Menelisik Fenomena Rokok Ilegal
loading...
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Menteri Keuangan RI
Dinamika isu yang bergulir dalam Industri Hasil Tembakau (IHT) di Indonesia nyaris tak pernah habis dikupas. Fakta bahwa industri hasil tembakau di Indonesia kerap dihadapkan kepada situasi dilematik dan kontroversi mutlak adanya.
Peran IHT ekonomi nasional dan dampak negatif yang ditimbulkannya bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan selalu menjadi dua mata sisi berlawanan. Berbagai isu pro dan kontra berkaitan dengan IHT pun terus bergulir. Beberapa hal yang kerap muncul adalah peredaran rokok ilegal, Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT), bahkan menyerempet ke persoalan stunting dan Penyakit Tidak Menular (PTM).
Tembakau diketahui adalah salah satu komoditas perkebunan dan perdagangan yang penting di Indonesia. Ini karena komoditas tembakau dan berbagai produk turunannya mempunyai nilai ekonomi tinggi.
Salah satu peran komoditas tembakau yang cukup nyata dalam perekonomian nasional adalah sebagai sumber penerimaan negara dari cukai. Tercatat, nilai penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT) dari tahun ke tahun terus meningkat dari Rp139,12 triliun pada 2014 menjadi Rp218,62 triliun pada 2022. Peningkatan CHT tersebut terutama dipengaruhi oleh kebijakan penyesuaian tarif CHT yang juga terus mengalami peningkatan.
Pada perkembangannya, realisasi penerimaan cukai hampir setiap tahun selalu tercapai sesuai target yang ditetapkan dalam APBN. Bahkan, pencapaian tertinggi kontribusi penerimaan CHT berhasil ditorehkan pada 2020 ketika volume produksi Industri Hasil Tembakau (IHT) turun signifikan hinggaminus10% dan kala itu juga Indonesia tengah berada dalam jurang resesi ekonomi akibat pandemi. Pada 2020, kontribusi CHT terhadap total penerimaan nasional tumbuh hingga 13% terhadap total penerimaan nasional.
Di sisi lain, di tengah tren keberhasilan kenaikan penerimaan CHT, produksi rokok memperlihatkan kecenderungan penurunan. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, volume produksi rokok pada 2021 sebanyak 334,8 miliar batang, lebih rendah dibanding 2019 yang mencapai 356,6 miliar batang. Kecenderungan penurunan volume produksi pun diprediksi kembali terjadi di 2022 akibat adanya kenaikan tarif cukai, adanya penyesuaian Harga Jual Ecer (HJE) minimum dan simplifikasi.
Tren penurunan volume produksi tersebut diiringi banyaknya pabrikan rokok yang gulung tikar. Data menunjukan, pada 2021 hanya tersisa 1003 pabrikan rokok. Bandingkan dengan 2007 yang jumlah pabrikan rokoknya mencapai 4.793 unit.
Kini, untuk pertama kalinya sejak 10 tahun terakhir, penetapan tarif CHT dilakukan sekaligus untuk dua tahun berturut-turut, di mana kenaikan cukai rata-rata untuk seluruh jenis rokok sebesar 10% setiap tahunnya untuk 2023 dan 2024.
Kenaikan cukai rokok tersebut secara resmi telah tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 191 Tahun 2022. Pada beleid tersebut telah diatur pula batasan harga jual eceran rokok dan tarif cukai per batang atau gram hasil tembakau buatan dalam negeri tahun 2023 dan 2024. Adapun alasan di balik keputusan pemerintah untuk menaikkan tarif CHT tak lain adalah untuk mengendalikan konsumsi rokok.
Staf Khusus Menteri Keuangan RI
Dinamika isu yang bergulir dalam Industri Hasil Tembakau (IHT) di Indonesia nyaris tak pernah habis dikupas. Fakta bahwa industri hasil tembakau di Indonesia kerap dihadapkan kepada situasi dilematik dan kontroversi mutlak adanya.
Peran IHT ekonomi nasional dan dampak negatif yang ditimbulkannya bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan selalu menjadi dua mata sisi berlawanan. Berbagai isu pro dan kontra berkaitan dengan IHT pun terus bergulir. Beberapa hal yang kerap muncul adalah peredaran rokok ilegal, Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT), bahkan menyerempet ke persoalan stunting dan Penyakit Tidak Menular (PTM).
Tembakau diketahui adalah salah satu komoditas perkebunan dan perdagangan yang penting di Indonesia. Ini karena komoditas tembakau dan berbagai produk turunannya mempunyai nilai ekonomi tinggi.
Salah satu peran komoditas tembakau yang cukup nyata dalam perekonomian nasional adalah sebagai sumber penerimaan negara dari cukai. Tercatat, nilai penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT) dari tahun ke tahun terus meningkat dari Rp139,12 triliun pada 2014 menjadi Rp218,62 triliun pada 2022. Peningkatan CHT tersebut terutama dipengaruhi oleh kebijakan penyesuaian tarif CHT yang juga terus mengalami peningkatan.
Pada perkembangannya, realisasi penerimaan cukai hampir setiap tahun selalu tercapai sesuai target yang ditetapkan dalam APBN. Bahkan, pencapaian tertinggi kontribusi penerimaan CHT berhasil ditorehkan pada 2020 ketika volume produksi Industri Hasil Tembakau (IHT) turun signifikan hinggaminus10% dan kala itu juga Indonesia tengah berada dalam jurang resesi ekonomi akibat pandemi. Pada 2020, kontribusi CHT terhadap total penerimaan nasional tumbuh hingga 13% terhadap total penerimaan nasional.
Di sisi lain, di tengah tren keberhasilan kenaikan penerimaan CHT, produksi rokok memperlihatkan kecenderungan penurunan. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, volume produksi rokok pada 2021 sebanyak 334,8 miliar batang, lebih rendah dibanding 2019 yang mencapai 356,6 miliar batang. Kecenderungan penurunan volume produksi pun diprediksi kembali terjadi di 2022 akibat adanya kenaikan tarif cukai, adanya penyesuaian Harga Jual Ecer (HJE) minimum dan simplifikasi.
Tren penurunan volume produksi tersebut diiringi banyaknya pabrikan rokok yang gulung tikar. Data menunjukan, pada 2021 hanya tersisa 1003 pabrikan rokok. Bandingkan dengan 2007 yang jumlah pabrikan rokoknya mencapai 4.793 unit.
Kini, untuk pertama kalinya sejak 10 tahun terakhir, penetapan tarif CHT dilakukan sekaligus untuk dua tahun berturut-turut, di mana kenaikan cukai rata-rata untuk seluruh jenis rokok sebesar 10% setiap tahunnya untuk 2023 dan 2024.
Kenaikan cukai rokok tersebut secara resmi telah tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 191 Tahun 2022. Pada beleid tersebut telah diatur pula batasan harga jual eceran rokok dan tarif cukai per batang atau gram hasil tembakau buatan dalam negeri tahun 2023 dan 2024. Adapun alasan di balik keputusan pemerintah untuk menaikkan tarif CHT tak lain adalah untuk mengendalikan konsumsi rokok.