Perlukah Mengganti UU Perfilman?

Senin, 20 Februari 2023 - 12:09 WIB
loading...
Perlukah Mengganti UU Perfilman?
Kemala Atmojo, Peminat Filsafat, Hukum, dan Seni. Foto/Dok Kemala Atmojo
A A A
Kemala Atmojo, Peminat Filsafat, Hukum, dan Seni

Inilah salah satu contoh sebuah undang-undang yang mengundang kontroversi sejak hari pertama kelahirannya, yakni Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Bahkan ketika masih “dalam kandungan”, sudah terjadi perbedaan pendapat antara F-PDIP dengan Panitia Kerja (Panja) Komisi X yang membahas RUU Perfilman ini. Beberapa usulan F-PDIP tidak disertujui oleh Panja. Mungkin itu sebabnya saya tidak menemukan dokumen persetujuan F-PDIP sebelum RUU itu disahkan dalam rapat paripurna.

Lalu, suatu kali, dalam sebuah rapat di kantor Badan Perfilman Indonesia (BPI), Slamet Raharjo, salah seorang tokoh perfilman kita, mengambil undang-undang perfilman yang ada di depan saya dan langsung membantingnya ke lantai. Slamet Raharjo termasuk salah seorang yang tidak puas terhadap UU tersebut. Saya sendiri, di tahun 2016, misalnya, setidaknya dua kali menulis artikel di media massa agar UU perfilman ini segera diganti.

Ada banyak sebab kenapa UU ini harus segera diganti. Alasan umumnya, apa artinya undang-undang jika tidak memiliki daya guna dalam praktek sehari-hari? Jika sebuah undang-undang tidak berdaya guna dan berhasil guna, itu berarti salah satu dimensi peraturan perundang-undangan, yakni dimensi efektitivitas pelaksanaan peraturan perundang-undangan, tidak jalan. Itu berarti pula bahwa asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tidak terpenuhi.

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 ini adalah pengganti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992. Cita-cita penggantian undang-undang lama itu, seperti yang tertera pada konsideran “menimbang” dan penjelasan, sebenarnya cukup bagus, yakni menentukan paradigma baru dengan cara menggeser perfilman yang sebelumnya kental unsur politiknya, ke arah rumpun kebudayaan yang berorientasi memadukan aspek keindahan, kecanggihan teknologi, dan fungsi ekonomi. Undang-undang lama dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan perfilman dan semangat zamannya, karena itu perlu diganti.

Sayangnya, dalam pembuatan pasal-pasalnya banyak yang tidak jelas rumusannya dan beberapa pasal berpotensi tabrakan dengan undang-undang lainnya. Salah satu pasal yang kerap menjadi percekcokan waktu itu adalah Pasal 32, yang intinya menyatakan bahwa pelaku usaha pertunjukan film (bioskop) wajib mempertunjukkan film Indonesia sekurang-kurangnya 60 persen dari seluruh jam pertunjukan film yang dimilikinya selama 6 (enam) bulan berturut-turut.

Bunyi pasal yang sepintas tampak terang benderang itu ternyata mengandung masalah. Kenapa? Pertama, kata kunci dari kalimat itu adalah “jam pertunjukan”, bukan “judul film”. Dalam bahasa teknis, ini disebut screen time quota. Bukan screen title quota. Artinya, judul bisa berapa saja, yang penting jumlah jamnya memenuhi aturan. Jadi, bisa saja sebuah jaringan bioskop “memanteng” satu judul film sekadar untuk memenuhi ketentuan itu. Dan jika hal ini dipaksakan, maka bioskop tidak berjaringan yang hanya memiliki beberapa layar, bakal sekarat duluan. Kedua, apa yang dimaksud dengan “film Indonesia” juga tidak dijelaskan secara rinci. Apakah film kerjasama dengan luar negeri termasuk film Indonesia? Apakah film yang dibuat di luar negeri tapi dengan sutradara orang Indonesia itu film Indonesia, dan seterusnya.

Penjelasan pasal 32 itu malah memperumit persoalan. Dikatakan bahwa yang dimaksud dengan “wajib mempertunjukkan film Indonesia sekurang-kurangnya 60 persen dari seluruh jam pertunjukan film yang dimilikinya selama 6 (enam) bulan berturut-turut tidak berarti memperbolehkan pertunjukan film yang tidak bermutu”. Pertanyaannya: siapa yang menentukan sebuah film itu bermutu atau tidak? Pemilik film, pemilik bioskop, penonton, kritikus, atau siapa? Tidak ada keterangannya.

Lalu, pasal serta penjelasan mengenai status Badan Perfilman Indonesia (BPI) juga menimbulkan multitafsir (Pasal 68). BPI dalam Undang-Undang Nomor 33 itu disebut sebagai lembaga swasta dan bersifat mandiri. Namun, BPI ini dikukuhkan oleh Presiden. Kemudian, dalam hal sumber dana, pasal 70, disebutkan bahwa pembiayaan BPI berasal dari pemangku kepentingan, sumber lain yang tidak mengikat, dan bantuan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapat dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBN/APBD) bersifat hibah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Uniknya, dalam penjelasan undang-undang dikatakan secara tegas bahwa mengingat peran strategis perfilman, pembiayaan pengembangan lembaga sensor film dan badan perfilman perfilman Indonesia dialokasikan dalam ABPN dan APBD. Kata “dialokasikan” tentu berbeda makna dengan “hibah”. Hal-hal semacam itulah yang membuat BPI tidak bisa menjalankan semua tugas yang diamanatkan kepadanya
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3316 seconds (0.1#10.140)