Sensor Film: Orwelian Sudah Berlalu

Senin, 22 Mei 2023 - 08:32 WIB
loading...
Sensor Film: Orwelian...
Kemala Atmojo - Peminat Filsafat, Hukum, dan Seni. Foto/Dok Pribadi
A A A
Kemala Atmojo
Peminat dan Pemerhati Masalah Filsafat, Hukum, dan Seni

Pada suatu malam yang dingin, Ipik Tanoyo, seorang wartawan film dan musik yang tekun, mengirim kabar melalui Whatsapp, bahwa sebenarnya ada beberapa film layar lebar yang sengaja tidak dikirim ke Lembaga Sensor Film (LSF) karena takut bermasalah dan menimbulkan kontroversi. Film-film itu akhirnya hanya beredar di berbagai festival dan komunitas tertentu saja. Ipik lalu menyebut judul film, sutradara, dan pemain, yang sebenarnya cukup dikenal di dunia perfilman Indonesia.

Saya agak kaget dengan kabar itu. Sebab, setahu saya, LSF saat ini sudah berbeda dengan lembaga sensor masa lalu. Jika di zaman Orde Baru lembaga itu “main gunting” saja adegan film yang tidak mereka setujui, kini LSF lebih mengutamakan pendekatan dialogis. Bila terjadi perbedaan pendapat, biasanya komisioner LSF mengundang pemilik atau sutradara film untuk mendiskusikannya. Kalau perlu mendatangkan ahli untuk diminta pendapatnya. Hasil akhirnya bisanya terjadi kesepakatan mengenai “batas usia” untuk film tersebut, yakni apakah untuk 13 ke atas, 17 tahun ke atas, 21 tahun ke atas, atau semua umur.

Apalagi, dengan gerakan Sensor Mandiri yang selama dilakukan oleh LSF, mestinya ketakutan mengirim film ke LSF tidak perlu ada lagi. Sensor Mandiri itu ditujukan untuk dua sasaran. Pertama, untuk para pembuat film agar melakukan sensor sendiri apa yang pantas dan tidak pantas dibuat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan norma-norma yang ada di masyarakat. Kedua, ditujukan untuk calon penonton agar dapat memilih film sesuai dengan batas usianya.

Sejarah sensor film memang “sejarah gelap” atau unik. Dia ada sejak zaman penjajahan Belanda dan terbawa hingga hari ini, meski dengan perubahan di sana-sini. Saya sudah beberapa kali menulis soal sejarah sensor ini di berberapa media, jadi tidak perlu diulkang di sini.

Intinya, LSF adalah badan yang dibentuk oleh pemerintah Hindia Belanda. Tujuannya, antara lain, untuk melindungi citra mereka di mata penduduk lokal. Mereka tidak ingin citra mereka “rusak” di mata penduduk lokal akibat film-film yang masuk ke Hindia Belanda ini. Karena itu semua film film yang masik ke sini harus disensor.

Lalu, ketika Indonesia merdeka, sesuai dengan peraturan perundang-undangan saat itu, segala badan dan aturan yang ada tetap berlaku sebelum dibuat penggatinya. Maka lembaga dan kebijakan sensor di masa penjajahan itu diterima begitu saja dan diteruskan hingga kini. Di zaman Orde Lama dan Orde Baru, sensor tetap diberlakukan dengan maksud dan tujuan yang berbeda, yakni intinya melindungi ideologi yang ditentukan pemerintah.

Begitu luas jangkauan dan kuasanya, sehingga LSF – dalam batas tertentu juga KPI-- menjadi mirip Polisi Pikiran dalam novel Nineteen Eighty Four (1984) karya George Orwell. Novel ini ditulis pada 1948-1949, tapi “meramalkan” situasi yang terjadi pada 1984 di London. Digambarkan seorang anggota partai level bawah bernama Winston Smith, 39 tahun, yang selalu berusaha menjadi warga negara yang baik, meski di dalam hati dan pikirannya bersemayam antipati terhadap kediktatoran yang ada. Tapi Winston tidak berani melakukan perlawanan secara terbuka. Sebab Polisi Pikiran, teleskrin, dan mikrofon tersembunyi ada di mana-mana. Winston frustasi dan hanya bisa membuat tulisan secara sembunyi-sembunyi.

Orwell menggambarkan bagaimana seorang diktator dapat memanipulasi dan mengontrol sejarah, pemikiran, dan kehidupan sedemikian rupa sehingga tidak ada yang bisa menghindarinya. Kini, kata “Orwellian” dipakai untuk menunjukkan situasi atau kondisi yang merusak kesejahteraan masyarakat yang bebas dan terbuka. Juga digunakan untuk menggambarkan kebijakan brutal melalui propaganda, pengawasan, dan penolakan kebenaran oleh pemerintah represif modern. Intinya: totaliterianisme.

Tapi zaman sudah berubah. Sejak Era Reformasi, lembaga sensor mulai lebih lunak, meski kewajiban sensor masih ada. Agak aneh, memang. Terhadap fakta yang biasa kita saksikan di berbagai media, kita tidak takut; tetapi terhadap fiksi (film) kita takut. Ajaib. Tindakan brutal, komentar sadis, ocehan tak santun, tiap menit kita saksikan di media sosial. Dan tak ada disensor untuk itu. Semua itu dianggap sebagai bagian dari kebebasan berpendapat di alam demokrasi. Tetapi, terhadap film features alias bohong-bohongan (kalau beneran namanya film dokumentasi), masih ada orang yang paranoid.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1073 seconds (0.1#10.140)