Layakkah Prancis Menjadi Sahabat Sejati Indonesia?
loading...
A
A
A
Kedua, Prancis mendekati Indonesia dengan orientasi sebagai stepping stone mengamankan kepentingan mereka di Indo Pasifik untuk mengantisipasi ekskalasi konflik akibat langkah invansif China. Ketiga, sangat mungkin Prancis hadir di Indonesia untuk menunjukkan posisinya sebagai kekuatan dunia seperti dipertunjukkan pada kehadirannya di banyak negara Afrika, sejumlah negara Timur Tengah -seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar.
Keempat, pendekatan Prancis terhadap Indonesia berorientasi pragmatisme bisnis semata, yakni untuk jual beli Rafale, Airbus A400M, dan mengegolkan rencana pembelian Scorpene. Kelima, Prancis merupakan bagian dari Uni Eropa (UE). Dengan demikian, perilaku politik kolonial yang selalu mau menang sendiri seperti terjadi pada kasus gugatan minyak kelapa sawit dan kebijakan hilirisasi nikel akan tetap mewarnai bangunan kemitraan dengan Indonesia.
Ujung dari skeptisme ini adalah, apakah benar Prancis tepat dijadikan mitra strategis Indonesia? Apakah negeri Napoleon itu layak menjadi sahabat sejati yang konsisten saling dukung-mendukung dalam segala dinamika konflik, termasuk saat harus berhadapan dengan AS dan blok barat yang notabene merupakan teman aliansinya di UE ataupun NATO? Jangan-jangan kemitraan yang dibangun hanya sebatas pragmatisme semata, sehingga Prancis sangat rawan berubah sikap dan mencampakkan Indonesia?
baca juga: Indonesia Sepakat Borong 42 Jet Tempur Rafale Prancis
Jawaban atas pertanyaan tergantung sejumlah variabel, yakni bagaimana kebijakan politik luar negeri Prancis, termasuk vis a vis sekutunya di Nato maupun UE; bagaimana kebijakan penjualan alat utama sistem senjata (alutsista) Prancis ke negara lain, dalam hal ini terkait adanya pemberlakuan embargo militer; dan sejauh mana track record hubungan yang terjalin dengan Indonesia selama ini, khususnya dalam bidang pertahanan.
Gaullisme
Hubungan diplomatik antar-negara tentu berangkat dari prinsip-prinsip politik luar negeri masing-masing negara. Berdasar Encyclopaedia Britannica (2015), dinamika politik luar negeri dipengaruhi pertimbangan domestik, kebijakan, perilaku negara lain, atau rencana memajukan desain geopolitik tertentu.
Bagi Indonesia, politik luar negeri ditujukan untuk melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian abadi seperti tertuang dalam Alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945. Implementasinya dilakukan dengan prinsip politik luar negeri bebas dan aktif yang diabdikan untuk kepentingan nasional.
baca juga: Spesifikasi Mirage 2000-5, Pesawat Tempur Prancis yang Dibeli Indonesia
Sedangkan dari pihak Prancis, bangunan hubungan politik luar negerinya tak terlepas dari watak nasionalisme yang kuat, kebanggaan nasional, kecintaan pada sejarah, dan naluri untuk melestarikan budayanya. Karakter demikian misalnya diwujudkan dalam keanggotaannya dalam UE. Di komunitas yang menaungi negara-negara Eropa ini, Prancis menarasikan diri sebagai negara besar yang berposisi sebagai pendiri, memimpin UE bersama Jerman, dan menjadikannya sebagai wadah mengaltikurasikan kepentingan nasional.
Keempat, pendekatan Prancis terhadap Indonesia berorientasi pragmatisme bisnis semata, yakni untuk jual beli Rafale, Airbus A400M, dan mengegolkan rencana pembelian Scorpene. Kelima, Prancis merupakan bagian dari Uni Eropa (UE). Dengan demikian, perilaku politik kolonial yang selalu mau menang sendiri seperti terjadi pada kasus gugatan minyak kelapa sawit dan kebijakan hilirisasi nikel akan tetap mewarnai bangunan kemitraan dengan Indonesia.
Ujung dari skeptisme ini adalah, apakah benar Prancis tepat dijadikan mitra strategis Indonesia? Apakah negeri Napoleon itu layak menjadi sahabat sejati yang konsisten saling dukung-mendukung dalam segala dinamika konflik, termasuk saat harus berhadapan dengan AS dan blok barat yang notabene merupakan teman aliansinya di UE ataupun NATO? Jangan-jangan kemitraan yang dibangun hanya sebatas pragmatisme semata, sehingga Prancis sangat rawan berubah sikap dan mencampakkan Indonesia?
baca juga: Indonesia Sepakat Borong 42 Jet Tempur Rafale Prancis
Jawaban atas pertanyaan tergantung sejumlah variabel, yakni bagaimana kebijakan politik luar negeri Prancis, termasuk vis a vis sekutunya di Nato maupun UE; bagaimana kebijakan penjualan alat utama sistem senjata (alutsista) Prancis ke negara lain, dalam hal ini terkait adanya pemberlakuan embargo militer; dan sejauh mana track record hubungan yang terjalin dengan Indonesia selama ini, khususnya dalam bidang pertahanan.
Gaullisme
Hubungan diplomatik antar-negara tentu berangkat dari prinsip-prinsip politik luar negeri masing-masing negara. Berdasar Encyclopaedia Britannica (2015), dinamika politik luar negeri dipengaruhi pertimbangan domestik, kebijakan, perilaku negara lain, atau rencana memajukan desain geopolitik tertentu.
Bagi Indonesia, politik luar negeri ditujukan untuk melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian abadi seperti tertuang dalam Alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945. Implementasinya dilakukan dengan prinsip politik luar negeri bebas dan aktif yang diabdikan untuk kepentingan nasional.
baca juga: Spesifikasi Mirage 2000-5, Pesawat Tempur Prancis yang Dibeli Indonesia
Sedangkan dari pihak Prancis, bangunan hubungan politik luar negerinya tak terlepas dari watak nasionalisme yang kuat, kebanggaan nasional, kecintaan pada sejarah, dan naluri untuk melestarikan budayanya. Karakter demikian misalnya diwujudkan dalam keanggotaannya dalam UE. Di komunitas yang menaungi negara-negara Eropa ini, Prancis menarasikan diri sebagai negara besar yang berposisi sebagai pendiri, memimpin UE bersama Jerman, dan menjadikannya sebagai wadah mengaltikurasikan kepentingan nasional.