Untuk alutsista, De Gaulle bahkan memberlakukan embargo senjata terhadap negara Israel, dan di sisi lain kembali menjual persenjataan ke negara-negara Arab. Dampaknya, Prancis mendapat lonjakan kontrak alutsista dari banyak negara, terutama dari Timur Tengah.

baca juga: Menteri Suharso Ingin Perkuat Kerja Sama dengan Perancis

Jika ditelusuri, ego Prancis secara langsung atau tidak langsung muncul dari sejarah besar yang mereka ukir. Betapa tidak, negeri tersebut adalah salah satu negara kolonial dengan wilayah jajahan terluas di dunia. Penjajahan ini selaras dengan perkembangan kebudayaan mereka, terutama penggunaan bahasa Prancis. Kondisi tersebut bisa disaksikan di sebagian besar negara di benua Afrika.

Sikap yang kemudian dikonsepsikan sebagai Gaullisme juga ditunjukkan Jacques Chirac. Indikatornya adalah penolakannya terhadap serangan ke Irak pada 2003, bersama Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden China Hu Jintao, dan Kanselir Jerman Gerhard Schröder. Chirac bahkan tampil sebagai penentang utama perang yang dikomandoi Presiden AS George W. Bush dan Perdana Menteri (PM) Inggris Tony Blair, hingga mengancam akan mem-veto resolusi di DK PBB yang akan mengizinkan penggunaan kekuatan militer untuk membersihkan Irak dari dugaan kepemilikan senjata pemusnah massal.

Pun kebijakan Emmanuel Macron. Dia mempertajam hubungannya dengan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) dengan fokus tetap pada pembuktian Prancis sebagai kekuatan dunia. Malahan, Macron aktif mendukung keterlibatan kedua negara dalam perang sipil Yaman dan tidak menggubris suara sumbang dari organisasi HAM. Prancis juga menjadi salah satu pemasok senjata penting, seperti kesepakatan Macron dengan Uni UEA pada 2021 untuk memborong alutsista senilai 16 miliar Euro. Pembelian di antaranya untuk akusisi 80 pesawat tempur Rafale yang ditingkatkan.

Jejak Kerja Sama Alutsista

Sebagai negara berkembang dengan wilayah kepulauan yang sangat luas dan berada di persilangan jalur utama pelayaran dunia, Indonesia membutuhkan alutsista mumpuni untuk memastikan terjaminnya pertahanan dan keamanan. Untuk itulah, pemerintah mencari berbagai jenis alutsista dari negara-negara produsen utama dunia seperti AS, Rusia, Inggris, Prancis, Turki dan negara lainnya.

Dengan Prancis, Indonesia pada 1960-an tercatat mendatangkan 275 tank AMX-13. Tank ringan tersebut hingga kini masih aktif beroperasi setelah mengalami program retrofit. Alutsista terkemuka buatan Prancis lain yang diakusisi Indonesia adalah rudal strategis Exocet, tepatnya di tahun 1980-an. Hingga kini TNI AL masih menjadi pengguna rudal tersebut. Radar yang digunakan TNI AU juga buatan pabrikan Prancis, Thales, yakni radar Thomson Alutsista asal Prancis lainnya yang menjadi tulang punggung pertahanan Indonesia adalah meriam Caesar 155 produksi Nexter.

Selain jual beli putus, Indonesia-Prancis juga kerja sama produksi alutsista dalam bentuk tranfer of knowledge (ToT). Salah produk yang populer adalah panser Anoa 6x6 Pindad yang mengadopsi panser VAB Prancis. Kerja sama bersifat jangka panjang dan berlangsung hingga saat ini dengan mengembangkan berbagai varian panser.

baca juga: Kembangkan Geothermal, PLN Pelajari Proyek di Kawasan Padat Penduduk Perancis

Seiring dengan keluarnya UU No 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan, kerja sama dengan skema ToT kian intensif digalakkan. Dalam konteks ini Prancis menjadi salah satu negara terdepan. Misalnya, Arquus dari Prancis berkolaborasi dengan Pindad meningkatkan kualitas panser Anoa dan panser kanon Badak 6x6. Pindad juga menjalin kerja sama dengan Nexter untuk memproduksi amunisi kaliber besar, dalam hal ini amunisi tank 120 mm. Tak ketinggalan, PT Dahana merangkul dua perusahaan Prancis, Eurenco dan Roxel, untuk membuat propelan yang merupakan bahan dasar pembuatan amunisi.

Dari catatan sejarah kerja sama alutsista Indonesia-Prancis, belum tercoreng noda hitam berupa embargo yang merupakan momok TNI. Sikap Prancis ini berseberangan dengan sekutunya seperti AS dan Inggris yang kerap menggunakan instrumen embargo untuk membatasi kerja sama militer, pembelian, dan penggunaan alutsista kepada Indonesia. Bahkan Prancis konsisten memberi kesempatan kepada Indonesia untuk mengakusisi alutsista produksinya hingga melakukan kerja sama pengembangan, termasuk untuk teknologi militer penting seperti amunisi, propelan, hingga radar.

Kemitraan Terus Menguat

Hubungan bilateral Indonesia-Prancis resmi berlangsung mulai September 1950. Sejak saat itu, hubungan menunjukkan konsistensi dan tren positif melalui kerja sama di berbagai sektor dan bentuk. Selanjutnya menginjak 2011, kedua negara bersepakat meningkatkan hubungan tersebut ke level kemitraan strategis. Momen penting ini terjadi saat Perdana Menteri François Fillon berkunjung ke Indonesia pada 30 Juni - 2 Juli. Pada fase awal, kemitraan fokus pada lima bidang kerja sama, yaitu perdagangan dan investasi, pendidikan, industri pertahanan, sosial dan budaya atau people-to-people contacts, dan penanganan dampak perubahan iklim.

Kemitraan strategis diperkuat pada Maret 2017, saat Presiden François Hollande berkunjung ke Jakarta bertemu Presiden Joko Widodo . Pada kesempatan itu kedua pemimpin bersepakat terus memperluas kerja sama, khususnya di bidang ekonomi kreatif, pendidikan, maritim, pembangunan kota berkelanjutan, energi, pertahanan, serta infrastruktur.

Khusus untuk kerja sama pertahanan, sudah menjadi fokus utama sebelum Indonesia-Prancis menjalin kemitraan strategis disepakati. Pada 1996, kementerian pertahanan kedua negara meneken memorandum of understanding (MOU) untuk cooperation in equipment, logistics dan defense industries. Kerja sama ini kemudian ditingkatkan lebih lanjut melalui penyelenggaraan military bilateral talks antara Mabes TNI Cilangkap dengan AP French Headquarters untuk menggarap kerja sama bidang pendidikan, pertukaran informasi, dan forum dialog.

baca juga: Kemhan Teken Kontrak Pengadaan 13 Unit Sistem Radar GCI dari Perancis

Hubungan bilateral Indonesia-Prancis semakin hangat di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kerja sama pertahanan kedua negara secara kongkrit ditindaklanjuti dengan lima kerja sama baru yang diteken Menhan Prabowo Subianto dan Menteri Angkatan Bersenjata Republik Prancis Florence Parly di Jakarta.

Kerja sama dimaksud meliputi kontrak pembelian pesawat tempur Rafale dari perusahaan penerbangan Dassault Aviation, MoU kerja sama di bidang riset dan pengembangan kapal selam antara PT PAL Indonesia (Persero) dan Naval Group, MoU kerja sama program offset dan ToT antara Dassault dan PT Dirgantara Indonesia (Persero), MoU kerja sama PT Len Industri (Persero) dengan Thales Group untuk menyediakan radar canggih Ground Master 400 yang berdaya jangkau 515 km, serta kerja sama pembuatan munisi kaliber besar antara PT Pindad (Persero) dan Nexter Munition.

Tidak cukup dengan level kerja sama yang telah ada, kedua negara menaikkan kerja sama pertahanan pada status tertinggi, yang ditandai dengan penandatanganan Persetujuan Kerja Sama Pertahanan atau Defence Cooperation Agreement (DCA) pada 28 Juni 2021, oleh Prabowo dengan Florence Parly. Kesepakatan itu diiringi dengan penguatan kerja sama pertahanan, khususnya untuk pembuatan alutsista.

Menteri Parly menegaskan kesepakatan sebagai bentuk tekad negaranya mendukung secara aktif program-program strategis besar Indonesia, seperti untuk mengembangkan industri pertahanan Indonesia. Ia menganggap kontrak pembelian pesawat Rafale sebagai bukti kuatnya level kemitraan strategis kedua negara, termasuk memajukan industri pertahanan Indonesia.

Pilihan Strategis

Dalam politik, termasuk politik luar negeri, adagium threre is no permanent friend but only permanent interest tetap menjadi pegangan. Kendati demikian, negara-negara -termasuk Indonesia- harus tetap mengedepankan pilihan rasional dengan mempertimbangkan aspek internal-internal tanpa menanggalkan prinsip politik luar negeri. Termasuk, untuk mencari sahabat dalam mengembangkan bidang pertahanan, khususnya dalam memperkuat alutsista yang dibutuhkan untuk pertahanan negara dan membangun kemandirian alutsista.

Keputusan yang harus diambil Indonesia tidaklah mudah, karena masing-masing memiliki konsekuensi. Negeri ini tidak mungkin bergantung pada AS dan sekutu baratnya yang telah mencatatkan noda hitam dalam sejarah pertahanan dan militer Indonesia melalui kebijakan yang diskriminatif, sanksi militer, embargo, serta mental kolonialisme mereka yang selalu mau menangnya sendiri. Di sisi lain, walaupun memiliki komitmen sangat tinggi, Indonesia sangat sulit merangkul Rusia karena ganjalan instrument hukum AS yang disebut CAATSA. Apalagi pasca-pecahnya perang dengan Ukraina.

baca juga: MUI Heran Media Prancis Kok Permasalahkan Suara Azan di Indonesia

Sementara Prancis merupakan negara dengan kemampuan advance di bidang militer dan negara produsen senjata terbesar ketiga di dunia. Kapasitasnya tidak lah kalah dengan negara-negara maju lain seperti AS, Rusia, Inggris, hingga China. Tak kalah pentingnya adalah Prancis memiliki kemandirian yang kuat untuk memproduksi alutsista. Hal ini dibuktikan dengan penolakan Prancis bergabung dengan konsorsium Inggris, Jerman, Spanyol membuat pesawat Eurofighter Typhoon dan memilih mengembangkan Rafale sendiri.

Selain Rafale, alutsista made Prancis yang diakui kapabilitasnya adalah kapal serbu amfibhi kelas Mistral, Tank Lecrelc, helikopter EC 665 Tiger, meriam Caesar, kapal selam Scorpene, berbagai jenis kapal perang, hingga rudal Exocet yang sangat melegenda dan battle proven dalam sejumlah medan laga dunia.

Karena itulah, bekerja sama dengan Prancis merupakan pilihan rasional ekaligus pilihan strategis. Selain karena penguasaan state of the art teknologi militer, watak politik Gaullisme lebih menjamin keamanan dan kenyamaaan kerja sama partahanan. Dukungan Prancis terhadap Saudi Arabia dan UEA terkait konflik Yaman menjadi bukti kesetiaan Prancis terhadap negara sahabatnya. Tak kalah pentingnya, dengan ego sebagai negara besar dan orientasi politik luar negeri yang mengedepankan kepentingan nasional membuat Prancis relatif independen dalam menghadapi tekanan AS dan sekutu baratnya.

Semenjak membangun hubungan bilateral dengan Indonesia pada 1950, Prancis juga menunjukkan track record positif dan komitmen kuat untuk menjaga hubungan yang terbangun dan terus meningkatkan kerja sama, termasuk mendukung pengadaan alutsista dan membantu Indonesia agar mampu memproduksi alutsista secara mandiri.

DCA yang telah diteken kedua negara dan pertemuan two plus two menjadi milestone penting Indonesia dan Prancis untuk menatap masa depan kerja sama pertahanan lebih kuat. Seperti disampaikan Menhan Prabowo Subianto, melalui pertemuan two plus two ini Presiden Joko Widodo menghendaki peningkatan kerja sama di bidang pertahanan, termasuk di dalamnya program ToT dan akuisisi alutsista, berjalan signifikan. Dengan demikian, kerja sama di bidang pertahanan antar kedua negara bisa berjalan untuk jangka waktu yang panjang. (*)
(hdr)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1847 seconds (0.1#10.140)