Perlukah Mengganti UU Perfilman?
loading...
A
A
A
Kemala Atmojo, Peminat Filsafat, Hukum, dan Seni
Inilah salah satu contoh sebuah undang-undang yang mengundang kontroversi sejak hari pertama kelahirannya, yakni Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Bahkan ketika masih “dalam kandungan”, sudah terjadi perbedaan pendapat antara F-PDIP dengan Panitia Kerja (Panja) Komisi X yang membahas RUU Perfilman ini. Beberapa usulan F-PDIP tidak disertujui oleh Panja. Mungkin itu sebabnya saya tidak menemukan dokumen persetujuan F-PDIP sebelum RUU itu disahkan dalam rapat paripurna.
Lalu, suatu kali, dalam sebuah rapat di kantor Badan Perfilman Indonesia (BPI), Slamet Raharjo, salah seorang tokoh perfilman kita, mengambil undang-undang perfilman yang ada di depan saya dan langsung membantingnya ke lantai. Slamet Raharjo termasuk salah seorang yang tidak puas terhadap UU tersebut. Saya sendiri, di tahun 2016, misalnya, setidaknya dua kali menulis artikel di media massa agar UU perfilman ini segera diganti.
Ada banyak sebab kenapa UU ini harus segera diganti. Alasan umumnya, apa artinya undang-undang jika tidak memiliki daya guna dalam praktek sehari-hari? Jika sebuah undang-undang tidak berdaya guna dan berhasil guna, itu berarti salah satu dimensi peraturan perundang-undangan, yakni dimensi efektitivitas pelaksanaan peraturan perundang-undangan, tidak jalan. Itu berarti pula bahwa asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tidak terpenuhi.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 ini adalah pengganti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992. Cita-cita penggantian undang-undang lama itu, seperti yang tertera pada konsideran “menimbang” dan penjelasan, sebenarnya cukup bagus, yakni menentukan paradigma baru dengan cara menggeser perfilman yang sebelumnya kental unsur politiknya, ke arah rumpun kebudayaan yang berorientasi memadukan aspek keindahan, kecanggihan teknologi, dan fungsi ekonomi. Undang-undang lama dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan perfilman dan semangat zamannya, karena itu perlu diganti.
Sayangnya, dalam pembuatan pasal-pasalnya banyak yang tidak jelas rumusannya dan beberapa pasal berpotensi tabrakan dengan undang-undang lainnya. Salah satu pasal yang kerap menjadi percekcokan waktu itu adalah Pasal 32, yang intinya menyatakan bahwa pelaku usaha pertunjukan film (bioskop) wajib mempertunjukkan film Indonesia sekurang-kurangnya 60 persen dari seluruh jam pertunjukan film yang dimilikinya selama 6 (enam) bulan berturut-turut.
Bunyi pasal yang sepintas tampak terang benderang itu ternyata mengandung masalah. Kenapa? Pertama, kata kunci dari kalimat itu adalah “jam pertunjukan”, bukan “judul film”. Dalam bahasa teknis, ini disebut screen time quota. Bukan screen title quota. Artinya, judul bisa berapa saja, yang penting jumlah jamnya memenuhi aturan. Jadi, bisa saja sebuah jaringan bioskop “memanteng” satu judul film sekadar untuk memenuhi ketentuan itu. Dan jika hal ini dipaksakan, maka bioskop tidak berjaringan yang hanya memiliki beberapa layar, bakal sekarat duluan. Kedua, apa yang dimaksud dengan “film Indonesia” juga tidak dijelaskan secara rinci. Apakah film kerjasama dengan luar negeri termasuk film Indonesia? Apakah film yang dibuat di luar negeri tapi dengan sutradara orang Indonesia itu film Indonesia, dan seterusnya.
Penjelasan pasal 32 itu malah memperumit persoalan. Dikatakan bahwa yang dimaksud dengan “wajib mempertunjukkan film Indonesia sekurang-kurangnya 60 persen dari seluruh jam pertunjukan film yang dimilikinya selama 6 (enam) bulan berturut-turut tidak berarti memperbolehkan pertunjukan film yang tidak bermutu”. Pertanyaannya: siapa yang menentukan sebuah film itu bermutu atau tidak? Pemilik film, pemilik bioskop, penonton, kritikus, atau siapa? Tidak ada keterangannya.
Lalu, pasal serta penjelasan mengenai status Badan Perfilman Indonesia (BPI) juga menimbulkan multitafsir (Pasal 68). BPI dalam Undang-Undang Nomor 33 itu disebut sebagai lembaga swasta dan bersifat mandiri. Namun, BPI ini dikukuhkan oleh Presiden. Kemudian, dalam hal sumber dana, pasal 70, disebutkan bahwa pembiayaan BPI berasal dari pemangku kepentingan, sumber lain yang tidak mengikat, dan bantuan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapat dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBN/APBD) bersifat hibah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Uniknya, dalam penjelasan undang-undang dikatakan secara tegas bahwa mengingat peran strategis perfilman, pembiayaan pengembangan lembaga sensor film dan badan perfilman perfilman Indonesia dialokasikan dalam ABPN dan APBD. Kata “dialokasikan” tentu berbeda makna dengan “hibah”. Hal-hal semacam itulah yang membuat BPI tidak bisa menjalankan semua tugas yang diamanatkan kepadanya
Contoh-contoh “kelemaham” lain bisa saja diteruskan, tetapi bakal terlalu panjang. Misalnya, potensi tabrakan dengan undang-undang pemerintahan daerah, undang-undang hak cipta, dan lain-lain. Tetapi dari dua contoh pasal di atas saja (Pasal 32 dan Pasal 68) sudah menunjukkan bahwa Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 itu tidak memenuhi dimensi Kejelasan Rumusan. Kita tahu, penyusunan peraturan perundang-undangan harus sesuai dengan teknik yang sudah ditentukan. Selain itu, dalam penggunaan bahasa, istilah dan kata, harus lugas, pasti dan digunakan secara konsisten. Semua itu agar jelas batasan pengertiannya dan tidak menimbulkan ambiguitas atau multitafsir.
Sebagai tambahan, rupa-rupanya pembentukan BPI yang merupakan representasi dan wujud dari peran serta masyarakat itu, meniru -- kalau tak boleh disebut sebagai copy paste -- Badan Promosi Pariwisata Indonesia (BPPI) yang ada dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Dalam Pasal 36 undang-undang Kepariwisataan dikatakan bahwa pemerintah memfasilitasi pembentukan BPPI yang berkedudukan di ibu kota negara; BPPI sebagaimana dimaksud merupakan lembaga swasta dan bersifat mandiri; dan Pembentukan BPPI sebagaimana dimaksud ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Sama persis dengan BPI. Kesamaan juga terjadi pada pasal pendanaan kedua badan ini.
Setelah melakukan beberapa kali pertemuan dengan insan perfilman, akhir April 2016, Panitia Kerja (Panja) Perfilman Komisi X DPR mengumumkan hasilnya kepada publik. Salah satu sorotan Panja adalah soal revisi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009. Dalam kesimpulannya, Panja dapat menerima usul revisi atau penggantian karena UU Perfilman memiliki beberapa kelemahan dalam pengaturan tentang perlindungan dan penghormatan hak cipta film, pendidikan film, serta perlunya penguatan kelembagaan Badan Perfilman Indonesia (BPI). Tetapi sampai hari ini, revisi atau pengggantian undang-undang Nomor 33 Tahun 2009 ini belum terjadi, meskipun sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas 2020-2024). .
Panja perfilman sepertinya menyadari betapa pentingnya perlindungan hak cipta. Seperti dikatakan Hernando de Soto dalam Mystery of Capital bahwa pengakuan, jaminan, dan perlindungan hak cipta atau hak-hak milik rakyat secara legal merupakan pilar-pilar hubungan sosial yang amat penting untuk menghasilkan modal, uang, wirausaha, dan bisnis. Ini disebut De Soto sebagai sistem perlindungan formal.
Menurut De Soto, sistem perlindungan formal tersebut adalah rahasia atau misteri mengapa kapital dan investasi dapat tumbuh dan berkembang di Eropa dan Amerika Serikat yang hanya dihuni oleh satu miliar penduduk. Dan ini sekaligus menjadi alasan mengapa kapital dan investasi tidak tumbuh di negara dengan lima miliar penduduk seperti Asia, Afrika, dan Amerika Selatan menjelang akhir abad ke-20. Hal itu disebabkan di Eropa dan Amerika Serikat terdapat pengakuan, jaminan, dan perlindungan hukum terhadap hak-hak dasar rakyat, termasuk hak cipta. Adapun di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan, sangat rapuh pengakuan, jaminan, dan perlindungan hukum atas hak-hak dasar rakyatnya. Maka, sebaiknya masalah hak cipta ini juga menjadi perhatian dalam penggantian undang-hudang perfilman nantinya.
Lalu, efektif atau tidaknya sebuah peraturan perundang-undangan bisa dilihat dari berbagai parameter. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah ditentukan asas-asas hukum yang harus dipenuhi sebagai syarat pembentukan perundang-undangan yang baik, yakni kejelasan tujuan, kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; kesesuaian antara jenis dan materi muatan; dapat dilaksanakan; kedayagunaan dan kehasilgunaan; kejelasan rumusan; dan keterbukaan. Maka, jika ada undang-undang yang tidak jelas rumusannya, misalnya, hal itu akan mempengaruhi kedayagunaannya.
Hukum yang baik adalah yang ditaati karena masyarakat menyetujuinya. Ancaman hanya berfungsi sebagai penunjang, karena yang penting adalah kesediaan masyarakat untuk tidak melanggar tatanan yang sudah diatur. Anthony Allott (Valparaiso University Law Review, 1981) mengajukan teori bahwa efektivitas hukum dapat diukur dari level kepatuhan atau cocok dan tidaknya suatu hukum dengan kebutuhan. Jadi, konsep dan definisi efektivitas hukum ini mencakup pemilihan, penerapan, penegakan, manfaat, dan kepatuhan. Inilah yang tidak terjadi pada undang-undang perfilman kita. UU tersebut, telah terbukti bahwa baik secara teoretis maupun praktis, tidak efektif dalam usaha mengembangkan perfilman nasional.
Tetapi sekarang zaman sudah berubah lagi. Kemajuan teknologi komunikasi dengan Internetnya telah mengubah banyak hal, terutama dengan lahirnya aneka platform Over The Top (OTT). Dalam hal penayangan film, misalnya, meski bioskop tetap menjadi primadona dan masih belum terkalahkan, telah muncul alternatif lain untuk menonton film seperti Netflix, Amazon Prime, Viu, Tencent, Vidio, Maxtream, HBOgo, Disney+, WeTV, iQIYI, dan lain-lain. Sedangkan untuk hiburan lain orang bisa menonton melalui YouTube, Dailymotion, Plex, Nimo TV, Metacafe, Plex, dan lain-lain. Namun, perlu diingat, pada platform OTT ini potensi pelanggaran hak cipta juga bisa semakin banyak. Lalu, bagi pemilik film, dalam platform OTT tidak dikenal istilah “meledak”, booming, atau “jackpot” yang bisa menghasilkan pendapatan di luar ekspektasi sang produser.
Jadi, apakah di zaman baru ini kita masih perlu undang-undang perfilman yang njelimet? Tidak cukupkah peraturan perundangan lain di bawah undang-undang saja? Misalnya Peraturan Menteri? Semua itu tergantung insan perfilman sendiri. Ada baiknya juga menengok bagaimana negara-negara maju mengatur perfilman mereka.. Kalau toh insan perfilman kita tetap menganggap perlu adanya undang-undang, barangkali yang perlu diatur hal-hal yang memang dianggap penting atau prinsip saja agar lebih fleksibel dan tidak cepat ketinggalan zaman. Tapi, sekali lagi, silakan saja apa maunya insan perfilman Indonesia.
Inilah salah satu contoh sebuah undang-undang yang mengundang kontroversi sejak hari pertama kelahirannya, yakni Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Bahkan ketika masih “dalam kandungan”, sudah terjadi perbedaan pendapat antara F-PDIP dengan Panitia Kerja (Panja) Komisi X yang membahas RUU Perfilman ini. Beberapa usulan F-PDIP tidak disertujui oleh Panja. Mungkin itu sebabnya saya tidak menemukan dokumen persetujuan F-PDIP sebelum RUU itu disahkan dalam rapat paripurna.
Lalu, suatu kali, dalam sebuah rapat di kantor Badan Perfilman Indonesia (BPI), Slamet Raharjo, salah seorang tokoh perfilman kita, mengambil undang-undang perfilman yang ada di depan saya dan langsung membantingnya ke lantai. Slamet Raharjo termasuk salah seorang yang tidak puas terhadap UU tersebut. Saya sendiri, di tahun 2016, misalnya, setidaknya dua kali menulis artikel di media massa agar UU perfilman ini segera diganti.
Ada banyak sebab kenapa UU ini harus segera diganti. Alasan umumnya, apa artinya undang-undang jika tidak memiliki daya guna dalam praktek sehari-hari? Jika sebuah undang-undang tidak berdaya guna dan berhasil guna, itu berarti salah satu dimensi peraturan perundang-undangan, yakni dimensi efektitivitas pelaksanaan peraturan perundang-undangan, tidak jalan. Itu berarti pula bahwa asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tidak terpenuhi.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 ini adalah pengganti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992. Cita-cita penggantian undang-undang lama itu, seperti yang tertera pada konsideran “menimbang” dan penjelasan, sebenarnya cukup bagus, yakni menentukan paradigma baru dengan cara menggeser perfilman yang sebelumnya kental unsur politiknya, ke arah rumpun kebudayaan yang berorientasi memadukan aspek keindahan, kecanggihan teknologi, dan fungsi ekonomi. Undang-undang lama dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan perfilman dan semangat zamannya, karena itu perlu diganti.
Sayangnya, dalam pembuatan pasal-pasalnya banyak yang tidak jelas rumusannya dan beberapa pasal berpotensi tabrakan dengan undang-undang lainnya. Salah satu pasal yang kerap menjadi percekcokan waktu itu adalah Pasal 32, yang intinya menyatakan bahwa pelaku usaha pertunjukan film (bioskop) wajib mempertunjukkan film Indonesia sekurang-kurangnya 60 persen dari seluruh jam pertunjukan film yang dimilikinya selama 6 (enam) bulan berturut-turut.
Bunyi pasal yang sepintas tampak terang benderang itu ternyata mengandung masalah. Kenapa? Pertama, kata kunci dari kalimat itu adalah “jam pertunjukan”, bukan “judul film”. Dalam bahasa teknis, ini disebut screen time quota. Bukan screen title quota. Artinya, judul bisa berapa saja, yang penting jumlah jamnya memenuhi aturan. Jadi, bisa saja sebuah jaringan bioskop “memanteng” satu judul film sekadar untuk memenuhi ketentuan itu. Dan jika hal ini dipaksakan, maka bioskop tidak berjaringan yang hanya memiliki beberapa layar, bakal sekarat duluan. Kedua, apa yang dimaksud dengan “film Indonesia” juga tidak dijelaskan secara rinci. Apakah film kerjasama dengan luar negeri termasuk film Indonesia? Apakah film yang dibuat di luar negeri tapi dengan sutradara orang Indonesia itu film Indonesia, dan seterusnya.
Penjelasan pasal 32 itu malah memperumit persoalan. Dikatakan bahwa yang dimaksud dengan “wajib mempertunjukkan film Indonesia sekurang-kurangnya 60 persen dari seluruh jam pertunjukan film yang dimilikinya selama 6 (enam) bulan berturut-turut tidak berarti memperbolehkan pertunjukan film yang tidak bermutu”. Pertanyaannya: siapa yang menentukan sebuah film itu bermutu atau tidak? Pemilik film, pemilik bioskop, penonton, kritikus, atau siapa? Tidak ada keterangannya.
Lalu, pasal serta penjelasan mengenai status Badan Perfilman Indonesia (BPI) juga menimbulkan multitafsir (Pasal 68). BPI dalam Undang-Undang Nomor 33 itu disebut sebagai lembaga swasta dan bersifat mandiri. Namun, BPI ini dikukuhkan oleh Presiden. Kemudian, dalam hal sumber dana, pasal 70, disebutkan bahwa pembiayaan BPI berasal dari pemangku kepentingan, sumber lain yang tidak mengikat, dan bantuan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapat dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBN/APBD) bersifat hibah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Uniknya, dalam penjelasan undang-undang dikatakan secara tegas bahwa mengingat peran strategis perfilman, pembiayaan pengembangan lembaga sensor film dan badan perfilman perfilman Indonesia dialokasikan dalam ABPN dan APBD. Kata “dialokasikan” tentu berbeda makna dengan “hibah”. Hal-hal semacam itulah yang membuat BPI tidak bisa menjalankan semua tugas yang diamanatkan kepadanya
Contoh-contoh “kelemaham” lain bisa saja diteruskan, tetapi bakal terlalu panjang. Misalnya, potensi tabrakan dengan undang-undang pemerintahan daerah, undang-undang hak cipta, dan lain-lain. Tetapi dari dua contoh pasal di atas saja (Pasal 32 dan Pasal 68) sudah menunjukkan bahwa Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 itu tidak memenuhi dimensi Kejelasan Rumusan. Kita tahu, penyusunan peraturan perundang-undangan harus sesuai dengan teknik yang sudah ditentukan. Selain itu, dalam penggunaan bahasa, istilah dan kata, harus lugas, pasti dan digunakan secara konsisten. Semua itu agar jelas batasan pengertiannya dan tidak menimbulkan ambiguitas atau multitafsir.
Sebagai tambahan, rupa-rupanya pembentukan BPI yang merupakan representasi dan wujud dari peran serta masyarakat itu, meniru -- kalau tak boleh disebut sebagai copy paste -- Badan Promosi Pariwisata Indonesia (BPPI) yang ada dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Dalam Pasal 36 undang-undang Kepariwisataan dikatakan bahwa pemerintah memfasilitasi pembentukan BPPI yang berkedudukan di ibu kota negara; BPPI sebagaimana dimaksud merupakan lembaga swasta dan bersifat mandiri; dan Pembentukan BPPI sebagaimana dimaksud ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Sama persis dengan BPI. Kesamaan juga terjadi pada pasal pendanaan kedua badan ini.
Setelah melakukan beberapa kali pertemuan dengan insan perfilman, akhir April 2016, Panitia Kerja (Panja) Perfilman Komisi X DPR mengumumkan hasilnya kepada publik. Salah satu sorotan Panja adalah soal revisi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009. Dalam kesimpulannya, Panja dapat menerima usul revisi atau penggantian karena UU Perfilman memiliki beberapa kelemahan dalam pengaturan tentang perlindungan dan penghormatan hak cipta film, pendidikan film, serta perlunya penguatan kelembagaan Badan Perfilman Indonesia (BPI). Tetapi sampai hari ini, revisi atau pengggantian undang-undang Nomor 33 Tahun 2009 ini belum terjadi, meskipun sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas 2020-2024). .
Panja perfilman sepertinya menyadari betapa pentingnya perlindungan hak cipta. Seperti dikatakan Hernando de Soto dalam Mystery of Capital bahwa pengakuan, jaminan, dan perlindungan hak cipta atau hak-hak milik rakyat secara legal merupakan pilar-pilar hubungan sosial yang amat penting untuk menghasilkan modal, uang, wirausaha, dan bisnis. Ini disebut De Soto sebagai sistem perlindungan formal.
Menurut De Soto, sistem perlindungan formal tersebut adalah rahasia atau misteri mengapa kapital dan investasi dapat tumbuh dan berkembang di Eropa dan Amerika Serikat yang hanya dihuni oleh satu miliar penduduk. Dan ini sekaligus menjadi alasan mengapa kapital dan investasi tidak tumbuh di negara dengan lima miliar penduduk seperti Asia, Afrika, dan Amerika Selatan menjelang akhir abad ke-20. Hal itu disebabkan di Eropa dan Amerika Serikat terdapat pengakuan, jaminan, dan perlindungan hukum terhadap hak-hak dasar rakyat, termasuk hak cipta. Adapun di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan, sangat rapuh pengakuan, jaminan, dan perlindungan hukum atas hak-hak dasar rakyatnya. Maka, sebaiknya masalah hak cipta ini juga menjadi perhatian dalam penggantian undang-hudang perfilman nantinya.
Lalu, efektif atau tidaknya sebuah peraturan perundang-undangan bisa dilihat dari berbagai parameter. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah ditentukan asas-asas hukum yang harus dipenuhi sebagai syarat pembentukan perundang-undangan yang baik, yakni kejelasan tujuan, kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; kesesuaian antara jenis dan materi muatan; dapat dilaksanakan; kedayagunaan dan kehasilgunaan; kejelasan rumusan; dan keterbukaan. Maka, jika ada undang-undang yang tidak jelas rumusannya, misalnya, hal itu akan mempengaruhi kedayagunaannya.
Hukum yang baik adalah yang ditaati karena masyarakat menyetujuinya. Ancaman hanya berfungsi sebagai penunjang, karena yang penting adalah kesediaan masyarakat untuk tidak melanggar tatanan yang sudah diatur. Anthony Allott (Valparaiso University Law Review, 1981) mengajukan teori bahwa efektivitas hukum dapat diukur dari level kepatuhan atau cocok dan tidaknya suatu hukum dengan kebutuhan. Jadi, konsep dan definisi efektivitas hukum ini mencakup pemilihan, penerapan, penegakan, manfaat, dan kepatuhan. Inilah yang tidak terjadi pada undang-undang perfilman kita. UU tersebut, telah terbukti bahwa baik secara teoretis maupun praktis, tidak efektif dalam usaha mengembangkan perfilman nasional.
Tetapi sekarang zaman sudah berubah lagi. Kemajuan teknologi komunikasi dengan Internetnya telah mengubah banyak hal, terutama dengan lahirnya aneka platform Over The Top (OTT). Dalam hal penayangan film, misalnya, meski bioskop tetap menjadi primadona dan masih belum terkalahkan, telah muncul alternatif lain untuk menonton film seperti Netflix, Amazon Prime, Viu, Tencent, Vidio, Maxtream, HBOgo, Disney+, WeTV, iQIYI, dan lain-lain. Sedangkan untuk hiburan lain orang bisa menonton melalui YouTube, Dailymotion, Plex, Nimo TV, Metacafe, Plex, dan lain-lain. Namun, perlu diingat, pada platform OTT ini potensi pelanggaran hak cipta juga bisa semakin banyak. Lalu, bagi pemilik film, dalam platform OTT tidak dikenal istilah “meledak”, booming, atau “jackpot” yang bisa menghasilkan pendapatan di luar ekspektasi sang produser.
Jadi, apakah di zaman baru ini kita masih perlu undang-undang perfilman yang njelimet? Tidak cukupkah peraturan perundangan lain di bawah undang-undang saja? Misalnya Peraturan Menteri? Semua itu tergantung insan perfilman sendiri. Ada baiknya juga menengok bagaimana negara-negara maju mengatur perfilman mereka.. Kalau toh insan perfilman kita tetap menganggap perlu adanya undang-undang, barangkali yang perlu diatur hal-hal yang memang dianggap penting atau prinsip saja agar lebih fleksibel dan tidak cepat ketinggalan zaman. Tapi, sekali lagi, silakan saja apa maunya insan perfilman Indonesia.
(wur)