Layakkah Prancis Menjadi Sahabat Sejati Indonesia?
loading...
A
A
A
Watak politik Prancis yang mengedepankan kebanggaan dan kepentingan nasional tergambar jelas di era kepemimpinan Charles De Gaulle. Sebagai pendiri PBB dan pemegang mandat anggota tetap Dewan Keamanan (DK) PBB, pendiri Komunitas Batubara dan Baja Eropa (pendahulu Uni Eropa), Prancis menunjukkan jati dirinya dengan mencoba memblokade pengaruh Amerika Serikat (AS) dan Inggris di komunitas Eropa.
Selama kepemimpinannya, De Gaulle mereorientasi kebijakan politik luar negeri Prancis dari pengikut AS menjadi lebih dekat dengan negara-negara non-blok dan berupaya menempatkan dirinya di posisi leader, terutama di kawasan Afrika. Langkah tersebut belakangan menarik minat negara-negar Timur Tengah karena para pemimpin di wilayah itu merasa bisa secara bebas menjalankan kepentingan nasionalnya tanpa terikat pada salah satu blok aliansi. De Gaulle berkeinginan kebijakan yang diusung menjadi landasan bersama membangun hubungan antarbangsa.
Kebijakan luar negeri yang tidak lagi sejalan dengan AS atau sekutu barat lainnya dimanifestasikan De Gaulle dalam momen krusial seperti menentang langkah ekspansif Israel pada Palestina dan menggunakan hak veto-nya di DK PBB, serta memihak negara-negara Arab dalam hampir semua masalah yang dibawa ke badan internasional. Untuk alutsista, De Gaulle bahkan memberlakukan embargo senjata terhadap negara Israel, dan di sisi lain kembali menjual persenjataan ke negara-negara Arab. Dampaknya, Prancis mendapat lonjakan kontrak alutsista dari banyak negara, terutama dari Timur Tengah.
baca juga: Menteri Suharso Ingin Perkuat Kerja Sama dengan Perancis
Jika ditelusuri, ego Prancis secara langsung atau tidak langsung muncul dari sejarah besar yang mereka ukir. Betapa tidak, negeri tersebut adalah salah satu negara kolonial dengan wilayah jajahan terluas di dunia. Penjajahan ini selaras dengan perkembangan kebudayaan mereka, terutama penggunaan bahasa Prancis. Kondisi tersebut bisa disaksikan di sebagian besar negara di benua Afrika.
Sikap yang kemudian dikonsepsikan sebagai Gaullisme juga ditunjukkan Jacques Chirac. Indikatornya adalah penolakannya terhadap serangan ke Irak pada 2003, bersama Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden China Hu Jintao, dan Kanselir Jerman Gerhard Schröder. Chirac bahkan tampil sebagai penentang utama perang yang dikomandoi Presiden AS George W. Bush dan Perdana Menteri (PM) Inggris Tony Blair, hingga mengancam akan mem-veto resolusi di DK PBB yang akan mengizinkan penggunaan kekuatan militer untuk membersihkan Irak dari dugaan kepemilikan senjata pemusnah massal.
Pun kebijakan Emmanuel Macron. Dia mempertajam hubungannya dengan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) dengan fokus tetap pada pembuktian Prancis sebagai kekuatan dunia. Malahan, Macron aktif mendukung keterlibatan kedua negara dalam perang sipil Yaman dan tidak menggubris suara sumbang dari organisasi HAM. Prancis juga menjadi salah satu pemasok senjata penting, seperti kesepakatan Macron dengan Uni UEA pada 2021 untuk memborong alutsista senilai 16 miliar Euro. Pembelian di antaranya untuk akusisi 80 pesawat tempur Rafale yang ditingkatkan.
Jejak Kerja Sama Alutsista
Sebagai negara berkembang dengan wilayah kepulauan yang sangat luas dan berada di persilangan jalur utama pelayaran dunia, Indonesia membutuhkan alutsista mumpuni untuk memastikan terjaminnya pertahanan dan keamanan. Untuk itulah, pemerintah mencari berbagai jenis alutsista dari negara-negara produsen utama dunia seperti AS, Rusia, Inggris, Prancis, Turki dan negara lainnya.
Dengan Prancis, Indonesia pada 1960-an tercatat mendatangkan 275 tank AMX-13. Tank ringan tersebut hingga kini masih aktif beroperasi setelah mengalami program retrofit. Alutsista terkemuka buatan Prancis lain yang diakusisi Indonesia adalah rudal strategis Exocet, tepatnya di tahun 1980-an. Hingga kini TNI AL masih menjadi pengguna rudal tersebut. Radar yang digunakan TNI AU juga buatan pabrikan Prancis, Thales, yakni radar Thomson Alutsista asal Prancis lainnya yang menjadi tulang punggung pertahanan Indonesia adalah meriam Caesar 155 produksi Nexter.
Selama kepemimpinannya, De Gaulle mereorientasi kebijakan politik luar negeri Prancis dari pengikut AS menjadi lebih dekat dengan negara-negara non-blok dan berupaya menempatkan dirinya di posisi leader, terutama di kawasan Afrika. Langkah tersebut belakangan menarik minat negara-negar Timur Tengah karena para pemimpin di wilayah itu merasa bisa secara bebas menjalankan kepentingan nasionalnya tanpa terikat pada salah satu blok aliansi. De Gaulle berkeinginan kebijakan yang diusung menjadi landasan bersama membangun hubungan antarbangsa.
Kebijakan luar negeri yang tidak lagi sejalan dengan AS atau sekutu barat lainnya dimanifestasikan De Gaulle dalam momen krusial seperti menentang langkah ekspansif Israel pada Palestina dan menggunakan hak veto-nya di DK PBB, serta memihak negara-negara Arab dalam hampir semua masalah yang dibawa ke badan internasional. Untuk alutsista, De Gaulle bahkan memberlakukan embargo senjata terhadap negara Israel, dan di sisi lain kembali menjual persenjataan ke negara-negara Arab. Dampaknya, Prancis mendapat lonjakan kontrak alutsista dari banyak negara, terutama dari Timur Tengah.
baca juga: Menteri Suharso Ingin Perkuat Kerja Sama dengan Perancis
Jika ditelusuri, ego Prancis secara langsung atau tidak langsung muncul dari sejarah besar yang mereka ukir. Betapa tidak, negeri tersebut adalah salah satu negara kolonial dengan wilayah jajahan terluas di dunia. Penjajahan ini selaras dengan perkembangan kebudayaan mereka, terutama penggunaan bahasa Prancis. Kondisi tersebut bisa disaksikan di sebagian besar negara di benua Afrika.
Sikap yang kemudian dikonsepsikan sebagai Gaullisme juga ditunjukkan Jacques Chirac. Indikatornya adalah penolakannya terhadap serangan ke Irak pada 2003, bersama Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden China Hu Jintao, dan Kanselir Jerman Gerhard Schröder. Chirac bahkan tampil sebagai penentang utama perang yang dikomandoi Presiden AS George W. Bush dan Perdana Menteri (PM) Inggris Tony Blair, hingga mengancam akan mem-veto resolusi di DK PBB yang akan mengizinkan penggunaan kekuatan militer untuk membersihkan Irak dari dugaan kepemilikan senjata pemusnah massal.
Pun kebijakan Emmanuel Macron. Dia mempertajam hubungannya dengan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) dengan fokus tetap pada pembuktian Prancis sebagai kekuatan dunia. Malahan, Macron aktif mendukung keterlibatan kedua negara dalam perang sipil Yaman dan tidak menggubris suara sumbang dari organisasi HAM. Prancis juga menjadi salah satu pemasok senjata penting, seperti kesepakatan Macron dengan Uni UEA pada 2021 untuk memborong alutsista senilai 16 miliar Euro. Pembelian di antaranya untuk akusisi 80 pesawat tempur Rafale yang ditingkatkan.
Jejak Kerja Sama Alutsista
Sebagai negara berkembang dengan wilayah kepulauan yang sangat luas dan berada di persilangan jalur utama pelayaran dunia, Indonesia membutuhkan alutsista mumpuni untuk memastikan terjaminnya pertahanan dan keamanan. Untuk itulah, pemerintah mencari berbagai jenis alutsista dari negara-negara produsen utama dunia seperti AS, Rusia, Inggris, Prancis, Turki dan negara lainnya.
Dengan Prancis, Indonesia pada 1960-an tercatat mendatangkan 275 tank AMX-13. Tank ringan tersebut hingga kini masih aktif beroperasi setelah mengalami program retrofit. Alutsista terkemuka buatan Prancis lain yang diakusisi Indonesia adalah rudal strategis Exocet, tepatnya di tahun 1980-an. Hingga kini TNI AL masih menjadi pengguna rudal tersebut. Radar yang digunakan TNI AU juga buatan pabrikan Prancis, Thales, yakni radar Thomson Alutsista asal Prancis lainnya yang menjadi tulang punggung pertahanan Indonesia adalah meriam Caesar 155 produksi Nexter.