Beberapa Isu Kontrak Pekerja Film
loading...
A
A
A
Kemala Atmojo
Peminat Filsafat, Hukum, dan Seni
Di antara sekian banyak isu atau persoalan dalam kontrak pekerja (crew) film, salah satu yang masih kerap dibicarakan adalah soal jam kerja. Apakah pekerja film hanya wajib bekerja, misalnya, delapan jam per hari atau tidak? Padahal, kita tahu, dalam pembuatan sebuah film atau sinetron, para pekerja itu bisa bekerja “dari pagi ketemu pagi”, dalam kurun waktu tertentu. Hal ini bisa jadi mempengaruhi kesehatan para pekerja dan sangat mungkin berdampak pada kualitas produk yang dihasilkan.
Secara umum, kontrak perdata, termasuk kontrak kerja, bisa disebut sebagai kontrak “suka-suka” atau kontrak bebas. Para pihak diperkenankan untuk membuat kontrak tentang apa saja, isinya apa saja, sejauh dilandasi dengan itikad baik dan tidak melanggar undang-undang. Prinsip yang dipakai dalam kontrak perdata ini adalah kebebasan berkontrak. Dasar hukumnya adalah Buku Ketiga KUH Perdata (Pasal 1313-1351).
Dalam aturan kontrak baku (Pasal 1320 KUH Perdata), memang sudah ditetapkan adanya 4 (empat) syarat sahnya sebuah perjanjian. Pertama, kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya (Pasal 1321); Kedua, kecakapan untuk membuat sebuah perikatan alias legal capacity (Pasal 1329-1330); Ketiga, suatu pokok persoalan tertentu (Pasal 1332); dan keempat, suatu sebab yang tidak dilarang undang-undang alias harus lawful object (Pasal 1337).
Sebuah perjanjian yang tidak memenuhi syarat-syarat di atas, misalnya karena pembuatnya masih anak-anak, mabuk, atau sakit jiwa, dapat dibatalkan oleh hakim (voidable). Atau batal demi hukum (null and void), misalnya, karena tidak terpenuhinya sebab yang halal.
Prinsip “kebebasan berkontrak” (freedom of contract) inilah yang sekarang banyak digugat dalam diskursus mutakhir mengenai hukum kontrak. Sebab, dengan hanya menyandarkan pada prinsip kebebasan berkontrak, asas proporsionalitas, kesataraan, dan keadilan bisa saja tidak terpenuhi dalam isi keseluruhan kontrak.
Nah, ada yang unik dalam Undang-Undang No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman sebagaimana diubah dengan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Perpu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Dalam Pasal 47 mengenai hak dan kewajiban insan perfilman, pada huruf (e) dinyatakan bahwa setiap insan perfilman berhak “menjadi mitra kerja yang sejajar dengan pelaku usaha perfilman”. Siapa yang dimaksud dengan “pelaku usaha” perfilman itu? Menurut saya, salah satunya adalah produser atau pemilik perusahaan film.
Jika benar demikian, maka pekerja film bukan sekadar pekerja waktu tertentu (PKWT) layaknya pekerja pabrik, misalnya. Kontrak kerja antara pelaku usaha perfilman dengan insan perfilman ini lebih cocok jika disebut sebagai “kontrak profesi”. Kontrak profesi adalah kontrak yang biasanya digunakan dalam konteks hubungan antara seorang profesional seperti pilot, dokter, pengacara, akuntan, arsitek, atau konsultan, dengan klien atau pihak yang menggunakan jasa profesional tersebut. Kontrak ini mengatur hak, kewajiban, tanggung jawab masing-masing pihak, yakni mereka yang menyediakan jasa profesional dan pihak yang menerima jasa tersebut.
Tentu saja “kontrak profesi” ini memiliki karakteristik khusus yang membedakannya dari kontrak pada umumnya. Misalnya, kontrak itu berisi standar profesional yang mencerminkan standar yang berlaku dalam bidang tertentu. Para professional yang dikontrak harus mengikuti kode etik dan aturan praktik profesional dalam memberikan jasa mereka kepada klien. Lalu, kontrak profesi bersifat spesifik serta menjelaskan secara rinci jasa profesional yang akan disediakan oleh pihak profesional kepada klien. Ini mencakup lingkup pekerjaan, tujuan, dan hasil yang diharapkan.
Biasanya, batasan mengenai tanggung jawab serta pengecualian dalam situasi tertentu juga dicantumkan. Misalnya, batasan tanggung jawab atas kerugian atau kesalahan profesional. Kemudian, biaya jasa, durasi kontrak, jadwal pembayaran, metode pembayaran, dalam kontrak profesi juga disebut secara jelas. Intinya, kontrak profesi berperan penting dalam memastikan keterlibatan yang jelas, adil, dan saling menguntungkan antara profesional dan klien mereka. Kontrak ini membantu mengatur ekspektasi, melindungi hak dan kewajiban masing-masing pihak, dan menyediakan landasan hukum yang kuat dalam hubungan profesional.
Peminat Filsafat, Hukum, dan Seni
Di antara sekian banyak isu atau persoalan dalam kontrak pekerja (crew) film, salah satu yang masih kerap dibicarakan adalah soal jam kerja. Apakah pekerja film hanya wajib bekerja, misalnya, delapan jam per hari atau tidak? Padahal, kita tahu, dalam pembuatan sebuah film atau sinetron, para pekerja itu bisa bekerja “dari pagi ketemu pagi”, dalam kurun waktu tertentu. Hal ini bisa jadi mempengaruhi kesehatan para pekerja dan sangat mungkin berdampak pada kualitas produk yang dihasilkan.
Secara umum, kontrak perdata, termasuk kontrak kerja, bisa disebut sebagai kontrak “suka-suka” atau kontrak bebas. Para pihak diperkenankan untuk membuat kontrak tentang apa saja, isinya apa saja, sejauh dilandasi dengan itikad baik dan tidak melanggar undang-undang. Prinsip yang dipakai dalam kontrak perdata ini adalah kebebasan berkontrak. Dasar hukumnya adalah Buku Ketiga KUH Perdata (Pasal 1313-1351).
Dalam aturan kontrak baku (Pasal 1320 KUH Perdata), memang sudah ditetapkan adanya 4 (empat) syarat sahnya sebuah perjanjian. Pertama, kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya (Pasal 1321); Kedua, kecakapan untuk membuat sebuah perikatan alias legal capacity (Pasal 1329-1330); Ketiga, suatu pokok persoalan tertentu (Pasal 1332); dan keempat, suatu sebab yang tidak dilarang undang-undang alias harus lawful object (Pasal 1337).
Sebuah perjanjian yang tidak memenuhi syarat-syarat di atas, misalnya karena pembuatnya masih anak-anak, mabuk, atau sakit jiwa, dapat dibatalkan oleh hakim (voidable). Atau batal demi hukum (null and void), misalnya, karena tidak terpenuhinya sebab yang halal.
Prinsip “kebebasan berkontrak” (freedom of contract) inilah yang sekarang banyak digugat dalam diskursus mutakhir mengenai hukum kontrak. Sebab, dengan hanya menyandarkan pada prinsip kebebasan berkontrak, asas proporsionalitas, kesataraan, dan keadilan bisa saja tidak terpenuhi dalam isi keseluruhan kontrak.
Nah, ada yang unik dalam Undang-Undang No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman sebagaimana diubah dengan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Perpu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Dalam Pasal 47 mengenai hak dan kewajiban insan perfilman, pada huruf (e) dinyatakan bahwa setiap insan perfilman berhak “menjadi mitra kerja yang sejajar dengan pelaku usaha perfilman”. Siapa yang dimaksud dengan “pelaku usaha” perfilman itu? Menurut saya, salah satunya adalah produser atau pemilik perusahaan film.
Jika benar demikian, maka pekerja film bukan sekadar pekerja waktu tertentu (PKWT) layaknya pekerja pabrik, misalnya. Kontrak kerja antara pelaku usaha perfilman dengan insan perfilman ini lebih cocok jika disebut sebagai “kontrak profesi”. Kontrak profesi adalah kontrak yang biasanya digunakan dalam konteks hubungan antara seorang profesional seperti pilot, dokter, pengacara, akuntan, arsitek, atau konsultan, dengan klien atau pihak yang menggunakan jasa profesional tersebut. Kontrak ini mengatur hak, kewajiban, tanggung jawab masing-masing pihak, yakni mereka yang menyediakan jasa profesional dan pihak yang menerima jasa tersebut.
Tentu saja “kontrak profesi” ini memiliki karakteristik khusus yang membedakannya dari kontrak pada umumnya. Misalnya, kontrak itu berisi standar profesional yang mencerminkan standar yang berlaku dalam bidang tertentu. Para professional yang dikontrak harus mengikuti kode etik dan aturan praktik profesional dalam memberikan jasa mereka kepada klien. Lalu, kontrak profesi bersifat spesifik serta menjelaskan secara rinci jasa profesional yang akan disediakan oleh pihak profesional kepada klien. Ini mencakup lingkup pekerjaan, tujuan, dan hasil yang diharapkan.
Biasanya, batasan mengenai tanggung jawab serta pengecualian dalam situasi tertentu juga dicantumkan. Misalnya, batasan tanggung jawab atas kerugian atau kesalahan profesional. Kemudian, biaya jasa, durasi kontrak, jadwal pembayaran, metode pembayaran, dalam kontrak profesi juga disebut secara jelas. Intinya, kontrak profesi berperan penting dalam memastikan keterlibatan yang jelas, adil, dan saling menguntungkan antara profesional dan klien mereka. Kontrak ini membantu mengatur ekspektasi, melindungi hak dan kewajiban masing-masing pihak, dan menyediakan landasan hukum yang kuat dalam hubungan profesional.