Dispute Royalti Ilustrasi dalam Film

Senin, 04 September 2023 - 11:32 WIB
loading...
Dispute Royalti Ilustrasi dalam Film
Kemala Atmojo - Peminat Filsafat, Hukum, dan Seni. Foto/Dok Pribadi
A A A
Kemala Atmojo
Peminat Filsafat, Hukum, dan Seni

Ada pertanyaan yang tampaknya sederhana tetapi tidak mudah memberi jawaban yang memuaskan semua orang, yakni siapa sebenarnya “Pencipta” sebuah karya film (sinematografi)? Apakah feature film itu sebuah original works; derrivatif works atau reproductive works? Kesulitan itu bukan hanya karena di dalam film ada banyak unsur yang terlibat, tetapi juga mesti dilihat bagaimana proses awal sebuah film (fiksi) itu diwujudkan.

Pertanyaannya akan lebih mudah dijawab jika diubah menjadi: Siapakah “Pemegang Hak Cipta” sebuah karya film? Sebab definisi “Pemegang Hak Cipta” lebih mudah dimengerti atau lebih umum. Tak hanya menyangkut soal film. Seperti disebutkan dalam UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC): “Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai pemilik Hak Cipta, pihak yang menerima hak tersebut secara sah dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut secara sah.” Jadi, meskipun seseorang itu bukan Pencipta sebuah karya, ia bisa dianggap sebagai Pemegang hak cipta sebuah karya asal menerima hak itu secara sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Tetapi, kali ini saya ingin mengeksplorasi soal lain yang tak kalah serunya, yakni penarikan royalti ilustrasi di dalam film. .

Hampir setiap tahun, terjadi dispute mengenai penarikan royalti musik di cafe, restoran, hotel, pusat perbelanjaan, bioskop, dan tempat-tempat sejenis lainnya. Bahkan kali ini lebih spesifik, yakni penarikan royalti ilustrasi musik atas nama Pelaku Pertunjukan kepada pihak pengelola bioskop. Dan yang hendak ditarik bayaran bukan musik yang ada di lobi bioskop, tetapi ilustrasi musik yang di dalam film.

Tentu saja ini suatu yang baru dan mengagetkan bagi banyak insan perfilman Indonesia. Bagaimana mungkin ilustrasi musik yang sudah dibayar oleh Produser ketika berkontrak dengan pembuatnya itu kini harus membayar lagi ketika film tersebut ditayangkan di bioskop. Kali ini yang menagih adalah Lembaga Manajeman Kolektif Nasional (LMKN) yang memberi kuasa kepada salah satu Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) yang bernama Wahana Musik Indonesia (WAMI).

Dalam bisnis perfilman, yang hendak dibuat oleh pemilik Production House (PH), investor, atau Produser (selanjutnya kita sebut saja Produser) adalah sebuah karya film (sinematografi). Bukan membuat pertunjukan musik, video pertunjukan musik, atau fiksasi karya musik. Penonton yang datang ke bioskop bukan untuk menonton pertunjukan musik, video klip pertunjukan musik, atau mendengarkan ilustrasi musik..

Musik (yang definisinya pun bisa diperdebatkan) atau ilustrasi musik di dalam film adalah salah satu bagian atau komponen saja di antara sekian banyak komponen lain, misalnya cerita, skenario, pemain, kamera, penyutradaraan, dan lain-lain. Hasil akhir dari aneka komponen itu adalah sebuah film cerita (feature film) yang akan dipertontonkan kepada masyarakat.

Tujuan utama seorang Produser dalam berkontrak dengan pencipta lagu, ilustrator musik, atau pemilik/pemegang hak cipta musik, adalah untuk dijadikan salah satu bagian dari sebuah film. Aneh bin ajaib kalau ada Produser film komersial setelah membayar para pekerja kreatif itu lalu filmnya hanya untuk disimpan di dalam gudang atau ditonton sendiri.

Di dalam kontrak antara Produser dan pekerja kreatif umumnya sudah disebutkan bahwa Produser bukan hanya membayar untuk sinkronisasi dan reproduksi, tetapi juga sekaligus untuk penayangannya (sebagai satu kesatuan dengan komponen lainnya) di bioskop atau platform lain. Itu sebabnya, di Amerika Serikat atau di Korea Selatan, misalnya, tidak ada pembayaran lagi kepada pekerja kreatif dari sebuah film yang sudah jadi.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1321 seconds (0.1#10.140)